Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di Wasior, Papua Barat, yang tak kunjung selesai. KontraS meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendesak Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus yang telah berlangsug 21 tahun itu.
"(Dengan) memerintahkan Jaksa Agung (Sanitiar Burhanuddin) membentuk Tim Penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan peristiwa Wasior serta berbagai pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS, Rivanlee Anandar, dalam keterangan tertulis, Senin, 13 Juni 2022.
KontraS juga mendesak Kepala Negara membentuk pengadilan HAM di Papua. Lalu, menghentikan wacana pemekaran di Papua dan mengakhiri operasi militer.
Kemudian, mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua sebagai langkah awal untuk membangun dialog dan menyelesaikan konflik di Papua secara damai. "Menjamin hak asasi orang asli Papua, termasuk hak hidup, hak untuk berekspresi, dan hak untuk berkumpul secara damai," ungkap Rivanlee.
Rivanlee menuturkan angka kekerasan cenderung meningkat dan berbanding terbalik dengan agenda penuntasan pelanggaran HAM di Papua. Begitu pula dengan nasib penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, seperti kasus Wasior.
Menurut dia, sudah 21 tahun nasib para korban terkatung-katung tanpa adanya kepastian hukum. Peristiwa tersebut dipicu atas terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu warga sipil di base camp perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa, Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001.
Buntut peristiwa itu, sejumlah personel kepolisian dikerahkan mencari pelaku yang juga mengambil enam pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Menurut Tim Ad Hoc Papua, kata Rivanlee, ada empat orang tewas, 39 orang mengalami penyiksaan, satu orang diperkosa, dan lima dihilangkan secara paksa dalam pemburuan pelaku.
Baca: PN Makassar Segera Sidangkan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua
Rivanlee mengatakan Komnas HAM telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia kepada Jaksa Agung pada 2003. Namun, kata dia, Kejagung memberikan alasan repetitif yang menyatakan belum terpenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat, baik syarat formal maupun materiel.
Padahal, Pemerintah Indonesia menjanjikan Kejagung mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM Makassar untuk memproses kasus Wasior-Wamena dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017. Tinggal hitungan bulan menjelang Sidang UPR pada akhir 2022, namun belum ada perkembangan berarti.
Menurut dia, kasus Wasior-Wamena masih stagnan dan belum terlihat sedikitpun progres untuk dibawa ke Pengadilan HAM sesuai mandat Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maupun UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang telah direvisi melalui UU Nomor 2 Tahun 2021. Dia memandang pemerintah ingkar pada amanat UU Otsus tersebut.
"Terhitung sejak belasan tahun lamanya sejak UU Otsus diberlakukan, baru satu amanat yang terealisasikan yakni adanya perwakilan Komnas HAM saja. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua belum juga dibentuk, begitu pula dengan realisasi Pengadilan HAM di tanah Papua yang sampai saat ini sama sekali tak terlihat di Pengadilan Negeri manapun di Papua," ungkap Rivanlee.
Rivanlee mengatakan sudah sangat jelas permasalahan itu memperlihatkan ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Menurutnya, penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat di Papua hanya sebagai alat diplomasi pemerintah untuk meredam perhatian internasional terhadap situasi di Papua.
Sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki secara pro-justitia oleh Komnas HAM yang terjadi di Papua, yaitu kasus Abepura pada 2000, Wasior-Wamena pada 2001 dan 2003, serta Paniai pada 2014. Dari beberapa kasus itu, baru kasus Abepura yang telah diadili pada 2004 di Pengadilan HAM Makassar bukan Papua, meskipun amanat Pengadilan HAM di Papua sudah diperintahkan sejak 2001.
"Begitu pula wacana pembentukan pengadilan HAM untuk kasus Paniai 2014 yang akan diadili di Makassar bukan di Tanah Papua," katanya.
