medcom.id, Jakarta: Haji bukan sekadar ibadah. Di dalam kewajiban yang diperintahkan Islam sejak 15 abad lalu ini terdapat serangkaian makna yang penting dipahami. Haji merupakan sebuah proses umat menjadi manusia baru yang lebih baik.
Demikian dikatakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti saat dihubungi Metrotvnews.com, Kamis 15 September kemarin. Bahkan menurut dia, jika haji mampu dilakoni dengan penuh penghayatan dan niat tulus, maka ia bisa memberikan pengaruh dalam menjawab segenap tantangan dan persoalan yang tengah menimpa bangsa sekarang ini.
"Sekembalinya dari Tanah Suci, jemaah haji semestinya menjadi agen perubahan. Bukan hanya manusia yang berubah," kata Abdul Mu'ti.
Baca: Kurban dan Haji di Mata Kaum Sufi
Penyempurnaan jati diri
Sebagai ibadah pamungkas dalam rukun Islam, haji kerap disebut sebagai penyempurna dari identitas keimanan seseorang. Oleh sebagian orang, kepercayaan ini biasanya ditunjukkan dengan pemakaian nama panggilan berbeda setelah ia kembali dari Tanah Haram.
"Ada tradisi di masyarakat Indonesia yang mengubah namanya dengan nama yang dianggap lebih Islami sesudah menunaikan ibadah haji. Ini adalah simbol dari pemaknaan bahwa haji adalah proses spiritual seseorang menjadi manusia baru," kata dia.
Namun jauh melampaui itu, kata Mu'ti, hikmah melaksanakan ibadah haji adalah menjadikan diri sebagai manusia yang tercerahan, menginspirasi, serta memiliki semangat dalam menebar dan berbuat kebaikan.
"Kemuliaan dan nilai-nilai haji tersebut sering kali hilang. Haji dimaknai sebatas kegiatan ritual formal sehingga tidak membentuk karakter utama," kata Mu'ti.
Baca: Menag: Haji Mabrur Ditandai Solidaritas
Dari serangkaian ibadah yang dilalui, haji semestinya mampu menempa seseorang menjadi sosok teladan. Jika dirunut dari tradisi haji di Indonesia, ibadah ini telah jelas terbukti melahirkan sosok-sosok andal yang mampu memberikan sumbangsih terhadap kemajuan peradaban di tengah masyarakat, bangsa, dan negara.
"Mayoritas dari mereka yang menjadi pembaharu Islam di Indonesia dan pelopor pembangunan masyarakat adalah mereka yang pulang dari Tanah Suci. Mereka mendapatkan inspirasi untuk menebar dan melakukan kebaikan," ujar Mu'ti.
Baca: Merayakan Iduladha, Semangat Berkorban untuk Agama dan Negara
Mengambil inspirasi dari ibadah haji
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sekian tahap yang dilalui dalam beribadah haji. Hal itu bisa dilihat sejak kali pertama seorang calon haji tiba di Tanah Suci. Sejak miqat, mereka diperintahkan mengenakan pakaian ihram. Dua helai kain putih itu mesti dipakai oleh jutaan jemaah haji tanpa adanya perbedaan jenis dan corak tertentu.
"Ihram adalah simbol egalitarianisme kemanusiaan. Tidak ada primordialisme nasab atau keturunan, ras, kekayaan, jabatan, kebangsaan, atau lainnya," kata Mu'ti.
Begitu juga di saat jemaah menunaikan tawaf di Baitullah. Proses ini mengamanatkan kesatuan antarumat manusia. Tawaf, kata Mu'ti, merupakan semangat menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka secara kompak mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam kesatuan iman.
Baca: Haji, Semangat Perlawanan, dan Persatuan Islam
Inspirasi selanjutnya ditemukan jemaah saat melaksanakan sai. Sai melambangkan perintah bagi manusia agar memiliki semangat tinggi dan bekerja keras. Shafa, nama sebuah bukit yang dijadikan patokan memiliki makna kasih sayang yang tulus. Sementara Marwa adalah kekuatan tekad.
