Jenderal Abdel Fattah al-Burhan –,pemimpin de facto Sudan sejak penggulingan pemimpin lama Omar al-Bashir 2019 setelah protes besar yang dipimpin pemuda,– pada hari Senin membubarkan pemerintah negara yang rapuh.
Sementara pemimpin sipil, Perdana Menteri Abdalla Hamdok, telah berada di bawah tahanan rumah yang efektif. Di saat bersamaan ibu kota Khartoum telah diguncang oleh hari-hari kerusuhan dan bersiap untuk demonstrasi besar pada Sabtu.
Jalan telah diblokir oleh barikade batu, puing-puing dan ban mobil yang terbakar yang telah mengirim asap hitam mengepul ke langit, sementara sebagian besar toko telah ditutup dalam kampanye pembangkangan sipil.
"Kami tidak menginginkan kekuatan militer, kami menginginkan kehidupan demokrasi yang bebas di negara ini," kata seorang pengunjuk rasa, yang meminta tidak disebutkan namanya, kepada kantor berita
AFP.
Bentrokan jalanan terakhir pada Kamis mengguncang distrik Burri di Khartoum timur yang bergolak dan pinggiran Khartoum Utara, kata wartawan
AFP.
Kematian terbaru membuat jumlah pengunjuk rasa yang tewas sejak kudeta Senin menjadi setidaknya 11, naik dari jumlah tujuh yang diberikan oleh pejabat kesehatan pada hari sebelumnya. Sementara sekitar 170 orang terluka.
Gas air mata dan peluru berlapis karet ditembakkan ke arah para demonstran pada hari Kamis dan para saksi melaporkan beberapa luka-luka. Kudeta tersebut adalah yang terbaru yang melanda negara yang hanya mengalami selingan demokrasi yang jarang terjadi sejak kemerdekaan pada 1956.