Seorang petani di Ghor Selatan, Yordania, Aida Deissat mengenang saat memulai bertani bersama suaminya 30 tahun lalu, Deissat mengatakan, “Hidup saat itu mudah.”
“Ada air. Sekotak tomat Yordania harganya delapan dinar (sekitar Rp161 ribu),” kenang Deissat. Namun, ia menambahkan, “Kami diberkati dan semuanya baik-baik saja. Saat ini, tidak ada apa-apa.”
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Dilansir dari Al-Jazeera, 3 November 2021, Deissat menjelaskan, “empat kotak tomat hanya akan dihargai satu dinar Yordania (atau sekitar Rp20 ribu). Tahun-tahun terakhir ini (lebih buruk), tetapi tahun ini kami benar-benar merasakannya.”
Deissat, yang merupakan mantan Kepala Dewan Lokal untuk Kotamadya Ghor Selatan di Lembah Yordan diketahui harus berbagi mata air dengan pertanian tetangganya. Para petani disebut bergiliran memompa air tanah dari mata air guna melengkapi pasokan pemerintah yang terbatas, dimana berlangsung sekitar 17 jam setiap dua hari.
Ia menjelaskan, sumber air tambahan telah membuat perbedaan. Namun, mata air membutuhkan pembersihan dan pemeliharaan, dan saat listrik padam, mereka tidak dapat memompa air.
Bahkan, pengelola pertanian tetangga bersama suaminya di Ghor Selatan, Amal Um Radaat mengatakan, tambahan air tanah ini tidak cukup, “Hari ini saya mungkin bertani dan akan ada air. Lain hari, saya tidak bisa bertani karena tidak ada air.”
Saat ini, Um Radaat dan suami kehilangan uang dari pertanian, dan harus mengambil pinjaman untuk membiayai bisnis mereka. “Kita tidak bisa membiarkan tanah kosong begitu saja,” katanya sambil menggelengkan kepalanya.