Kupang: Menjadi pemulung sampah bagi sebagian masyarakat mungkin hanya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Namun, tidak bagi Karolus Belmo.
Magister pendidikan itu tak malu memungut satu per satu sampah di sela-sela profesinya sebagai dosen Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Kupang. Bahkan jabatan mentereng sebagai wakil direktur I bidang akademik STIM Kupang tidak menjadikan dirinya jemawa. Memungut sampah baginya, merupakan kesenangan tersendiri.
"Sampah memang peluang menghasilkan uang, tapi bukan itu yang saya kejar. Saya cinta kebersihan," ungkap Karolus, saat sedang memungut sampah di jalan, Sabtu,23 Oktober 2021.
Sejak awal 2019, memunguti sampah dan menjadi pemulung sudah dilakoninya. Setiap hari mulai pukul 05.00 wita hingga pukul 06.30 wita, ia menyusuri Jalan Adisucipto hingga kampus Undana. Bahkan terkadang ia mencari sampah hingga ke pantai warna Oesapa, Kota Kupang.
Baca juga: Aktivitas Sesar Merapi-Merbabu Picu Gempa di Salatiga dan Sekitarnya
Berbekal karung, ia mulai memungut botol plastik, kaleng bekas, kardus maupun sampah lainnya dan dibawa pulang ke mess kampus yang menjadi tempat tinggalnya.
Memungut sampah juga bahkan menjadi aksi protes bagi Karolus atas rendahnya kesadaran masyarakat Kota Kupang menjaga kebersihan kota. Menurutnya rata-rata warga berpendidikan menengah ke atas merupakan kelompok masyarakat yang sering tidak taat membuang sampah.
"Dari atas mobil, mereka (warga menengah keatas) membuang sampah begitu saja tanpa ada kesadaran akan kebersihan," ungkapnya.
Karolus pun tidak malu memunguti sampah. Beberapa kesempatan bertemu mahasiswa maupun koleganya, ia tetap bangga menjadi pemulung.
"Justru saya berharap mahasiswa saya lebih sering menemukan saya memungut sampah karena secara tidak langsung saya sudah menasehati mereka tentang kebersihan," terang Karolus.
Kendati senang, hobi memungut sampah justru sempat ditentang keluarga. Rasa malu mendorong keluarga menolak profesi sampingan Karolus.
"Terkadang istri saya menjadi sasaran, mendapatkan peringatan dari orang tua dan mertua saya bahwa tidak sepantasnya saya memungut sampah. Namun saya selalu memberikan alasan, hidup ini singkat sehingga kita memberikan yang terbaik bagi lingkungan. Menjadi pemulung bukan pekerjaan hina sehingga kita tidak perlu gengsi," ujarnya.
Soal hasil sampah yang dikumpulkan, ia mengaku kalau sampah-sampah tersebut dikumpulkan dirumahnya untuk dibersihkan dan dijual. Sampah botol gelas plastik bekas yang sudah dibersihkan dijual Rp6.000 per kilogram dan yang belum dibersihkan R 4.000 per kilogram.
Kemudian Botol plastik bekas seharga Rp4.000 per kilogram, dos atau kardus bekas Rp1.000 per kilo dan kaleng bekas Rp 3.000 per kilogram. Barang-barang ini dijual kepada pedagang barang bekas. Ia juga menyiapkan tempat penampungan dan pengumpulan barang bekas.
Baca juga: PTM 14 Sekolah di Bandung Disetop
Karolus mengaku kuantitas sampah di Kota Kupang apalagi di jalanan cukup tinggi sehingga jumlahnya seakan tidak pernah habis. Tak jarang ia mengikutsertakan mahasiswa untuk melakukan bersih-bersih pantai sebagai bagian dari sesi perkuliahan tentang etika lingkungan dan ekologi.
"Saya menjadi pemulung karena saya melihat kesadaran kebersihan warga sangat rendah. Saya juga mengajar mata kuliah etika bisnis, jadi setiap selesai kuliah, saya selalu ajak mahasiswa lakukan aksi kebersihan di pantai warna Oesapa, untuk membanhkitkan kesadaran mulai mencintai lingkungan dari berbagai aksi nyata," ujarnya.
Terlebih, kebiasaan membuang sampah sembarangan tak cuma dilakukan orang rendahan. Masyarakat berduit pun suka melakukan itu. Karolus berharap mampu mewariskan hal baik tentang kecintaan pada lingkungan. (Ferdinandus Rabu)
Kupang: Menjadi
pemulung sampah bagi sebagian masyarakat mungkin hanya dilakukan oleh mereka yang berpendidikan rendah atau bahkan tidak mengenyam pendidikan sama sekali. Namun, tidak bagi Karolus Belmo.
