Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dituduh terlibat dalam pembunuhan Jamal Khashoggi. Foto: AFP
Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) dituduh terlibat dalam pembunuhan Jamal Khashoggi. Foto: AFP

Pembunuhan Khashoggi: Dilema dan Kalibrasi Biden

Willy Haryono • 08 Maret 2021 07:11
Jakarta: Dulu, di akhir tahun 2019, Joe Biden melontarkan dua janji utama mengenai Jamal Khashoggi -- jurnalis asal Arab Saudi yang dibunuh unit elite negaranya pada 2018. Janji pertama, merilis laporan intelijen mengenai pembunuhan Khashoggi ke hadapan publik, dan kedua, mengubah arah hubungan AS dengan Arab Saudi serta membuat negara tersebut terasing di komunitas global.
 
Janji tinggal janji. Biden memang memenuhi salah satu janjinya mengenai laporan intelijen, namun ingkar pada yang kedua. Jajaran tim penasihat Gedung Putih menyimpulkan bahwa harga yang harus dibayar AS jika menghukum Arab Saudi "terlalu tinggi." Kedua negara sudah begitu dekat, menjalin hubungan baik, dan bekerja sama dalam berbagai bidang.
 
AS dan Arab Saudi juga sama-sama saling mengandalkan dalam upaya menghadapi pengaruh Iran di Timur Tengah. Gedung Putih khawatir jika kemitraan baik ini disudahi begitu saja, konsekuensinya akan begitu mengerikan.

Dalam laporan intelijen AS, yang sudah dirilis ke publik oleh pemerintahan Biden pada akhir Februari lalu, disebutkan bahwa Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) telah ‘menyetujui’ sebuah operasi untuk ‘menangkap atau membunuh’ Khashoggi di Istanbul, Turki, pada 2 Oktober 2018.
 
Banyak orang beranggapan Khashoggi dibunuh karena dinilai terlampau vokal dalam mengkritik Arab Saudi, terutama seputar kebijakan-kebijakan MBS. Awalnya, Arab Saudi membantah telah membunuh Khashoggi, namun berubah sikap selang beberapa hari usai kejadian. Arab Saudi mengatakan bahwa Khashoggi dibunuh sekelompok agen 'liar' yang bergerak tanpa sepengetahuan MBS.
 
Namun dalam laporan intelijen AS, disebutkan bahwa sejak 2017, MBS memiliki "kontrol absolut terhadap bidang keamanan dan intelijen kerajaan, sehingga tidak mungkin jika ada sekelompok agen Arab Saudi yang melakukan sebuah operasi tanpa sepengetahuan atau persetujuan Putra Mahkota."
 
Meski bukti-bukti sudah begitu memberatkan MBS, dan laporan intelijen mengenai sang putra mahkota pun sudah dirilis ke publik, Biden menahan diri. Ia dan timnya di Gedung Putih mencoba mencari sebuah formula, jalan tengah, keseimbangan, agar hubungan bilateral AS-Saudi tetap terjaga dan di waktu bersamaan menghukum Riyadh atas pembunuhan Khashoggi.
 
Dari berbagai opsi yang ditawarkan, Biden akhirnya memilih kebijakan 'kalibrasi ulang' tanpa memutus hubungan dengan Saudi. Kalibrasi atau pengaturan ulang ini melibatkan penjatuhan sanksi kepada sejumlah orang yang terlibat dalam pembunuhan Khashoggi kecuali MBS. Sanksi yang telah disetujui Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken meliputi larangan perjalanan bagi mantan kepala intelijen Arab Saudi dan terhadap Pasukan Intervensi Cepat Saudi (Rapid Intervention Force), unit di balik pembunuhan Khashoggi.
 
Biden juga mengenalkan Larangan Khashoggi atau Khashoggi Ban, sebuah larangan visa untuk menghukum individu yang membungkam suara-suara kritik di seluruh dunia. Belakangan, AS juga menyerukan agar Arab Saudi segera membubarkan Pasukan Intervensi Cepat.
 
Rentetan sanksi ini merupakan upaya Biden dalam meyakinkan dunia bahwa pemerintahannya serius menangani kasus Khashoggi, walau jika terkait MBS, ia memalingkan muka. Khusus untuk kasus Khashoggi, Biden mengambil pendekatan yang lebih pragmatis. Pria 78 tahun itu menerapkan kebijakan luar negeri yang sudah sejak lama diberlakukan di sejumlah pemerintahan terdahulu di AS: 'pura-pura tidak tahu' saat ada mitra Washington yang berbuat kekejaman.
 
Satu-satunya bentuk hukuman yang dilayangkan AS kepada MBS saat ini adalah tidak akan mengundangnya ke Negeri Paman Sam dalam waktu dekat. Sejumlah ajudan Biden mungkin menilai sikap ini sebagai langkah 'paling aman' ketimbang menjatuhkan sanksi larangan perjalanan atau pembekuan aset kepada MBS.
 
Saat ini, Biden dan para ajudannya mungkin belum dapat menemukan formula yang tepat untuk menangani isu Arab Saudi. Oleh karenanya, Gedung Putih diyakini akan menggunakan strategi wait and see untuk melihat perkembangan selanjutnya. Biden hanya bisa 'harap-harap cemas,' berharap bahwa MBS tidak akan lagi mencoba membungkam para kritikus, apalagi sampai membunuh.
 
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Ned Price mengatakan bahwa Washington kini akan mengawasi langkah-langkah apa saja yang akan diambil Arab Saudi ke depannya, dan berharap Riyadh bersedia memperbaiki catatan hak asasi manusia di komunitas global.
 
Namun faktanya, setelah pembunuhan Khashoggi, rezim Arab Saudi di bawah MBS yang merupakan pemimpin de facto, terus menumpas para rival politik dan kritikus, baik yang ada di dalam maupun luar negeri.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan