Terlepas dari kekerasan fisik, Christine mengakui ia semakin merasakan dan melihat sendiri betapa orang-orang keturunan Asia sering diremehkan seperti warga kelas dua.
“Iya, sejak dulu. Sekarang ini makin terasa. Contohnya, kita ingin menanyakan sesuatu di supermarket, mereka tidak menjawabnya atau meresponsnya dengan baik,” jelasnya.
Di tempat kerja, ujarnya, orang-orang keturunan Asia kerap tak dipandang sebelah mata bila tidak berbahasa Inggris dengan lancar.
Menanggapi sentimen dan kekerasan anti-Asia yang meningkat, Christine tidak mengambil langkah khusus selain bersikap lebih berhati-hati. Dia meyakini masih banyak orang baik yang akan menolongnya. Satu hal yang dia soroti adalah peran media dalam memberitakan kasus semacam ini. Dirinya berharap media menawarkan
solusi bagi masalah ini dan bukannya menggiring opini masyarakat yang memancing emosi mereka.
Sekitar dua jam perjalanan dari New York, tepatnya di kota Philadelphia, Albert Irwans dan istrinya bermukim sejak 13 tahun silam. Menurutnya, situasi terkait rasisme di sana memburuk.
“Belum lama dari kejadian penembakan di Atlanta, sudah kabar ada pemukulan warga keturunan Asia di kota itu dan dua orang keturunan
Indonesia menjadi korbannya,” kata Albert.
“Kepolisian setempat telah mengeluarkan selebaran berisi peringatan untuk berhati-hati bagi komunitas Asia. Komunitas Indonesia yang juga cukup besar di sana bahkan sudah sering diimbau oleh gereja-gereja atau masjid setempat agar membatasi keluar rumah,” ucapnya.
Albert dan istrinya kini sangat berhati-hati kalau berjalan-jalan di kota itu, termasuk menjadi lebih waspada terhadap orang-orang yang mereka temui di jalan.