Magister pendidikan itu tak malu memungut satu per satu sampah di sela-sela profesinya sebagai dosen Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Kupang. Bahkan jabatan mentereng sebagai wakil direktur I bidang akademik STIM Kupang tidak menjadikan dirinya jemawa. Memungut sampah baginya, merupakan kesenangan tersendiri.
"Sampah memang peluang menghasilkan uang, tapi bukan itu yang saya kejar. Saya cinta kebersihan," ungkap Karolus, saat sedang memungut sampah di jalan, Sabtu,23 Oktober 2021.
Sejak awal 2019, memunguti sampah dan menjadi pemulung sudah dilakoninya. Setiap hari mulai pukul 05.00 wita hingga pukul 06.30 wita, ia menyusuri Jalan Adisucipto hingga kampus Undana. Bahkan terkadang ia mencari sampah hingga ke pantai warna Oesapa, Kota Kupang.
Baca juga:
Aktivitas Sesar Merapi-Merbabu Picu Gempa di Salatiga dan Sekitarnya
Berbekal karung, ia mulai memungut botol plastik, kaleng bekas, kardus maupun sampah lainnya dan dibawa pulang ke mess kampus yang menjadi tempat tinggalnya.
Memungut sampah juga bahkan menjadi
aksi protes bagi Karolus atas rendahnya kesadaran masyarakat Kota Kupang menjaga kebersihan kota. Menurutnya rata-rata warga berpendidikan menengah ke atas merupakan kelompok masyarakat yang sering tidak taat membuang sampah.
"Dari atas mobil, mereka (warga menengah keatas) membuang sampah begitu saja tanpa ada kesadaran akan kebersihan," ungkapnya.
Karolus pun tidak malu memunguti sampah. Beberapa kesempatan bertemu mahasiswa maupun koleganya, ia tetap bangga menjadi pemulung.
"Justru saya berharap mahasiswa saya lebih sering menemukan saya memungut sampah karena secara tidak langsung saya sudah menasehati mereka tentang kebersihan," terang Karolus.
Kendati senang, hobi memungut sampah justru sempat ditentang keluarga. Rasa malu mendorong keluarga menolak profesi sampingan Karolus.
"Terkadang istri saya menjadi sasaran, mendapatkan peringatan dari orang tua dan mertua saya bahwa tidak sepantasnya saya memungut sampah. Namun saya selalu memberikan alasan, hidup ini singkat sehingga kita memberikan yang terbaik bagi lingkungan. Menjadi pemulung bukan pekerjaan hina sehingga kita tidak perlu gengsi," ujarnya.
Soal hasil sampah yang dikumpulkan, ia mengaku kalau sampah-sampah tersebut dikumpulkan dirumahnya untuk dibersihkan dan dijual. Sampah botol gelas plastik bekas yang sudah dibersihkan dijual Rp6.000 per kilogram dan yang belum dibersihkan R 4.000 per kilogram.
Kemudian Botol plastik bekas seharga Rp4.000 per kilogram, dos atau kardus bekas Rp1.000 per kilo dan kaleng bekas Rp 3.000 per kilogram. Barang-barang ini dijual kepada pedagang barang bekas. Ia juga menyiapkan tempat penampungan dan pengumpulan barang bekas.
Baca juga:
PTM 14 Sekolah di Bandung Disetop
Karolus mengaku kuantitas sampah di Kota Kupang apalagi di jalanan cukup tinggi sehingga jumlahnya seakan tidak pernah habis. Tak jarang ia mengikutsertakan mahasiswa untuk melakukan bersih-bersih pantai sebagai bagian dari sesi perkuliahan tentang etika lingkungan dan ekologi.
"Saya menjadi pemulung karena saya melihat kesadaran kebersihan warga sangat rendah. Saya juga mengajar mata kuliah etika bisnis, jadi setiap selesai kuliah, saya selalu ajak mahasiswa lakukan aksi kebersihan di pantai warna Oesapa, untuk membanhkitkan kesadaran mulai mencintai lingkungan dari berbagai aksi nyata," ujarnya.
Terlebih, kebiasaan membuang sampah sembarangan tak cuma dilakukan orang rendahan. Masyarakat berduit pun suka melakukan itu. Karolus berharap mampu mewariskan hal baik tentang kecintaan pada lingkungan. (Ferdinandus Rabu)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(MEL)