medcom.id, Jakarta: Zulhijah bulan mulia. Dalam bulan ke sepuluh penanggalan Islam ini tersimpan dua peristiwa penting, yakni kewajiban haji dan kurban. Dari segi teknis pelaksanaan ibadah, keduanya memang berbeda. Namun jika ditilik dari semangat dan sejarahnya dua momentum tersebut merujuk pada kisah-kisah yang berhubungan dengan satu sosok agung. Ialah Nabi Ismail AS.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, dalam ibadah haji ada sebuah pesan yang diamanatkan kepada manusia yang bertumpu pada cerita yang pernah dialami Nabi Ismail. Sebagaimana yang telah banyak dipaham, ritual sa'i atau lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah merupakan napak tilas dari peristiwa yang dilakukan ibunda Ismail, Siti Hajar, kala putranya dilanda rasa haus dan lapar. Siti Hajar berlari mencari sumber air dan makanan hingga di sana pula lah dikenal awal mula keberadaan sumur Zamzam.
"Maknanya, tidak ada sesuatu yang hadir tanpa diusahakan. Manusia wajib ikhtiar meski Allah SWT yang Maha Menentukan," kata Nasaruddin saat ditemui Metrotvnews.com di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) RI, Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Jumat (2/9/2016) lalu.
Jika ditarik pada masa sekarang, sosok Ismail tidak bisa ditampilkan hanya sebagai putra Nabi Ibrahim. Namun ia juga bisa diterjemahkan sebagai banyak hal yang dianggap sebagai simbol kecintaan manusia terhadap sesuatu. Soal ini, kata Nasaruddin, bisa diambil dari pemaknaan ibadah kurban. Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana memaknai sosok Nabi Ismail dalam perintah kurban?
Ya. Nabi Ismail bisa dimaknai sebagai simbol kecintaan. Telah begitu lama Nabi Ibrahim mengidamkan dan memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak. Setelah Allah mengabulkannya, tentu ia sangat bergembira. Nabi Ibrahim sangat mencintai putranya itu. Sehingga Allah pun kembali mengujinya dengan perintah untuk menyembelih Ismail.
Di sanalah kredibilitas keimanan seseorang diuji. Simbol kecintaan terhadap sesuatu dan pertentangannya dengan keimanan bisa dimaknakan berlanjut hingga masa sekarang. Jika itu dipahami, maka, niscaya seseorang akan merasa takut mencuri, berbuat jahat, maupun bertindak korupsi.
Bagaimana contohnya?
Semisal seseorang berpangkat, ketika berhadapan dengan persoalan seberapa jauh ia memantapkan keimanan, maka beranikah ia melepaskan jabatannya itu?. Jabatan itulah Ismail sekarang. Seorang perempuan, apakah bisa menahan untuk tidak memaksakan memiliki perhiasan atau apapun yang disenangi namun di luar kemampuan? itulah makna Ismail sebagai simbol kecintaan. Jadi, Nabi Ismail sekarang ini bisa ditampilkan dalam bentuk yang lebih beragam. Bukan sekadar kecintaan orang tua kepada anaknya.
Dalam bulan Zulhijah penuh keberkahan ini, marilah kita belajar pada kerelaan Nabi Ibrahim yang menggugurkan kecintaannya kepada dunia, kepada Nabi Ismail, demi menunjukan totalitas penghambaan kepada Allah SWT. Dalam sisi ini juga mesti diyakinkan, Allah SWT akan menolong orang-orang yang memiliki keimanan penuh. Seperti halnya Allah pula yang menyelamatkan Nabi Ismail yang hendak disembelih dan menggantinya dengan domba.
Itu penghayatan secara personal, bagaimana pesan sosial kurban?
Tuhan mengamanatkan manusia untuk hidup berimbang. Begitu pula pada perintah-perintah yang Dia turunkan. Ketika Idulfitri, setiap Muslim wajib menunaikan zakat fitrah. Konten utama zakat ini adalah bahan-bahan berkandungan karbohidrat, contohnya beras. Maka pada Iduladha ini orang-orang diamanatkan untuk berkurban hewan ternak. Di dalamnya mengandung protein. Boleh dibilang, amanat yang terkandung di dalamnya adalah pola keberimbangan yang mesti diterapkan dalam berbagai hal.
Kurban memiliki tujuan berbagi. Bagaimana agar pesan ini benar-benar terasa?
