Jakarta: Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyebut kasus kematian aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib harus ditetapkan menjadi pelanggaran HAM berat. Hal itu mampu membuat kasus Munir tidak terpatok pada waktu kedaluwarsa kasus di KUHP.
"Sehingga pelaku konspirasi pembunuhan bukan hanya ditangkap aktor lapangan, tetapi (aktor) penghubung, dan aktor intelektual dari pembunuhan berencana ini," ujar Direktrur LBH Jakarta Arif Maulana dalam konferensi pers secara visual, Senin, 7 September 2020.
Menurut dia, ketentuan ini diatur dalam Pasal 46 Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM. Aturan ini menyebutkan pada pelanggaran HAM berat tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluwarsa.
"Mendorong kasus Cak Munir mestinya tidak diletakan pada kasus tindak pidana biasa, tapi kejahatan pelanggaran HAM berat," tutur dia.
Arif menyakini kematian Munir memenuhi kategori sebagai kejahatan kemanusiaan yang diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000. Salah satunya tidak hanya ditemukan ada indikasi pembunuhan, tetapi juga penyiksaan pada kasus Munir.
"Kematian Cak Munir ini begitu tragis dia diracun dengan racun arsenik yang takarannya besar, bisa meninggal tidak lama setelah penerbangan dari Jakarta ke Belanda," tutur dia.
Sementara itu, masalah kedaluwarsa diatur Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP. Aturan ini menyebut kewenangan menuntut pidana dihapus karena kedaluwarsa yakni sesudah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup.
Munir tewas pada Selasa, 7 September 2004. Mantan pilot senior maskapai penerbangan Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Prijanto menjadi tersangka kasus ini. Saat kejadian, Pollycarpus sedang tidak bertugas.
Pollycarpus sempat bertukar kursi di pesawat dengan Munir. Dia divonis 14 tahun penjara. Dia bebas Rabu, 29 Agustus 2018. Namun, kasus Munir terus mendapatkan perhatian lantaran dalang pembunuhan belum ditangkap.
Baca: Kasus Pembunuhan Munir 'Menghantui' Pegiat HAM
Sejumlah aktivis pegiat HAM mendorong kasus kematian Munir ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Pendapat hukum terkait permasalahan tersebut telah disampaikan kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Permintaan ini diinisiasi beragam lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka yakni Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), Amnesty International Indonesia (AII), Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Human Rights Watch Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lokataru Foundation ,Omah Munir, Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), dan Yayasan Perlindungan Insani Indonesia.
Sementara itu, masalah kedaluwarsa diatur Pasal 78 ayat (1) butir 3 KUHP. Aturan ini menyebut kewenangan menuntut pidana dihapus karena kedaluwarsa yakni sesudah 18 tahun untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau penjara seumur hidup.
Munir tewas pada Selasa, 7 September 2004. Mantan pilot senior maskapai penerbangan Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Prijanto menjadi tersangka kasus ini. Saat kejadian, Pollycarpus sedang tidak bertugas.
Pollycarpus sempat bertukar kursi di pesawat dengan
Munir. Dia divonis 14 tahun penjara. Dia bebas Rabu, 29 Agustus 2018. Namun, kasus Munir terus mendapatkan perhatian lantaran dalang pembunuhan belum ditangkap.
Baca:
Kasus Pembunuhan Munir 'Menghantui' Pegiat HAM
Sejumlah aktivis pegiat HAM mendorong kasus kematian Munir ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat. Pendapat hukum terkait permasalahan tersebut telah disampaikan kepada Komisi Nasional (Komnas) HAM.
Permintaan ini diinisiasi beragam lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka yakni Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), Amnesty International Indonesia (AII), Asia Justice and Rights (AJAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Human Rights Watch Imparsial, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Lokataru Foundation ,Omah Munir, Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), dan Yayasan Perlindungan Insani Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(OGI)