“‘Selamat pagi’, sapa Abu Akleh, saat dia, saya sendiri, dua reporter lagi, dan dua juru kamera bersiap-siap,” cerita Hanasyha.

Wartawan Palestina Shatha Hanaysha. Foto: Middle East Eye
“Aku merasakan aura aneh di sekelilingnya saat itu. Saya tidak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan. Dia mengambang. Dia bahagia,” sebutnya.
Hanasyha mengatakan, semua wartawan membuat diri terlihat oleh tentara yang ditempatkan ratusan meter dari mereka. Para wartawan pun tetap diam selama sekitar 10 menit untuk memastikan mereka tahu kami ada di sana sebagai jurnalis.
Jurnalis Middle East Eye itu, menceritakan kembali bagaimana Shireen Abu Akleh adalah jurnalis yang laporannya yang ditirunya sejak kecil. Mulai dari nada suara hingga gerakan tangan, dan Hanasyaha bermimpi melakukan apa yang selalu dia lakukan dengan sangat baik.
Ketika tidak ada tembakan peringatan ke arah kami, kami bergerak menanjak menuju kamp.
“Entah dari mana, kami mendengar suara tembakan pertama,” ucapnya.
“Saya berbalik dan melihat rekan saya Ali al-Sammoudi di tahan. Sebuah peluru mengenai punggungnya tetapi lukanya tidak serius dan dia berhasil menjauh dari api,” kemudian dia menambahkan.
Kekacauan terjadi
Rekan Hanasyha, Mujahed melompati pagar kecil di dekatnya untuk menjauh dari peluru."Kemarilah. Katanya padaku dan Shireen, tapi kami berada di seberang jalan dan tidak bisa mengambil risiko menyeberang,” tuturnya.
“’Al-Sammoudi terkena’, teriak Shireen, berdiri tepat di belakangku, saat kami berdua berdiri dengan punggung menghadap dinding untuk berlindung,” ungkapnya.
“Saat itu, peluru lain menembus leher Shireen, dan dia jatuh ke tanah tepat di sebelahku,” ujar Hanasyha.
“Aku memanggil namanya tapi dia tidak bergerak. Ketika saya mencoba mengulurkan tangan untuk menjangkaunya, peluru lain ditembakkan, dan saya harus tetap bersembunyi di balik pohon,” imbuh Hanasyha.