Di tengah praktik impunitas yang mengakar dan pola pelanggaran HAM yang terus berulang, pemerintah pusat disebut masih semangat ultranasionalis turut memaksakan adanya pemekaran di Papua demi kepentingan politik dan ekonomi. Rivanlee memandang pemekaran Provinsi Papua sangat berpotensi menambah daftar panjang kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Pasalnya, kata dia, ketika dibuka daerah otonomi baru, akan bertambah pula kantor komando militer dan polisi di daerah yang condong pada pendekatan keamanan terhadap masyarakat di Papua. Berdasarkan hasil pemantauan KontraS dalam kurun waktu Januari-Mei 2022 telah terjadi 23 peristiwa kekerasan yang dilakukan Polri, TNI, maupun keduanya di Papua dengan didominasi oleh tindakan penembakan, penganiayaan, dan penangkapan sewenang-wenang.
"Puluhan peristiwa yang terdokumentasikan ini mengakibatkan kurang lebih 67 orang menjadi korban, baik korban luka, tewas, maupun ditangkap," tegas dia.
Jakarta: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyoroti kasus pelanggaran hak asasi manusia (
HAM) berat di Wasior, Papua Barat, yang tak kunjung selesai. KontraS meminta Presiden Joko Widodo (
Jokowi) mendesak
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut kasus yang telah berlangsug 21 tahun itu.
"(Dengan) memerintahkan Jaksa Agung (Sanitiar Burhanuddin) membentuk Tim Penyidik ad hoc untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan peristiwa Wasior serta berbagai pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," kata Wakil Koordinator Badan Pekerja KontraS, Rivanlee Anandar, dalam keterangan tertulis, Senin, 13 Juni 2022.
KontraS juga mendesak Kepala Negara membentuk pengadilan HAM di Papua. Lalu, menghentikan wacana pemekaran di Papua dan mengakhiri operasi militer.
Kemudian, mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua sebagai langkah awal untuk membangun dialog dan menyelesaikan konflik di Papua secara damai. "Menjamin hak asasi orang asli Papua, termasuk hak hidup, hak untuk berekspresi, dan hak untuk berkumpul secara damai," ungkap Rivanlee.
Rivanlee menuturkan angka kekerasan cenderung meningkat dan berbanding terbalik dengan agenda penuntasan pelanggaran HAM di Papua. Begitu pula dengan nasib penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Papua, seperti kasus Wasior.
Menurut dia, sudah 21 tahun nasib para korban terkatung-katung tanpa adanya kepastian hukum. Peristiwa tersebut dipicu atas terbunuhnya lima anggota Brimob dan satu warga sipil di base camp perusahaan CV Vatika Papuana Perkasa, Desa Wondiboi, Distrik Wasior, pada 13 Juni 2001.
Buntut peristiwa itu, sejumlah personel kepolisian dikerahkan mencari pelaku yang juga mengambil enam pucuk senjata dari anggota Brimob yang tewas. Menurut Tim Ad Hoc Papua, kata Rivanlee, ada empat orang tewas, 39 orang mengalami penyiksaan, satu orang diperkosa, dan lima dihilangkan secara paksa dalam pemburuan pelaku.
Baca:
PN Makassar Segera Sidangkan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Paniai Papua
Rivanlee mengatakan Komnas HAM telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil penyelidikan pro justitia kepada Jaksa Agung pada 2003. Namun, kata dia, Kejagung memberikan alasan repetitif yang menyatakan belum terpenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat, baik syarat formal maupun materiel.
Padahal, Pemerintah Indonesia menjanjikan Kejagung mempersiapkan proses pengadilan di Pengadilan HAM Makassar untuk memproses kasus Wasior-Wamena dalam Sidang Universal Periodic Review (UPR) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017. Tinggal hitungan bulan menjelang Sidang UPR pada akhir 2022, namun belum ada perkembangan berarti.
Menurut dia, kasus Wasior-Wamena masih stagnan dan belum terlihat sedikitpun progres untuk dibawa ke Pengadilan HAM sesuai mandat Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maupun UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua atau UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) yang telah direvisi melalui UU Nomor 2 Tahun 2021. Dia memandang pemerintah ingkar pada amanat UU Otsus tersebut.
"Terhitung sejak belasan tahun lamanya sejak UU Otsus diberlakukan, baru satu amanat yang terealisasikan yakni adanya perwakilan Komnas HAM saja. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Papua belum juga dibentuk, begitu pula dengan realisasi Pengadilan HAM di tanah Papua yang sampai saat ini sama sekali tak terlihat di Pengadilan Negeri manapun di Papua," ungkap Rivanlee.