medcom.id, Jakarta: Di seantero penjuru bumi, umat Muslim tengah bersiap menyongsong hari suci Iduladha. Dalam hari besar yang tahun ini diperingati pada 12 September itu, tersimpan dua momentum agung. Ialah kewajiban berhaji dan berkurban.
Untuk Muslim yang berada di Indonesia, kewajiban ibadah haji dan kurban memiliki satu pesan dan makna khusus. Keduanya, serupa satu paket sarana guna menunjukkan rasa bakti dan cinta, baik kepada agama maupun negara.
"Makna Iduladha adalah kesiapan berkorban demi izzul Islam wal wathan. Berkorban demi keluhuran Islam dan Negara," kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj saat ditemui Metrotvnews.com di ruang kerjanya di Lantai III Kantor PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2016).
Baca: Idulkurban dan Beragam Tafsir Sosok Ismail
Haji, menurut sosok yang akrab disapa Kiai Said ini, menyimpan semangat untuk berpasrah dan bermenung guna menyucikan diri dari dosa dan kembali ke Tanah Air dengan pribadi yang lebih baik. Sementara kurban, tiada lain adalah simbol kepedulian kepada sesama manusia sebagaimana amanat Islam.
"Sejak 15 abad lalu, kedua perintah ini sangat jelas. Haji dan kurban adalah ruang bagi manusia untuk memperbaiki diri. Baik menata kembali kualitas hubungan dengan Allah SWT, maupun dengan sesama makhluk," kata dia.
Ibadah kurban menuntut seorang Muslim untuk menyisihkan sebagian dari apa yang dimiliki. Bukan sekadar bermakna mengorbankan uang untuk membeli hewan atau yang telah dikeluarkan sebagai ongkos naik haji. Akan tetapi, berkorban bisa juga melalui niat, gagasan, serta tekad untuk membangun negara, juga mewujudkan perdamaian dunia sebagai mana ajaran utama agama Islam.
Baca: Kurban dan Haji di Mata Kaum Sufi
Semangat berkorban bisa diambil dari apa yang telah dilakukan para pendiri bangsa. Para pendahulu, kata pengasuh Pesantren Kyai Haji Aqiel Siroj (KHAS) Kempek Cirebon, Jawa Barat ini telah melepaskan segala kepentingan pribadinya demi mewujudkan Indonesia merdeka. Bukan hanya harta, namun juga pikiran, tenaga, bahkan nyawa.
"Kejayaan Islam dibangun di atas prinsip menebar rahmat kepada seluruh alam. Begitu juga, perjuangan ulama dahulu dalam mendukung kemerdekaan Indonesia tak lain bertumpu pada kecintaannya terhadap negara sebagai medan untuk beribadah," ujar Said.
Keseriusan dalam memaknai hikmah Iduladha juga semestinya mampu menjawab tantangan dan persoalan yang tengah menimpa bangsa Indonesia dewasa ini. Menurut Said, ragam persoalan yang muncul sekarang ini tak lain sebagai akibat dari mewabahnya sikap ketidakpedulian. Kekurangan ini, kata dia, pada akhirnya menggerus sikap gotong royong yang sebelumnya telah menjadi tradisi dan identitas masyarakat Indonesia.
Baca: Mengenal Istilah Hajiphobia Zaman Belanda
"Mari kita korbankan kepentingan kita, ego kita, nafsu pribadi kita, dengan mengasihi dan menyayangi antarsesama kelompok dan masyarakat, demi kejayaan Islam dan persatuan Indonesia," kata dia.
Simak juga:
Penjelasan Islam Nusantara dari Said Aqil Siroj
medcom.id, Jakarta: Di seantero penjuru bumi, umat Muslim tengah bersiap menyongsong hari suci Iduladha. Dalam hari besar yang tahun ini diperingati pada 12 September itu, tersimpan dua momentum agung. Ialah kewajiban berhaji dan berkurban.
Untuk Muslim yang berada di Indonesia, kewajiban ibadah haji dan kurban memiliki satu pesan dan makna khusus. Keduanya, serupa satu paket sarana guna menunjukkan rasa bakti dan cinta, baik kepada agama maupun negara.
"Makna Iduladha adalah kesiapan berkorban demi
izzul Islam wal wathan. Berkorban demi keluhuran Islam dan Negara," kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj saat ditemui
Metrotvnews.com di ruang kerjanya di Lantai III Kantor PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (10/9/2016).
Baca: Idulkurban dan Beragam Tafsir Sosok Ismail
Haji, menurut sosok yang akrab disapa Kiai Said ini, menyimpan semangat untuk berpasrah dan bermenung guna menyucikan diri dari dosa dan kembali ke Tanah Air dengan pribadi yang lebih baik. Sementara kurban, tiada lain adalah simbol kepedulian kepada sesama manusia sebagaimana amanat Islam.
"Sejak 15 abad lalu, kedua perintah ini sangat jelas. Haji dan kurban adalah ruang bagi manusia untuk memperbaiki diri. Baik menata kembali kualitas hubungan dengan Allah SWT, maupun dengan sesama makhluk," kata dia.
Ibadah kurban menuntut seorang Muslim untuk menyisihkan sebagian dari apa yang dimiliki. Bukan sekadar bermakna mengorbankan uang untuk membeli hewan atau yang telah dikeluarkan sebagai ongkos naik haji. Akan tetapi, berkorban bisa juga melalui niat, gagasan, serta tekad untuk membangun negara, juga mewujudkan perdamaian dunia sebagai mana ajaran utama agama Islam.
Baca: Kurban dan Haji di Mata Kaum Sufi
Semangat berkorban bisa diambil dari apa yang telah dilakukan para pendiri bangsa. Para pendahulu, kata pengasuh Pesantren Kyai Haji Aqiel Siroj (KHAS) Kempek Cirebon, Jawa Barat ini telah melepaskan segala kepentingan pribadinya demi mewujudkan Indonesia merdeka. Bukan hanya harta, namun juga pikiran, tenaga, bahkan nyawa.
"Kejayaan Islam dibangun di atas prinsip menebar rahmat kepada seluruh alam. Begitu juga, perjuangan ulama dahulu dalam mendukung kemerdekaan Indonesia tak lain bertumpu pada kecintaannya terhadap negara sebagai medan untuk beribadah," ujar Said.
Keseriusan dalam memaknai hikmah Iduladha juga semestinya mampu menjawab tantangan dan persoalan yang tengah menimpa bangsa Indonesia dewasa ini. Menurut Said, ragam persoalan yang muncul sekarang ini tak lain sebagai akibat dari mewabahnya sikap ketidakpedulian. Kekurangan ini, kata dia, pada akhirnya menggerus sikap gotong royong yang sebelumnya telah menjadi tradisi dan identitas masyarakat Indonesia.
Baca: Mengenal Istilah Hajiphobia Zaman Belanda
"Mari kita korbankan kepentingan kita, ego kita, nafsu pribadi kita, dengan mengasihi dan menyayangi antarsesama kelompok dan masyarakat, demi kejayaan Islam dan persatuan Indonesia," kata dia.
Simak juga:
Penjelasan Islam Nusantara dari Said Aqil Siroj Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)