Ya. Biasanya daging akan berlebih pada hari H Iduladha. Sementara besok dan seterusnya kembali pada situasi yang sama. Intinya seperti ini, sekarang orang menganggap bahwa kurban adalah kewajiban perseorangan. Padahal itu cukup per keluarga. Kemudian, sasaran pendistribusian daging juga harus benar-benar diperhatikan. Sekarang ini sudah banyak muncul inisiatif-inisiatif bagus, semisal mengelompokkan hasil kurban lalu dialokasikan kepada wilayah atau negara-negara miskin yang membutuhkan.
Selebihnya, Iduladha itu membawa berkah. Jika harga daging tidak tergapai oleh orang-orang tertentu (kurang beruntung, red) di hari biasa, maka melalui ibadah kurban itu kita berbagi dan mereka bisa merasakannya. Tapi, pesan berbagi ini tidak boleh hanya diterapkan dalam momentum-momentum tertentu saja. Semangat Islam dalam berbagi dan berkepedulian sosial itu sebenarnya sangat tinggi. Maka hal itu juga harus dijaga dan ditunjukkan seorang Muslim dalam kehidupannya sehari-hari.
Kalau disatukan antara haji dan kurban, apa pesan yang bisa dimunculkan?
Penghambaan total kepada Allah SWT. Selain diambil pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Semisal haji, juga diambil dari peristiwa turunnya Nabi Adam ke bumi. Sewaktu di surga, ia merasa dekat dengan Allah SWT yang kemudian merasa sedih tak berkesudahan karena saat harus ke bumi ia menganggap akan berjarak dengan Tuhan.
Ketika kali pertama tiba di bumi. Apa yang diminta Adam? tak lain ia meminta dibangunkan oleh Allah SWT sebuah rumah penyembahan. Baitullah itulah rumah ibadah atau persembahan pertama yang ada di bumi. Lalu Adam bertawaf sebagaimana ia melihat para malaikat tawaf waktu di Baitul Makmur. Baitul Makmur itu miniatur 'Arsy, sementara Kakbah adalah miniatur dari Baitul Makmur.
Penghambaan secara total dimaknai Adam sebagai tugas penting dan utama setelah ia turun ke bumi sebagai khalifah. Haji mengambil inisiatif itu. Maka kemabrur-an seorang haji, bisa diukur sejauh mana perbedaan ia dalam totalitas penghambaan kepada Allah SWT, juga berbuat baik kepada sesama manusia sebelum dan sesudah ia menunaikan rukun Islam ke lima itu.
medcom.id, Jakarta: Zulhijah bulan mulia. Dalam bulan ke sepuluh penanggalan Islam ini tersimpan dua peristiwa penting, yakni kewajiban haji dan kurban. Dari segi teknis pelaksanaan ibadah, keduanya memang berbeda. Namun jika ditilik dari semangat dan sejarahnya dua momentum tersebut merujuk pada kisah-kisah yang berhubungan dengan satu sosok agung. Ialah Nabi Ismail AS.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mengatakan, dalam ibadah haji ada sebuah pesan yang diamanatkan kepada manusia yang bertumpu pada cerita yang pernah dialami Nabi Ismail. Sebagaimana yang telah banyak dipaham, ritual
sa'i atau lari kecil antara bukit Shafa dan Marwah merupakan napak tilas dari peristiwa yang dilakukan ibunda Ismail, Siti Hajar, kala putranya dilanda rasa haus dan lapar. Siti Hajar berlari mencari sumber air dan makanan hingga di sana pula lah dikenal awal mula keberadaan sumur Zamzam.
"Maknanya, tidak ada sesuatu yang hadir tanpa diusahakan. Manusia wajib ikhtiar meski Allah SWT yang Maha Menentukan," kata Nasaruddin saat ditemui
Metrotvnews.com di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) RI, Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Jumat (2/9/2016) lalu.
Jika ditarik pada masa sekarang, sosok Ismail tidak bisa ditampilkan hanya sebagai putra Nabi Ibrahim. Namun ia juga bisa diterjemahkan sebagai banyak hal yang dianggap sebagai simbol kecintaan manusia terhadap sesuatu. Soal ini, kata Nasaruddin, bisa diambil dari pemaknaan ibadah kurban. Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana memaknai sosok Nabi Ismail dalam perintah kurban?
Ya. Nabi Ismail bisa dimaknai sebagai simbol kecintaan. Telah begitu lama Nabi Ibrahim mengidamkan dan memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai seorang anak. Setelah Allah mengabulkannya, tentu ia sangat bergembira. Nabi Ibrahim sangat mencintai putranya itu. Sehingga Allah pun kembali mengujinya dengan perintah untuk menyembelih Ismail.
Di sanalah kredibilitas keimanan seseorang diuji. Simbol kecintaan terhadap sesuatu dan pertentangannya dengan keimanan bisa dimaknakan berlanjut hingga masa sekarang. Jika itu dipahami, maka, niscaya seseorang akan merasa takut mencuri, berbuat jahat, maupun bertindak korupsi.
