Yogyakarta: Praktik penambangan pasir di lereng Gunung Merapi lebih banyak menimbulkan dampak buruk. Padahal, pasir yang muncul dari hasil letusan gunung api itu bisa memunculkan manfaat besar bila diatur dengan benar.
"Saat memantau Gunung Merapi dengan helikopter beberapa bulan lalu, terlihat kerusakan ada di banyak titik, baik di wilayah Yogyakarta maupun Jawa Tengah," kata Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno dihubungi Medcom.id, Rabu, 15 September 2021.
Komentar Eko tersebut merupakan tanggapan atas langkah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang menutup 14 akses penambangan pasir di lereng Gunung Merapi. Penutupan penambangan itu ditempuh dengan dalih dilakukan ilegal.
Eko menjelaskan, penambangan pasir di lereng Gunung Merapi banyak dilakukan tidak benar. Selain tidak dilakukan di lokasi yang benar, penambangan itu akan menimbulkan kerusakan yang panjang.
Baca: Sri Sultan Sebut Lereng Merapi Rusak Parah karena Tambang Pasir
Ia mengatakan, penambangan pasir yang dilakukan tak sesuai tempatnya akan merusak morfologi lingkungan, menambah sedimen erosi, merusak fungsi resapan air, hingga dampak ke biota, budaya, dan biologi.
"Penambangan pasir mestinya bisa menyejahterakan masyarakat sekitar, tapi khittahnya telah disalahgunakan. Bahkan kerusakan akibat penambangan pasir lereng Merapi di Klaten dan Magelang lebih parah," kata dia.
Ia menuturkan, material pasir akibat erupsi Gunung Merapi sejatinya bisa mengganti dampak kerusakan saat gunung tersebut erupsi. Syaratnya, material jutaan kubik yang keluar itu ditambang dan dikelola dengan benar.
Eko memberikan gambaran, penambangan pasir semestinya dilakukan hanya di wilayah sungai. Artinya, penambangan harus mendukung untuk mengurangi sedimentasi atau pendangkalan sungai akibat ketutup material erupsi.
Eksekusi penambangan tidak boleh dilakukan di lingkungan warga atau merusak lingkungan sekitar sungai. Sungai yang sudah ditambang itu kemudian dibiarkan, dan baru bisa ditambang lagi setelah terisi material dari erupsi gunung tersebut.
Kemudian, keuntungan hasil penambangan dengan benar itu harus dirasakan warga lereng Merapi. Pundi-pundi rupiah yang dihasilkan dari penjualan pasir semestinya bisa untuk mengganti kerusakan yang terjadi saat erupsi.
"Misalnya, erupsi 2010, berapa puluh juta meter kubik yang dikeluarkan saat itu. Kalau itu dihitung penjualannya dan dipakai untuk mengganti kerusakan akibat erupsi, cukup. Kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi semestinya bisa dibayar dari situ, tapi nyatanya tidak," ungkapnya.
Menurut dia, banyak penambangan saat ini terjadi di luar aliran sungai yang hulunya dari lereng Gunung Merapi. Lereng gunung tersebut tampak bopeng saat dipantau dari udara.
Akibatnya, ancaman banjir hingga luapan air jika terjadi hujan intensitas tinggi akan sulit dihindari. Itu belum dampak lingkungan secara jangka panjang.
Baca: Gunung Merapi Luncurkan 25 Kali Lava Pijar selama 12 Jam
"Ini menunjukkan tak ada desain yang baik pada panambangan di lereng Merapi. Asal keruk sana, keruk sini," jelasnya.
Eko menilai, penutupan kegiatan penambangan pasir yang dilakukan Sri Sultan bisa menjadi momentum baik. Ia mengatakan, penambangan pasir harus dikelola dengan baik sejak perencanaan hingga hasil.
Ia menjelaskan, penambangan harus direncanakan dengan mendukung mitigasi kebencanaan. Selain menjaga lingkungan, pendapatan hasil penambangan pasir juga harus berkorelasi positif dengan kesejahteraan warga sekitar.
"Zaman Mbah Maridjan itu penambangan (pasir) bisa dilakukan dengan catatan membersihkan endapan aliran sungai agar bisa menampir aliran lahar bila erupsi," ujarnya.
Dalam situasi ini, ia berharap pemerintah setempat bisa konsisten dalam bersikap. Penegakan hukum dan pengawasan harus dijalankan dengan konsisten serta bermuara pada kepentingan publik
Yogyakarta: Praktik penambangan pasir di lereng
Gunung Merapi lebih banyak menimbulkan dampak buruk. Padahal, pasir yang muncul dari hasil letusan gunung api itu bisa memunculkan manfaat besar bila diatur dengan benar.
"Saat memantau Gunung Merapi dengan helikopter beberapa bulan lalu, terlihat kerusakan ada di banyak titik, baik di wilayah Yogyakarta maupun Jawa Tengah," kata Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno dihubungi Medcom.id, Rabu, 15 September 2021.
Komentar Eko tersebut merupakan tanggapan atas langkah Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono X, yang menutup 14 akses penambangan pasir di lereng Gunung Merapi. Penutupan penambangan itu ditempuh dengan dalih dilakukan ilegal.
Eko menjelaskan, penambangan pasir di lereng Gunung Merapi banyak dilakukan tidak benar. Selain tidak dilakukan di lokasi yang benar, penambangan itu akan menimbulkan kerusakan yang panjang.
Baca: Sri Sultan Sebut Lereng Merapi Rusak Parah karena Tambang Pasir
Ia mengatakan, penambangan pasir yang dilakukan tak sesuai tempatnya akan merusak morfologi lingkungan, menambah sedimen erosi, merusak fungsi resapan air, hingga dampak ke biota, budaya, dan biologi.
"Penambangan pasir mestinya bisa menyejahterakan masyarakat sekitar, tapi khittahnya telah disalahgunakan. Bahkan kerusakan akibat penambangan pasir lereng Merapi di Klaten dan Magelang lebih parah," kata dia.
Ia menuturkan, material pasir akibat erupsi Gunung Merapi sejatinya bisa mengganti dampak kerusakan saat gunung tersebut erupsi. Syaratnya, material jutaan kubik yang keluar itu ditambang dan dikelola dengan benar.