medcom.id, Jakarta: Haji masa lampau dimaknai sebagai simbol perlawanan. Ketika Indonesia masih di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda, haji menjadi momok yang mengkhawatirkan di mata penjajah. Pola ini muncul lantaran setelah pergi haji fanatisme pribumi terhadap agama semakin meningkat. Dampaknya, gerakan mengkritik dan melawan penjajah tergalang begitu kuat.
Kekhawatiran terhadap meningkatnya gelombang haji pribumi ini marak disebut hajiphobia. Hajiphobia dikenal pertama kali sejak urusan-urusan pemerintahan masih dalam kewenangan kongsi dagang Hindia Belanda (VOC). Dalam Historiografi Haji Indonesia M. Shaleh Putuhena menjelaskan hajiphobia Belanda juga berlangsung seiring menguatnya pan-Islamisme di dunia internasional.
"Pada abad 19, Belanda menganggap Islam sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup kolonialisme," tulis Putuhena.
Baca: Awal Mula Haji di Indonesia
Perlawanan dan pemberontakan haji
Di sepanjang sejarah perjuangan Indonesia banyak ditemukan catatan yang berkisah tentang perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Kritik yang berujung pada gerakan pemberontakan itu dipimpin pemuka agama yang kental dengan istilah haji. Sebut misal peristiwa perang Padri, perang Diponegoro, pemberontakan Banten, juga perang Aceh.
Khusus pemberontakan Banten, peristiwa yang meletus pada Juni 1888 ini dianggap sebagai pukulan telak bagi kolonialisme di Indonesia. Pemberontakan yang diinisiasi oleh para haji dan pemuka agama ini merupakan respons atas nestapa sosial pribumi serta penyingkiran peran umat Islam.
"Peristiwa-peristiwa itu membentuk pandangan tertentu pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam. Islam dilihat sebagai het gevaarlijkste elemen voor Indie, als Mohammadansche fanatisme alias sebagai elemen paling berbahaya dan patut diawasi," tulis dia.
Atas dasar pandangan itu maka orang-orang Islam pribumi ditakuti, dicurigai, dibatasi, dan dihalangi kegiatannya. Setiap Muslim yang tengah berkegiatan di masjid dipantau secara ketat. Guru-guru ngaji yang sedang menunaikan tugasnya di tengah masyarakat kerap diperiksa dan disita kitabnya.
Cara penjajah menekan angka haji Hindia Belanda
Berbagai cara dilakukan Belanda untuk mencegah gelombang jemaah haji Muslim pribumi semakin membesar. Pada 1825, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan ordonansi baru berupa keharusan bagi calon haji untuk memiliki pas jalan dengan biaya yang tak sedikit.
Baca: Kapal Laut dan Perjuangan Calon Haji Masa Lampau
"Sedangkan untuk mendapatkannya harus membayar 110 gulden, yang ketika itu nilainya sepadan dengan harga rumah yang cukup besar," tulis sejarawan Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe.
Meski begitu, tampaknya upaya Belanda hanya kesia-siaan belaka. Jumlah Muslim pribumi yang berangkat ke Tanah Suci terus merangkak naik. Koloniaal Verslag mencontohkan lonjakan jemaah terjadi di Karesidenan Preanger (Priangan). Seri penerbitan statistik ekonomi Hindia Belanda itu menuliskan jumlah jemaah haji melonjak sebanyak 843 orang pada 1879. Jumlah itu kembali meningkat menjadi 2.508 pada tahun 1880.
Pemerintah Hindia Belanda semakin dibayang-bayangi ketakutannya sendiri. Di beberapa daerah, arogansi penjajah bahkan ditunjukkan dengan adanya pelarangan haji secara terang-terangan.
medcom.id, Jakarta: Haji masa lampau dimaknai sebagai simbol perlawanan. Ketika Indonesia masih di bawah kendali pemerintah Hindia Belanda, haji menjadi momok yang mengkhawatirkan di mata penjajah. Pola ini muncul lantaran setelah pergi haji fanatisme pribumi terhadap agama semakin meningkat. Dampaknya, gerakan mengkritik dan melawan penjajah tergalang begitu kuat.
Kekhawatiran terhadap meningkatnya gelombang haji pribumi ini marak disebut
hajiphobia.
Hajiphobia dikenal pertama kali sejak urusan-urusan pemerintahan masih dalam kewenangan kongsi dagang Hindia Belanda (VOC). Dalam
Historiografi Haji Indonesia M. Shaleh Putuhena menjelaskan
hajiphobia Belanda juga berlangsung seiring menguatnya pan-Islamisme di dunia internasional.
"Pada abad 19, Belanda menganggap Islam sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup kolonialisme," tulis Putuhena.
Baca: Awal Mula Haji di Indonesia
Perlawanan dan pemberontakan haji
Di sepanjang sejarah perjuangan Indonesia banyak ditemukan catatan yang berkisah tentang perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Kritik yang berujung pada gerakan pemberontakan itu dipimpin pemuka agama yang kental dengan istilah haji. Sebut misal peristiwa perang Padri, perang Diponegoro, pemberontakan Banten, juga perang Aceh.
Khusus pemberontakan Banten, peristiwa yang meletus pada Juni 1888 ini dianggap sebagai pukulan telak bagi kolonialisme di Indonesia. Pemberontakan yang diinisiasi oleh para haji dan pemuka agama ini merupakan respons atas nestapa sosial pribumi serta penyingkiran peran umat Islam.
"Peristiwa-peristiwa itu membentuk pandangan tertentu pemerintah Hindia Belanda terhadap Islam. Islam dilihat sebagai
het gevaarlijkste elemen voor Indie, als Mohammadansche fanatisme alias sebagai elemen paling berbahaya dan patut diawasi," tulis dia.
Atas dasar pandangan itu maka orang-orang Islam pribumi ditakuti, dicurigai, dibatasi, dan dihalangi kegiatannya. Setiap Muslim yang tengah berkegiatan di masjid dipantau secara ketat. Guru-guru ngaji yang sedang menunaikan tugasnya di tengah masyarakat kerap diperiksa dan disita kitabnya.
Cara penjajah menekan angka haji Hindia Belanda
Berbagai cara dilakukan Belanda untuk mencegah gelombang jemaah haji Muslim pribumi semakin membesar. Pada 1825, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan ordonansi baru berupa keharusan bagi calon haji untuk memiliki pas jalan dengan biaya yang tak sedikit.
Baca: Kapal Laut dan Perjuangan Calon Haji Masa Lampau
"Sedangkan untuk mendapatkannya harus membayar 110 gulden, yang ketika itu nilainya sepadan dengan harga rumah yang cukup besar," tulis sejarawan Alwi Shahab dalam
Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe.
Meski begitu, tampaknya upaya Belanda hanya kesia-siaan belaka. Jumlah Muslim pribumi yang berangkat ke Tanah Suci terus merangkak naik.
Koloniaal Verslag mencontohkan lonjakan jemaah terjadi di Karesidenan Preanger (Priangan). Seri penerbitan statistik ekonomi Hindia Belanda itu menuliskan jumlah jemaah haji melonjak sebanyak 843 orang pada 1879. Jumlah itu kembali meningkat menjadi 2.508 pada tahun 1880.
Pemerintah Hindia Belanda semakin dibayang-bayangi ketakutannya sendiri. Di beberapa daerah, arogansi penjajah bahkan ditunjukkan dengan adanya pelarangan haji secara terang-terangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)