Para aktivis dan pengamat bicara soal kebebasan berpendapat di Indonesia dalam program Suara Reboan, Metro TV. (Tangkapan Layar Metro TV)
Para aktivis dan pengamat bicara soal kebebasan berpendapat di Indonesia dalam program Suara Reboan, Metro TV. (Tangkapan Layar Metro TV)

Kebebasan Berpendapat Mulai Turun, Pengamat: Mengkritik Malah Dikriminalisasi

Patrick Pinaria • 29 September 2023 18:30
Jakarta: Kebebasan masyarakat dalam berpendapat dan berekspresi di Indonesia masih dipertanyakan. Bahkan, kepercayaan masyarakat terhadap adanya kebebasan berpendapat di Indonesia mulai menurun.
 
Fakta tersebut didukung dengan statistik yang ditunjukkan situs Freedom House terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia pada 2023. Menurut hasil survei mereka, Indeks Kebebasan Global di Indonesia menurun dalam empat tahun terakhir.
 
Pada 2020, persentase kebebasan global di Indonesia berada di angka 61 persen. Kemudian, mengalami penurunan menjadi 59 persen pada tahun berikutnya. 

Persentase kebebasan global masih berada di angka yang sama ketika memasuki periode 2022. Statistik pada indeks akhirnya mengalami penurunan pada 2023 alias tahun ini, yakni 58 persen.
 
Pakar hukum tata negara Refly Harun miris melihat fakta tersebut. Ia pun mengakui kebebasan berpendapat di Tanah Air memang sulit untuk saat ini. 
 
"Kita harus lihat standar demokrasi kita. Jadi yang namanya reformasi itu kan hadir untuk menegakkan demokrasi dan hak asasi serta konstitusi. Mereka yang selalu mengekang kebebasan ini kan tidak paham bahwa konstitusi-konstitusi kita kan kedaulatan rakyat. Jadi bukan penguasa yang harus dilindungi untuk pertama kalinya, tetapi rakyat," ujar Refly dalam program tayangan Suara Reboan di Metro TV, 23 Agustus 2023.
 
"Agak aneh ketika ada orang yang mengatasnamakan wakil dari penguasa tiba-tiba mempersekusi masyarakat. Kan tidak sesuai dengan paradigma berpikir," lanjutnya.
 
Refly mengaku kebebasan berpendapat di Indonesia sebetulnya tetap ada. Bahkan, jauh lebih membaik ketimbang zaman orde baru. Namun, ia menilai tetap saja ruang kebebasan berpendapat masih harus dibuka lebih lebar lagi agar standar demokrasi di Indonesia makin tinggi.
 
"Kalau dikatakan apakah kemudian kebebasan itu makin sempit? Ada ruang-ruang kebebasan. Tetap ada. Kita harus akui. Tidak seperti zaman orde baru. Tetapi kita kan pengen standar demokrasi kita tinggi," tutur Refly.
 
Senada dengan Refly, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengakui kebebasan masyarakat untuk berpendapat kian sulit saat ini. 
 
"Menurun, terutama kebebasan sipil. Kebebasan sipil itu kebebasan berpendapat, berserikat, berkumpul atau beroposisi atau kebebasan pers. Kalau kita lihat tadi bung Refly menyebut Freedom House. Freedom House itu lembaga indeks demokrasi yang tiap tahun menuliskan laporan tentang kondisi negara-negara, kondisi kebebasannya," kata Usman.
 
Usman mengatakan kebebasan berpendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia. Ia pun menilai menurunnya standar kebebasan berpendapat di Indonesia lantaran kurangnya prioritas pemerintah terhadap hak asasi manusia. 
 
"Karena pemerintah yang baru ini sebenarnya kurang memberi prioritas pada hak asasi manusia, lebih banyak memprioritaskan ambisi pada bidang ekonomi. Itu sudah kelihatan dari awal dari pemerintah Jokowi periode yang pertama," jelas Usman.
 
"Akibatnya banyak sekali kritik-kritik terhadap pemerintah yang dianggap mengganggu program ekonomi kemudian diredam dengan berbagai cara. Ada yang dikriminalisasi, ada yang misalnya diretas media sosialnya. Ada banyak lagi lah kasus-kasusnya," sambungnya.

Jangan anti kritik

Menurut Usman, kritik memiliki tiga fungsi yang baik. Kritik ditujukan untuk menyatakan pendapat dan juga menunjukkan bagian dari warga negara yang berpartisipasi secara aktif.
 
"Kedua, sebenarnya kita boleh dan punya hak untuk mengungkapkan adanya penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme, mengkritik politik dinasti atau mengkritik pungutan liar, dan seterusnya," jelas Usman.
 
Ketiga, kritik untuk mengontrol jalannya kekuasaan atau memobilisasi orang untuk mengontrol jalannya kekuasaan, baik kekuasaan politik negara maupun kekuasaan ekonomi. Misalnya korporasi besar. 
 
"Jadi dengan tiga tujuan itu sebenarnya kebebasan berpendapat sangat diperlukan. Tapi itu pada level negara," kata Usman.
 
Sementara itu, Alumni Lemhanas PPRA 50 Saut Situmorang menjelaskan kritik juga menjadi kodrat dari manusia. "Sebenarnya proses kritik itu kan bagian dari kodrat manusia untuk bicara. Bahkan, ketika manusia dilahirkan pertama dia bicara dulu, bukan dia minta minum sama ibunya," kata Saut.
 
Saut pun mengungkapkan kritik untuk menjadi sarana pengingat dan pengontrol seseorang atau pun kekuasaan. Seharusnya, kritik bisa ditanggapi dengan positif.
 
"Jadi maksud saya kalau kita tetap berupaya untuk melakukan ada orang yang mau menyampaikan kurang benar itu sebenarnya kan pemerintah harus bersyukur," kata Saut.
 
Anda dapat berpartisipasi mendorong perubahan yang lebih baik melalui website https://reboan.id/
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ROS)


BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan