Palu: Sebagian warga penyintas gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, sudah tiga kali menjalani puasa Ramadan di hunian sementara (huntara) sejak 2019-2021, setelah bencana itu memorakporandakan permukiman warga pada 28 September 2018.
Sejumlah penyintas gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo, Kota Palu, misalnya, mengaku sudah tiga kali menjalani puasa Ramadan di huntara. Sekitar 500 kepala keluarga penyintas gempa dan likuefaksi di Petobo masih berada di hunian sementara yang dibangun oleh pemerintah sejak 2018 pascagempa.
Merespons kondisi itu, Ketua DPW NasDem Sulteng, Atha Mahmud, menyatakan progres pembangunan kembali untuk pemulihan warga di Pasigala dalam skema rehab-rekon pascabencana 28 September 2018 hingga kini tak kunjung rampung tuntas.
"Tiga tahun sudah lamanya warga korban bencana masih diliputi ketidakpastian kapan bisa hidup di lokasi hunian tetap (huntap) yang permanen sebagaimana janji pemerintah," ucap Atha Mahmud., Jumat, 16 April 2021.
Baca juga: Nekat Mudik ke Sragen, Bakal Dikarantina 7 Hari
Kata Atha Mahmud, memasuki Ramadan ketiga, warga korban bencana masih hidup di lokasi pengungsian.
"Ini fakta miris dan sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita. Padahal sebelumnya, pada 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pembangunan huntap mesti harus selesai sebelum memasuki bulan suci agar warga korban bencana dapat menikmati Ramadan di hunian baru," ujar Atha.
Menurut dia, lamanya penyelesaian masalah pembangunan hunian tetap warga penyintas, mengindikasikan bahwa ada ketidakberesan yang terus menerus dibiarkan jadi berlarut. Seolah negara melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah tidak mampu menunaikan kewajiban konstitusionalnya dalam memenuhi hak warga korban bencana.
"Saya kira, hampir tiga tahun dan tiga Ramadan ini adalah batas waktu toleran bagi pemerintah pusat dan daerah. Cukup sudah bermain-main dengan soal kemanusiaan. Sudahi itu, segera tuntaskan huntap yang jadi hak warga," tegas Atha.
Sementara, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan durasi waktu dua tahun telah berakhir sesuai dengan Inpres nomor 10 tahun 2018 tentang percepatan rehab-rekon pascabencana gempa dan tsunami di Provinsi Sulteng.
Atha menilai sudah semestinya ada upaya luar biasa dilakukan. Evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap program rehab-rekon di Sulteng. Setelah Inpres Nomor 10 tahun 2018 telah berakhir masa berlakunya pada 2020 sebagai panduan yuridis dalam penanganan pascabencana di Sulteng.
"Urgensi evaluasi menyeluruh dipandang penting sebab nampak nyata kegagalan dalam memenuhi tenggat waktu sebagaimana dipersyaratkan dalam Inpres Nomor 10 tahun 2018 tersebut. Tidak hanya pada siapa pihak yang bertanggungjawab di soal apa, tapi yang terpenting adalah tranparansi dan integritas dalam penyaluran triliunan rupiah alokasi anggaran negara," ujarnya.
"Kita tidak ingin triliunan anggaran negara yang telah dialokasikan menguap percuma tanpa dirasakan manfaatnya secara menyeluruh bagi warga korban bencana," imbuhnya.
Hal itu penting karena, imbuh Atha, siapapun sadar betul setelah penanganan bencana alam pemerintah fokus pada penanganan bencana non alam, pandemi covid-19.
Palu: Sebagian warga penyintas gempa,
tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah, sudah tiga kali menjalani puasa Ramadan di hunian sementara (huntara) sejak 2019-2021, setelah bencana itu memorakporandakan permukiman warga pada 28 September 2018.
Sejumlah penyintas gempa dan likuefaksi Kelurahan Petobo, Kota Palu, misalnya, mengaku sudah tiga kali menjalani puasa Ramadan di huntara. Sekitar 500 kepala keluarga penyintas gempa dan likuefaksi di Petobo masih berada di hunian sementara yang dibangun oleh pemerintah sejak 2018 pascagempa.
Merespons kondisi itu, Ketua DPW NasDem Sulteng, Atha Mahmud, menyatakan progres pembangunan kembali untuk pemulihan warga di Pasigala dalam skema rehab-rekon pascabencana 28 September 2018 hingga kini tak kunjung rampung tuntas.
"Tiga tahun sudah lamanya warga korban bencana masih diliputi ketidakpastian kapan bisa hidup di lokasi hunian tetap (huntap) yang permanen sebagaimana janji pemerintah," ucap Atha Mahmud., Jumat, 16 April 2021.
Baca juga:
Nekat Mudik ke Sragen, Bakal Dikarantina 7 Hari
Kata Atha Mahmud, memasuki Ramadan ketiga, warga korban bencana masih hidup di lokasi pengungsian.
"Ini fakta miris dan sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita. Padahal sebelumnya, pada 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pembangunan huntap mesti harus selesai sebelum memasuki bulan suci agar warga korban bencana dapat menikmati Ramadan di hunian baru," ujar Atha.
Menurut dia, lamanya penyelesaian masalah pembangunan hunian tetap warga penyintas, mengindikasikan bahwa ada ketidakberesan yang terus menerus dibiarkan jadi berlarut. Seolah negara melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah tidak mampu menunaikan kewajiban konstitusionalnya dalam memenuhi hak warga korban bencana.
"Saya kira, hampir tiga tahun dan tiga Ramadan ini adalah batas waktu toleran bagi pemerintah pusat dan daerah. Cukup sudah bermain-main dengan soal kemanusiaan. Sudahi itu, segera tuntaskan huntap yang jadi hak warga," tegas Atha.
Sementara, kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan durasi waktu dua tahun telah berakhir sesuai dengan Inpres nomor 10 tahun 2018 tentang percepatan rehab-rekon pascabencana gempa dan tsunami di Provinsi Sulteng.