Jakarta: Negara masih dirugikan dalam kasus korupsi yang bersifat transnasional. Mekanisme perjanjian penangguhan penuntutan (deferred prosecution agreement/DPA) belum mampu membuat perusahaan yang terlibat dalam korupsi lintas negara untuk membayar ganti rugi terhadap negara korban.
"Sejauh ini baru ditemukan satu kasus yang mempertimbangkan hak negara korban atas kompensasi. Di kasus lain, belum ada sama sekali," kata Asep Nana Mulyana, penulis buku Deferred Prosecution Agreement dalam Kejahatan Bisnis, Minggu, 27 Desember 2020.
Satu kasus yang dimaksud yaitu kasus skandal suap di Tanzania yang dilakukan Standard Bank Afrika Selatan, perusahaan berbasis di London. Dalam kasus ini, Tanzania sebagai negara korban mendapatkan kompensasi atas proses investigasi Lembaga Antikorupsi (Serious Fraud Office/SFO) Inggris melalui proses DPA. Total denda yang dibayarkan sebesar USD6 juta.
Namun, Asep menyayangkan belum ada kasus lain yang memberi kompensasi bagi negara korban. Tak terkecuali bagi Indonesia yang beberapa kali menjadi korban kejahatan lancung lintas negara.
Dia mencontohkan perusahaan raksasa Airbus yang terbukti menyuap pejabat di sejumlah negara. Kasus itu melibatkan maskapai penerbangan di banyak negara. Di antaranya, Indonesia, Ghana, Malaysia, Sri Lanka, dan Taiwan. Dalam kasus ini, Airbus telah mengakui perbuatan suap tersebut dan diwajibkan membayar penalti €991 juta kepada SFO Inggris melalui mekanisme DPA.
"Namun, pemberian kompensasi kepada negara korban yang ikut mengusut kejahatan itu masih dikesampingkan," kata Asep.
Baca: Eks Direktur Teknik PT Garuda Indonesia Ditahan
DPA merupakan konsep perjanjian penangguhan penuntutan dalam perkara pidana. Mekanisme ini lazim digunakan di sejumlah negara penganut sistem hukum common law seperti Inggris dan Amerika Serikat. Tujuan DPA adalah untuk memberi efek jera kepada pelaku kejahatan korporasi tertentu melalui penalti keuangan yang signifikan.
Menurut Asep, DPA merupakan salah satu solusi menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi di sektor bisnis dengan menggunakan analisis ekonomi. Namun, sejumlah kesepakatan DPA ini seringkali belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban penyuapan.
"Sebagai contoh, DPA Airbus dengan SFO Inggris yang belum memperhitungkan peran negara-negara korban yang membantu penyidikan SFO hingga berhasil menguak skandal ini," kata dia.
Harus penuhi kompensasi
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen AHU Kemenkumham) Cahyo R Muzhar meminta perusahaan raksasa Airbus memenuhi kompensasi melalui mekanisme DPA kepada negara-negara korban penyuapan.
"Penyuapan itu sangat memengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pengadaan barang dan jasa. Sehingga, hasil keputusan menjadi tidak objektif dan merugikan negara," ujar Cahyo seperti dilansir Antara.
Cahyo menekankan, dalam DPA Code of Practice pada bagian Terms, langkah-langkah untuk mengembalikan ganti rugi bagi korban sangat dikedepankan oleh SFO. Tak terkecuali pembayaran kompensasi.
"Perseroan (pelaku) memiliki kewajiban untuk membayar kompensasi kepada negara korban, mengembalikan setiap keuntungan dari tindak pidana korupsi, membayar biaya perkara termasuk jaksa, dan ikut ambil bagian dalam proses investigasi," kata dia.
Mengutip Konvensi PBB tentang Antikorupsi (UNCAC), negara asal pelaku juga wajib memberikan kompensasi kepada negara korban kejahatan korupsi, termasuk penyuapan.
"Kasus skandal suap Airbus ini sangat merugikan Indonesia dan Garuda sebagai maskapai nasional Indonesia. Skandal suap tersebut telah mendorong pengambilan keputusan yang tidak tepat dan merugikan Indonesia dalam proses pengadaan pesawat," kata Cahyo.
Jakarta: Negara masih dirugikan dalam
kasus korupsi yang bersifat transnasional. Mekanisme perjanjian penangguhan penuntutan (
deferred prosecution agreement/DPA) belum mampu membuat perusahaan yang terlibat dalam korupsi lintas negara untuk membayar ganti rugi terhadap negara korban.
"Sejauh ini baru ditemukan satu kasus yang mempertimbangkan hak negara korban atas kompensasi. Di kasus lain, belum ada sama sekali," kata Asep Nana Mulyana, penulis buku
Deferred Prosecution Agreement dalam Kejahatan Bisnis, Minggu, 27 Desember 2020.
Satu kasus yang dimaksud yaitu kasus skandal suap di Tanzania yang dilakukan Standard Bank Afrika Selatan, perusahaan berbasis di London. Dalam kasus ini, Tanzania sebagai negara korban mendapatkan kompensasi atas proses investigasi Lembaga Antikorupsi (Serious Fraud Office/SFO) Inggris melalui proses DPA. Total denda yang dibayarkan sebesar USD6 juta.
Namun, Asep menyayangkan belum ada kasus lain yang memberi kompensasi bagi negara korban. Tak terkecuali bagi Indonesia yang beberapa kali menjadi korban kejahatan lancung lintas negara.
Dia mencontohkan perusahaan raksasa Airbus yang terbukti
menyuap pejabat di sejumlah negara. Kasus itu melibatkan maskapai penerbangan di banyak negara. Di antaranya, Indonesia, Ghana, Malaysia, Sri Lanka, dan Taiwan. Dalam kasus ini, Airbus telah mengakui perbuatan suap tersebut dan diwajibkan membayar penalti €991 juta kepada SFO Inggris melalui mekanisme DPA.
"Namun, pemberian kompensasi kepada negara korban yang ikut mengusut kejahatan itu masih dikesampingkan," kata Asep.
Baca:
Eks Direktur Teknik PT Garuda Indonesia Ditahan
DPA merupakan konsep perjanjian penangguhan penuntutan dalam perkara pidana. Mekanisme ini lazim digunakan di sejumlah negara penganut sistem hukum
common law seperti Inggris dan Amerika Serikat. Tujuan DPA adalah untuk memberi efek jera kepada pelaku kejahatan korporasi tertentu melalui penalti keuangan yang signifikan.
Menurut Asep, DPA merupakan salah satu solusi menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi di sektor bisnis dengan menggunakan analisis ekonomi. Namun, sejumlah kesepakatan DPA ini seringkali belum memperhitungkan kompensasi kepada negara korban penyuapan.
"Sebagai contoh, DPA Airbus dengan SFO Inggris yang belum memperhitungkan peran negara-negara korban yang membantu penyidikan SFO hingga berhasil menguak skandal ini," kata dia.