"Sai menarasikan tanggung jawab pemimpin dalam menyelamatkan dan menyejahterakan umat," kata dia.
Baca: Idulkurban dan Beragam Tafsir Sosok Ismail
Lain lagi dengan ritual wukuf di Arafah. Wukuf seragam dengan kata waqaf dengan makna berhenti. Amanat yang terkandung dalam tahap penting ini adalah agar manusia mampu berhenti dan meninggalkan segala kelemahan dan kemaksiatan yang lekat sebelum menunaikan ibadah haji. Sementara dalam ritual melontar jumrah, ia adalah lambang keberanian manusia untuk senantiasa berada di jalan yang benar.
"Dalam kehidupan sekarang ini banyak orang baik dan hebat, tapi tidak mampu istikamah dalam memegang amanah karena bisikan jahat dan godaan keindahan dari orang-orang dekatnya," kata Mu'ti.
Yang berikutnya adalah tahallul. Tahapan ini menunjukan niat yang kuat untuk memotong segala bentuk kemaksiatan.
"Jangan sampai menjadi haji 'tomat'. Sepulang ke Tanah Air tidak tobat dan lanjut maksiat," ujar Mu'ti sedikit terkekeh.
Baca: Adakalanya Allah yang Bertamu ke Rumah Seseorang
Jika semua itu dipahami dengan baik, maka, kata dia, seorang haji tersebut boleh dibilang mabrur. Mu'ti membayangkan, jika saja seorang haji mampu mendalami apa yang dipesankan dalam setiap ritual yang dilakukannya selama di Mekkah, maka akan ada ratusan ribu orang baik yang secara otomatis akan menjadikan Indonesia menjadi negeri yang tenteram, aman, maju, dan beradab.
"Kehidupan sosial dan kebangsaan kita sekarang ini masih sangat jauh dari nilai-nilai haji. Korupsi, kekerasan, intoleransi, perdagangan manusia, dan eksploitasi alam masih merajalela. Semoga ke depannya lebih baik," ujar dia.
medcom.id, Jakarta: Haji bukan sekadar ibadah. Di dalam kewajiban yang diperintahkan Islam sejak 15 abad lalu ini terdapat serangkaian makna yang penting dipahami. Haji merupakan sebuah proses umat menjadi manusia baru yang lebih baik.
Demikian dikatakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu'ti saat dihubungi
Metrotvnews.com, Kamis 15 September kemarin. Bahkan menurut dia, jika haji mampu dilakoni dengan penuh penghayatan dan niat tulus, maka ia bisa memberikan pengaruh dalam menjawab segenap tantangan dan persoalan yang tengah menimpa bangsa sekarang ini.
"Sekembalinya dari Tanah Suci, jemaah haji semestinya menjadi agen perubahan. Bukan hanya manusia yang berubah," kata Abdul Mu'ti.
Baca: Kurban dan Haji di Mata Kaum Sufi
Penyempurnaan jati diri
Sebagai ibadah pamungkas dalam rukun Islam, haji kerap disebut sebagai penyempurna dari identitas keimanan seseorang. Oleh sebagian orang, kepercayaan ini biasanya ditunjukkan dengan pemakaian nama panggilan berbeda setelah ia kembali dari Tanah Haram.
"Ada tradisi di masyarakat Indonesia yang mengubah namanya dengan nama yang dianggap lebih Islami sesudah menunaikan ibadah haji. Ini adalah simbol dari pemaknaan bahwa haji adalah proses spiritual seseorang menjadi manusia baru," kata dia.
Namun jauh melampaui itu, kata Mu'ti, hikmah melaksanakan ibadah haji adalah menjadikan diri sebagai manusia yang tercerahan, menginspirasi, serta memiliki semangat dalam menebar dan berbuat kebaikan.
"Kemuliaan dan nilai-nilai haji tersebut sering kali hilang. Haji dimaknai sebatas kegiatan ritual formal sehingga tidak membentuk karakter utama," kata Mu'ti.
