Pada 3 Januari 2020, tiga roket ditembakkan ke Bandara Internasional Baghdad, Irak. Insiden ini menewaskan delapan orang, termasuk salah satu kepala militer terkuat Iran, Jenderal Qassim Soleimani yang juga Kepala Pasukan Elit Garda Revolusi Islam Quds.
Segera pembunuhan terhadap Soleimani membuahkan kemarahan dari Iran. Sementara para pengamat mengkhawatirkan kematian Soleimani bisa memicu konflik baru di kawasan.
Wajah Qassim Soleimani terpampang di papan iklan di Iran dan dia dianggap sebagai salah satu tokoh paling kuat di Timur Tengah. Namun bagi Amerika Serikat (AS) Soleimani dianggap sebagai musuh.
Sebagai dalang kampanye Iran baru-baru ini di Irak, Suriah, dan Lebanon, Soleimani adalah pemimpin pasukan elit Quds di republik itu, sebuah skuadron operasi gelap yang tujuan dan taktiknya telah lama membuat marah dan mengkompromikan kebijakan Amerika di wilayah tersebut.
Menarik, tenang, dan berbicara lembut, ia dibandingkan dengan Keyser Soze dan Scarlet Pimpernel. Pada 2015, harian The Wall Street Journal membandingkannya dengan Erwin Rommel, jenderal Nazi yang penuh teka-teki.
"Semua orang penting di Irak pergi menemuinya," Saleh al-Mutlaq, mantan wakil perdana menteri, mengatakan pada 2011. "Orang-orang terpesona olehnya -- mereka melihatnya seperti malaikat," cetusnya, dirilis dari Daily Telegraph, Jumat 3 Januari 2020.
Soleimani bergabung dengan Garda Revolusi pada 1979 setelah Revolusi Iran yang menggulingkan Shah. Melesat dengan cepat melampaui barisan, ia menjabat sebagai pemimpin sebuah perusahaan yang berupaya mengusir invasi Saddam Hussein ke Iran pada 1980. Ia menjadi komandan Divisi Sarallah ke-41 saat masih belum genap berusia 30 dan pada pertengahan tahun delapan puluhan ia mengatur misi rahasia di dalam Irak buat merusak rezim Hussein, yang dibangun di atas hubungan dengan Kurdi Irak.
Setelah perang, ia menjadi komandan Garda Revolusi di Provinsi Kerman, wilayah asalnya, tempat ia berperang melawan perdagangan opium dari seberang perbatasan di Afghanistan.
Pengaruhnya di Irak luar biasa. Selanjutnya, dia adalah duri dalam daging Pentagon. Jenderal David Petraeus, mantan Direktur CIA, mengatakan pada 2011 bahwa Soleimani dan pasukan Qudsnya merusak banyak pekerjaan Washington dengan Muslim Syiah Irak dan telah membatalkan upaya diplomatik dan militer AS di Lebanon. AS sebagian besar berperang sebagai proksi perang di Irak melawan Quds yang dipimpin Soleimani.
Tanggapan kematian Soleimani
Kematian Soleimani membuahkan kecaman dari Iran terhadap pemerintahan Presiden Donald Trump. Negeri Mullah pun menegaskan akan membalaskan dendam.Presiden Iran Hassan Rouhani menegaskan kematian Soleimani membuat Iran lebih bertekad menentang ekspansionisme Amerika dan mempertahankan nilai-nilai Islam di negaranya. "Tanpa keraguan, Iran dan negara-negara pencari kebebasan lainnya di kawasan ini akan membalas dendam," imbuh Rouhani dalam sebuah pernyataan.
Tidak hanya Rouhani, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memperingatkan akan ada ganjaran. “Ganjaran keras menunggu terhadap siapa pun yang berada di balik tindakan kriminal ini,” ujar Ayatollah Khamenei, seperti dikutip IRNA.
“Baik kawan-kawan maupun musuh komandan IRGC yang mati syahid harus tahu bahwa gerakan dan perlawanan akan berjalan satu. Bahkan menurutnya gerakan itu akan lebih semangat sekarang karena kemenangan akhir sedang menunggu,” imbuh Ayatollah Khamenei.
Sementara Trump membela diri atas serangan ini. Menurut Trump Amerika Serikat membunuh Jenderal Soleimani demi "menghentikan perang, bukan memulainya." Ia menyebut "kekuasaan teror" Soleimani telah berakhir usai serangan udara AS.
“Militer AS telah mengeksekusi serangan akurat yang menewaskan teroris nomor satu dunia, Qassem Soleimani,” ujar Trump.
"Soleimani telah merencanakan serangan jahat terhadap diplomat dan personel militer Amerika. Tapi kami mengetahui hal tersebut dan menghentikannya," lanjut Trump, dilansir dari BBC.
Awal rangkaian serangan
Pembunuhan terhadap Soleimani menjadi awal serangan terhadap Iran sepanjang 2020. Serangan selanjutnya terjadi kepada fasilitas nuklir Iran di Natanz pada Juli 2020. Ada ledakan besar terjadi di fasilitas tersebut dan bukti awal menunjukkan bahwa itu kemungkinan besar merupakan tindakan sabotase.Sementara serangan terakhir terhadap Iran adalah pembunuhan ilmuwan nuklir ternama Mohsen Fakhrizadeh. Dia dibunuh dalam sebuah serangan 27 November 2020 saat mobilnya disergap di Teheran.
Israel diduga berada di balik serangan tersebut. Wakil komandan Korps Garda Revolusi Iran Laksamana Muda Ali Fadavi mengatakan bahwa dia percaya senapan mesin yang dikendalikan satelit. Senapan mesin dipasang pada truk pick-up Nissan dan ‘dikendalikan secara online’ oleh satelit, menurut Fadavi.
Sementara Direktur Jenderal Parlemen Urusan Internasional Iran, Hossein Amir Abdollahian mengumumkan penangkapan tersangka pembunuh Fakhrizadeh. Menurutnya, pelaku telah diidentifikasi.
"Pelaku pembunuhan itu sudah diidentifikasi dan ditangkap badan keamanan kami. (Mereka) tidak akan lolos dari keadilan," tutur Abdollahian.
Politisi Iran tersebut juga menyebutkan ada implikasi Israel dan badan intelijen lainnya, termasuk dari AS dalam pembunuhan tersebut. Hingga saat ini belum ada pergerakan dari Iran atas rangkaian serangan itu. Dikhawatirkan, setiap tanggapan keras dari Iran dapat membuat gejolak di Timur Tengah bertambah parah. Tetapi Iran menyatakan masih membuka pintu diplomasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News