Pada 2017, tindakan semacam itu telah dilancarkan kepada Mohammed bin Nayef yang merupakan mantan bos Al-Jabri. Saat itu, Nayef merupakan mantan Menteri Dalam Negeri Arab Saudi yang digulingkan dari garis suksesi oleh Pangeran Salman.
Al Jabri, mantan pejabat intelijen berusia 62 tahun, juga mengklaim bahwa Pangeran Salman tidak akan beristirahat hingga melihat "saya mati." Ia mengklaim sang pangeran takut dan khawatir atas informasi serta bukti yang dipegangnya.
Oktober 2018, Pangeran Salman sempat menjadi sorotan global atas dugaan keterlibatannya dalam pembunuhan jurnalis Arab Saudi, Jamal Khashoggi, di Turki.
Rekaman dari dalam konsulat menunjukkan fakta bahwa Khashoggi dibunuh dalam upaya paksa memulangkannya ke Arab Saudi. Pangeran Mohammed membantah mengetahui operasi tersebut, meski penilaian komunitas intelijen AS berkata sebaliknya.
Baca: Pembunuhan Khashoggi: Dilema dan Kalibrasi Biden
Sementara itu, Pemerintah Saudi mengatakan, Al-Jabri adalah “mantan pejabat pemerintah yang didiskreditkan dengan sejarah panjang mengarang dan menciptakan gangguan untuk menyembunyikan kejahatan keuangan yang ia lakukan.”
Pemerintah Arab Saudi telah mengeluarkan permintaan ekstradisi kepada Kepolisian Internasional (Interpol) untuk Al-Jabri. Saudi menuduhnya sebagai tokoh yang terkait skandal korupsi. Al-Jabri mengklaim seluruh kekayaannya berasal dari kemurahan hati para raja yang ia layani.
Wawancara Al-Jabri merupakan yang pertama direkam sejak putranya, Omar Al-Jabri, 23, dan putrinya Sarah Al-Jabri, 21, ditahan pada Maret 2020 di Riyadh, Seorang menantu laki-lakinya diduga diculik dari negara ketiga, dan telah dikembalikan secara paksa ke Saudi.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan, penangkapan anggota keluarga tersebut merupakan upaya nyata untuk memaksa Al-Jabri pulang ke negaranya. Pengadilan Saudi telah menghukum putra dan putri Al Jabri masing-masing 9 dan 6,5 tahun penjara atas skandal pencucian uang dan upaya tidak sah untuk pergi dari Saudi. (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News