Bagaimana contohnya?
Semisal seseorang berpangkat, ketika berhadapan dengan persoalan seberapa jauh ia memantapkan keimanan, maka beranikah ia melepaskan jabatannya itu?. Jabatan itulah Ismail sekarang. Seorang perempuan, apakah bisa menahan untuk tidak memaksakan memiliki perhiasan atau apapun yang disenangi namun di luar kemampuan? itulah makna Ismail sebagai simbol kecintaan. Jadi, Nabi Ismail sekarang ini bisa ditampilkan dalam bentuk yang lebih beragam. Bukan sekadar kecintaan orang tua kepada anaknya.
Dalam bulan Zulhijah penuh keberkahan ini, marilah kita belajar pada kerelaan Nabi Ibrahim yang menggugurkan kecintaannya kepada dunia, kepada Nabi Ismail, demi menunjukan totalitas penghambaan kepada Allah SWT. Dalam sisi ini juga mesti diyakinkan, Allah SWT akan menolong orang-orang yang memiliki keimanan penuh. Seperti halnya Allah pula yang menyelamatkan Nabi Ismail yang hendak disembelih dan menggantinya dengan domba.
Itu penghayatan secara personal, bagaimana pesan sosial kurban?
Tuhan mengamanatkan manusia untuk hidup berimbang. Begitu pula pada perintah-perintah yang Dia turunkan. Ketika Idulfitri, setiap Muslim wajib menunaikan zakat fitrah. Konten utama zakat ini adalah bahan-bahan berkandungan karbohidrat, contohnya beras. Maka pada Iduladha ini orang-orang diamanatkan untuk berkurban hewan ternak. Di dalamnya mengandung protein. Boleh dibilang, amanat yang terkandung di dalamnya adalah pola keberimbangan yang mesti diterapkan dalam berbagai hal.
Kurban memiliki tujuan berbagi. Bagaimana agar pesan ini benar-benar terasa?
Ya. Biasanya daging akan berlebih pada hari H Iduladha. Sementara besok dan seterusnya kembali pada situasi yang sama. Intinya seperti ini, sekarang orang menganggap bahwa kurban adalah kewajiban perseorangan. Padahal itu cukup per keluarga. Kemudian, sasaran pendistribusian daging juga harus benar-benar diperhatikan. Sekarang ini sudah banyak muncul inisiatif-inisiatif bagus, semisal mengelompokkan hasil kurban lalu dialokasikan kepada wilayah atau negara-negara miskin yang membutuhkan.
Selebihnya, Iduladha itu membawa berkah. Jika harga daging tidak tergapai oleh orang-orang tertentu (kurang beruntung,
red) di hari biasa, maka melalui ibadah kurban itu kita berbagi dan mereka bisa merasakannya. Tapi, pesan berbagi ini tidak boleh hanya diterapkan dalam momentum-momentum tertentu saja. Semangat Islam dalam berbagi dan berkepedulian sosial itu sebenarnya sangat tinggi. Maka hal itu juga harus dijaga dan ditunjukkan seorang Muslim dalam kehidupannya sehari-hari.
Kalau disatukan antara haji dan kurban, apa pesan yang bisa dimunculkan?
Penghambaan total kepada Allah SWT. Selain diambil pelajaran dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Semisal haji, juga diambil dari peristiwa turunnya Nabi Adam ke bumi. Sewaktu di surga, ia merasa dekat dengan Allah SWT yang kemudian merasa sedih tak berkesudahan karena saat harus ke bumi ia menganggap akan berjarak dengan Tuhan.
Ketika kali pertama tiba di bumi. Apa yang diminta Adam? tak lain ia meminta dibangunkan oleh Allah SWT sebuah rumah penyembahan.
Baitullah itulah rumah ibadah atau persembahan pertama yang ada di bumi. Lalu Adam bertawaf sebagaimana ia melihat para malaikat tawaf waktu di
Baitul Makmur.
Baitul Makmur itu miniatur
'Arsy, sementara Kakbah adalah miniatur dari
Baitul Makmur.
Penghambaan secara total dimaknai Adam sebagai tugas penting dan utama setelah ia turun ke bumi sebagai khalifah. Haji mengambil inisiatif itu. Maka ke
mabrur-an seorang haji, bisa diukur sejauh mana perbedaan ia dalam totalitas penghambaan kepada Allah SWT, juga berbuat baik kepada sesama manusia sebelum dan sesudah ia menunaikan rukun Islam ke lima itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)