medcom.id, Jakarta: Musim haji tak pernah sepi dari jemaah asal Indonesia. Sejak berabad lalu, mereka secara bergelombang bergantian mendatangi Kota Suci Mekkah guna menunaikan rukun Islam yang kelima. Namun jauh sebelum moda transportasi udara digunakan kali pertama pada 1952 silam, Muslim Indonesia harus menghabiskan masa hampir setahun untuk merampungkan sekali misi haji, pulang dan pergi.
Dalam Historiografi Haji Indonesia, Shaleh Putuhena menuliskan bahwa Indonesia telah mengenal kewajiban ibadah haji sejak dekade pertama penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera. Bagi yang telah dianggap memiliki kemampuan, mereka pergi menggunakan kapal dan mengarungi laut selama berbulan-bulan menuju Jeddah.
"Kapal haji dan jemaah meninggalkan pelabuhan di Indonesia dan Singapura paling cepat pada Jumadil Awal atau paling lambat pada bulan Syakban. Sedangkan jemaah terakhir meninggalkan Indonesia pada bulan Zulkaidah," tulis Shaleh.
Dek khusus
Di atas kapal jemaah haji pada umumnya menempati dek kategori laagste klasse alias kelas rendah. Sementara jemaah haji yang termasuk kelas tinggi (hoogste klasse) menempati kamar dalam kapal.
"Selain kedua kategori jemaah haji itu, kapal haji diperbolehkan mengangkut penumpang biasa, bukan jemaah haji (gewone passagier), yang menempati kelas tersendiri," tulis Shaleh masih dalam buku yang sama.
Sesuai dengan ordonansi haji yang diberlakukan pemerintah kolonial di era 1890an, dek khusus kapal haji dirancang dengan ketinggian sekurang-kurangnya 1,80 meter, lengkap dengan ventilasi dan penerangan yang cukup. Untuk kebutuhan cuci dan kakus, air bersih di dalam kapal biasanya disediakan untuk 1.000 orang. Sedangkan fasilitas jamban disediakan dua unit per 50 orang.
"Sebelum berangkat ke Jeddah, kapal diperiksa de Comissie tot Keuring van Pelgrimsschepen untuk mendapatkan sertifikat layak berlayar. Setelah kapal tiba di stasiun karantina Kamaran, persyaratan diteliti kembali oleh Internationale Gezondheidsraad yang berkedudukan di Iskandaria," tulis dia.
Sejarawan Islam Nusantara Agus Sunyoto mengatakan sebelum diambil alih kolonial Belanda, keberangkatan haji melalui jalur laut merupakan kewenangan dan kebebasan bagi masing-masing calon haji. Hingga memasuki awal abad 17, kerajaan atau kesultanan yang ada tidak mencampuri urusan haji seseorang karena berlayar dianggap sebagai tradisi Nusantara sebagai negeri bahari. Pengaturan keberangkatan haji baru ada seiring kedatangan kongsi dagang Hindia Timur Belanda (VOC) di Indonesia, mereka mencoba mengambil untung dengan memanfaatkan peluang yang dapat diperoleh di setiap musim haji datang.
"Sejarah mencatat VOC adalah penyelenggara haji secara rombongan untuk mengisi jalur Batavia-Amsterdam lewat Laut Merah," kata Agus kala dihubungi Metrotvnews.com, Kamis (1/9/2016).
Sebelum menemui kebangkrutannya pada 1799, kata Agus, VOC telah meramalkan bahwa berpuluh tahun kemudian seiring dibukanya Terusan Suez pada 1869, haji akan menjadi penyumbang pemasukan yang terbilang cukup besar untuk menguatkan kekuasaan dagang mereka.
Jalur, perlakuan, dan keuntungan penyelenggara
Sejak 1873 kapal haji yang berlayar dari Indonesia, Semenanjung Tanah Melayu serta Anak Benua India harus singgah di stasiun karantina Laut Merah. Sesuai konvensi Paris 1903, fasilitas stasiun karantina ini diusahakan oleh pemerintah Turki. Namun operasionalnya ditangani Inggris, Prancis, dan Belanda dalam organisasi Internationale Gezondheidsraad.
Jalur yang ditempuh kapal-kapal haji masa pemerintahan kolonial dipengaruhi atas prosedural bisnis transportasi yang mereka jalankan. Adanya persyaratan layak berlayar serta pemeriksaan yang ketat bagi calon haji menimbulkan kebingungan serta tak jarang berujung pada perlakuan yang tidak ramah.
"Kapal Kota Agung berangkat dari Belawan membawa jemaah haji kira-kira 750 orang. Sampai di Sabang sekalian jemaah disuruh turun dan berkumpul dalam satu gedung seperti kuli-kuli kontrak antre pagi-pagi untuk bekerja ke kebun," tulis Pewarta Deli edisi 3 Desember 1910 sebagaimana dikutip Shaleh dalam Historiografi Haji Indonesia.
Dalam tiga puluh tahun terakhir abad 19, terdapat empat hingga delapan ribu orang berangkat ke Mekkah di setiap tahunnya. Indonesia menyumbang 15 persen dari jumlah total orang asing yang mendarat di Hijaz. Konsulat Belanda di Jeddah menerapkan biaya yang mesti dikeluarkan calon haji sebesar f282,99 (gulden) per orang. Angka itu dihitung untuk perolehan tiket pulang-pergi. Sementara bagi yang hanya ingin membeli per sekali jalan bisa dikenakan biaya hingga f322,99.