Baca: Menag: Haji Mabrur Ditandai Solidaritas
Dari serangkaian ibadah yang dilalui, haji semestinya mampu menempa seseorang menjadi sosok teladan. Jika dirunut dari tradisi haji di Indonesia, ibadah ini telah jelas terbukti melahirkan sosok-sosok andal yang mampu memberikan sumbangsih terhadap kemajuan peradaban di tengah masyarakat, bangsa, dan negara.
"Mayoritas dari mereka yang menjadi pembaharu Islam di Indonesia dan pelopor pembangunan masyarakat adalah mereka yang pulang dari Tanah Suci. Mereka mendapatkan inspirasi untuk menebar dan melakukan kebaikan," ujar Mu'ti.
Baca: Merayakan Iduladha, Semangat Berkorban untuk Agama dan Negara
Mengambil inspirasi dari ibadah haji
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari sekian tahap yang dilalui dalam beribadah haji. Hal itu bisa dilihat sejak kali pertama seorang calon haji tiba di Tanah Suci. Sejak miqat, mereka diperintahkan mengenakan pakaian ihram. Dua helai kain putih itu mesti dipakai oleh jutaan jemaah haji tanpa adanya perbedaan jenis dan corak tertentu.
"Ihram adalah simbol egalitarianisme kemanusiaan. Tidak ada primordialisme nasab atau keturunan, ras, kekayaan, jabatan, kebangsaan, atau lainnya," kata Mu'ti.
Begitu juga di saat jemaah menunaikan tawaf di Baitullah. Proses ini mengamanatkan kesatuan antarumat manusia. Tawaf, kata Mu'ti, merupakan semangat menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka secara kompak mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam kesatuan iman.
Baca: Haji, Semangat Perlawanan, dan Persatuan Islam
Inspirasi selanjutnya ditemukan jemaah saat melaksanakan sai. Sai melambangkan perintah bagi manusia agar memiliki semangat tinggi dan bekerja keras. Shafa, nama sebuah bukit yang dijadikan patokan memiliki makna kasih sayang yang tulus. Sementara Marwa adalah kekuatan tekad.
"Sai menarasikan tanggung jawab pemimpin dalam menyelamatkan dan menyejahterakan umat," kata dia.
Baca: Idulkurban dan Beragam Tafsir Sosok Ismail
Lain lagi dengan ritual wukuf di Arafah. Wukuf seragam dengan kata waqaf dengan makna berhenti. Amanat yang terkandung dalam tahap penting ini adalah agar manusia mampu berhenti dan meninggalkan segala kelemahan dan kemaksiatan yang lekat sebelum menunaikan ibadah haji. Sementara dalam ritual melontar jumrah, ia adalah lambang keberanian manusia untuk senantiasa berada di jalan yang benar.
"Dalam kehidupan sekarang ini banyak orang baik dan hebat, tapi tidak mampu istikamah dalam memegang amanah karena bisikan jahat dan godaan keindahan dari orang-orang dekatnya," kata Mu'ti.
Yang berikutnya adalah tahallul. Tahapan ini menunjukan niat yang kuat untuk memotong segala bentuk kemaksiatan.
"Jangan sampai menjadi haji 'tomat'. Sepulang ke Tanah Air tidak tobat dan lanjut maksiat," ujar Mu'ti sedikit terkekeh.
Baca: Adakalanya Allah yang Bertamu ke Rumah Seseorang
Jika semua itu dipahami dengan baik, maka, kata dia, seorang haji tersebut boleh dibilang mabrur. Mu'ti membayangkan, jika saja seorang haji mampu mendalami apa yang dipesankan dalam setiap ritual yang dilakukannya selama di Mekkah, maka akan ada ratusan ribu orang baik yang secara otomatis akan menjadikan Indonesia menjadi negeri yang tenteram, aman, maju, dan beradab.
"Kehidupan sosial dan kebangsaan kita sekarang ini masih sangat jauh dari nilai-nilai haji. Korupsi, kekerasan, intoleransi, perdagangan manusia, dan eksploitasi alam masih merajalela. Semoga ke depannya lebih baik," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)