medcom.id, Jakarta: Sejak berabad silam, ribuan Muslim asal Nusantara telah mengenal dan menunaikan ibadah haji. Hanya saja, mereka berangkat ke Tanah Suci tidak secara terorganisasi dan masih bersifat perseorangan. Banyak Muslim kala itu melaksanakan ibadah haji hanya sebagai penyempurna seiring penuntasan misi perdagangan maupun saat memperdalam keilmuan agama di Mekkah.
Sejarawan Islam Nusantara Agus Sunyoto mengatakan geliat haji di Nusantara semakin meningkat di saat kongsi dagang Hindia Timur Belanda (VOC) membuka penyelenggaraan haji secara berjemaah dengan mengerahkan aset kapal yang dimilikinya. Peristiwa ini, kata dia, mulai berlangsung di saat VOC melihat peluang besar atas rencana dibukanya Terusan Suez pada 1869.
"Sejak akhir abad 17 itulah tercatat Mukimin Nusantara mulai menginjakkan kakinya di Mekkah dan Madinah untuk berhaji," kata Agus saat dihubungi Metrotvnews.com, Selasa (30/8/2016).
Setelah VOC runtuh, kewenangan jasa penyelenggaraan haji diambil alih pemerintah kolonial Belanda. Dalam Historiografi Haji Indonesia, Shaleh Putuhena mencatat Konsulat Belanda di Jeddah mulai menghitung biaya minimal yang mesti dikeluarkan oleh seorang calon haji. Masing-masing calon haji kala itu dikenakan f282,99 (gulden) untuk tiket pulang-pergi dan f322,99 bagi mereka yang hanya membeli tiket sekali jalan.
"Atas mahalnya biaya, serta lamanya waktu perjalanan yang hampir memakan waktu setahun ini, maka orang yang akan pergi haji mulai berinisiatif untuk berkeliling tetangga dan meminta maaf, atau melaksanakan semacam kenduri. Di sinilah tradisi yang sampai kini masih digelar di beberapa daerah itu dikenalkan. Mereka memohon doa dan keselamatan dari orang-orang tercinta agar perjalanan hajinya bisa lancar," kata Agus.
Musim haji tak pernah sepi dari jemaah asal Nusantara. Menurut Agus, masyarakat Muslim Nusantara waktu itu mampu memenuhi biaya haji bertopang pada hasil bumi baik pertanian maupun perikanan. Lonjakan jumlah calon haji terus terjadi hingga memasuki 1881-1882. Koloniaal Verslag mencontohkan lonjakan jemaah terjadi di Karesidenan Preanger (Priangan). Seri penerbitan statistik ekonomi Hindia Belanda itu menuliskan jumlah jemaah haji melonjak sebanyak 843 orang pada 1879.
"Lalu meningkat menjadi 2508 pada 1880 yang disebabkan oleh panen raya kopi pada tahun sebelumnya," tulis Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji di Indonesia.
medcom.id, Jakarta: Sejak berabad silam, ribuan Muslim asal Nusantara telah mengenal dan menunaikan ibadah haji. Hanya saja, mereka berangkat ke Tanah Suci tidak secara terorganisasi dan masih bersifat perseorangan. Banyak Muslim kala itu melaksanakan ibadah haji hanya sebagai penyempurna seiring penuntasan misi perdagangan maupun saat memperdalam keilmuan agama di Mekkah.
Sejarawan Islam Nusantara Agus Sunyoto mengatakan geliat haji di Nusantara semakin meningkat di saat kongsi dagang Hindia Timur Belanda (VOC) membuka penyelenggaraan haji secara berjemaah dengan mengerahkan aset kapal yang dimilikinya. Peristiwa ini, kata dia, mulai berlangsung di saat VOC melihat peluang besar atas rencana dibukanya Terusan Suez pada 1869.
"Sejak akhir abad 17 itulah tercatat Mukimin Nusantara mulai menginjakkan kakinya di Mekkah dan Madinah untuk berhaji," kata Agus saat dihubungi
Metrotvnews.com, Selasa (30/8/2016).
Setelah VOC runtuh, kewenangan jasa penyelenggaraan haji diambil alih pemerintah kolonial Belanda. Dalam
Historiografi Haji Indonesia, Shaleh Putuhena mencatat Konsulat Belanda di Jeddah mulai menghitung biaya minimal yang mesti dikeluarkan oleh seorang calon haji. Masing-masing calon haji kala itu dikenakan f282,99 (gulden) untuk tiket pulang-pergi dan f322,99 bagi mereka yang hanya membeli tiket sekali jalan.
"Atas mahalnya biaya, serta lamanya waktu perjalanan yang hampir memakan waktu setahun ini, maka orang yang akan pergi haji mulai berinisiatif untuk berkeliling tetangga dan meminta maaf, atau melaksanakan semacam kenduri. Di sinilah tradisi yang sampai kini masih digelar di beberapa daerah itu dikenalkan. Mereka memohon doa dan keselamatan dari orang-orang tercinta agar perjalanan hajinya bisa lancar," kata Agus.
Musim haji tak pernah sepi dari jemaah asal Nusantara. Menurut Agus, masyarakat Muslim Nusantara waktu itu mampu memenuhi biaya haji bertopang pada hasil bumi baik pertanian maupun perikanan. Lonjakan jumlah calon haji terus terjadi hingga memasuki 1881-1882.
Koloniaal Verslag mencontohkan lonjakan jemaah terjadi di Karesidenan Preanger (Priangan). Seri penerbitan statistik ekonomi Hindia Belanda itu menuliskan jumlah jemaah haji melonjak sebanyak 843 orang pada 1879.
"Lalu meningkat menjadi 2508 pada 1880 yang disebabkan oleh panen raya kopi pada tahun sebelumnya," tulis Shaleh Putuhena dalam
Historiografi Haji di Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(SBH)