"Pada 1881, dari keseluruhan pendapatan konsulat sebesar $11.868, lebih dari separuhnya alias $8.694 berasal dari biaya visa jemaah haji," tulis Anthony Reid, dalam Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia.
medcom.id, Jakarta: Musim haji tak pernah sepi dari jemaah asal Indonesia. Sejak berabad lalu, mereka secara bergelombang bergantian mendatangi Kota Suci Mekkah guna menunaikan rukun Islam yang kelima. Namun jauh sebelum moda transportasi udara digunakan kali pertama pada 1952 silam, Muslim Indonesia harus menghabiskan masa hampir setahun untuk merampungkan sekali misi haji, pulang dan pergi.
Dalam
Historiografi Haji Indonesia, Shaleh Putuhena menuliskan bahwa Indonesia telah mengenal kewajiban ibadah haji sejak dekade pertama penyebaran Islam di Jawa dan Sumatera. Bagi yang telah dianggap memiliki kemampuan, mereka pergi menggunakan kapal dan mengarungi laut selama berbulan-bulan menuju Jeddah.
"Kapal haji dan jemaah meninggalkan pelabuhan di Indonesia dan Singapura paling cepat pada Jumadil Awal atau paling lambat pada bulan Syakban. Sedangkan jemaah terakhir meninggalkan Indonesia pada bulan Zulkaidah," tulis Shaleh.
Dek khusus
Di atas kapal jemaah haji pada umumnya menempati dek kategori
laagste klasse alias kelas rendah. Sementara jemaah haji yang termasuk kelas tinggi (
hoogste klasse) menempati kamar dalam kapal.
"Selain kedua kategori jemaah haji itu, kapal haji diperbolehkan mengangkut penumpang biasa, bukan jemaah haji (
gewone passagier), yang menempati kelas tersendiri," tulis Shaleh masih dalam buku yang sama.
Sesuai dengan ordonansi haji yang diberlakukan pemerintah kolonial di era 1890an, dek khusus kapal haji dirancang dengan ketinggian sekurang-kurangnya 1,80 meter, lengkap dengan ventilasi dan penerangan yang cukup. Untuk kebutuhan cuci dan kakus, air bersih di dalam kapal biasanya disediakan untuk 1.000 orang. Sedangkan fasilitas jamban disediakan dua unit per 50 orang.
"Sebelum berangkat ke Jeddah, kapal diperiksa
de Comissie tot Keuring van Pelgrimsschepen untuk mendapatkan sertifikat layak berlayar. Setelah kapal tiba di stasiun karantina Kamaran, persyaratan diteliti kembali oleh
Internationale Gezondheidsraad yang berkedudukan di Iskandaria," tulis dia.
Sejarawan Islam Nusantara Agus Sunyoto mengatakan sebelum diambil alih kolonial Belanda, keberangkatan haji melalui jalur laut merupakan kewenangan dan kebebasan bagi masing-masing calon haji. Hingga memasuki awal abad 17, kerajaan atau kesultanan yang ada tidak mencampuri urusan haji seseorang karena berlayar dianggap sebagai tradisi Nusantara sebagai negeri bahari. Pengaturan keberangkatan haji baru ada seiring kedatangan kongsi dagang Hindia Timur Belanda (VOC) di Indonesia, mereka mencoba mengambil untung dengan memanfaatkan peluang yang dapat diperoleh di setiap musim haji datang.
"Sejarah mencatat VOC adalah penyelenggara haji secara rombongan untuk mengisi jalur Batavia-Amsterdam lewat Laut Merah," kata Agus kala dihubungi
Metrotvnews.com, Kamis (1/9/2016).
Sebelum menemui kebangkrutannya pada 1799, kata Agus, VOC telah meramalkan bahwa berpuluh tahun kemudian seiring dibukanya Terusan Suez pada 1869, haji akan menjadi penyumbang pemasukan yang terbilang cukup besar untuk menguatkan kekuasaan dagang mereka.
Jalur, perlakuan, dan keuntungan penyelenggara
Sejak 1873 kapal haji yang berlayar dari Indonesia, Semenanjung Tanah Melayu serta Anak Benua India harus singgah di stasiun karantina Laut Merah. Sesuai konvensi Paris 1903, fasilitas stasiun karantina ini diusahakan oleh pemerintah Turki. Namun operasionalnya ditangani Inggris, Prancis, dan Belanda dalam organisasi
Internationale Gezondheidsraad.
Jalur yang ditempuh kapal-kapal haji masa pemerintahan kolonial dipengaruhi atas prosedural bisnis transportasi yang mereka jalankan. Adanya persyaratan layak berlayar serta pemeriksaan yang ketat bagi calon haji menimbulkan kebingungan serta tak jarang berujung pada perlakuan yang tidak ramah.
"Kapal Kota Agung berangkat dari Belawan membawa jemaah haji kira-kira 750 orang. Sampai di Sabang sekalian jemaah disuruh turun dan berkumpul dalam satu gedung seperti kuli-kuli kontrak antre pagi-pagi untuk bekerja ke kebun," tulis
Pewarta Deli edisi 3 Desember 1910 sebagaimana dikutip Shaleh dalam
Historiografi Haji Indonesia.
Dalam tiga puluh tahun terakhir abad 19, terdapat empat hingga delapan ribu orang berangkat ke Mekkah di setiap tahunnya. Indonesia menyumbang 15 persen dari jumlah total orang asing yang mendarat di Hijaz. Konsulat Belanda di Jeddah menerapkan biaya yang mesti dikeluarkan calon haji sebesar f282,99 (gulden) per orang. Angka itu dihitung untuk perolehan tiket pulang-pergi. Sementara bagi yang hanya ingin membeli per sekali jalan bisa dikenakan biaya hingga f322,99.
"Pada 1881, dari keseluruhan pendapatan konsulat sebesar $11.868, lebih dari separuhnya alias $8.694 berasal dari biaya visa jemaah haji," tulis Anthony Reid, dalam
Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SBH)