Namun, bagi para juru kampanye yang menginginkan tindakan lebih cepat untuk menyelamatkan paru-paru planet ini menyatakan, tanggal tersebut terlalu jauh.
Dilansir dari Straits Times, Selasa, 2 November 2021, janji akan dikeluarkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau COP26.
Para pemimpin tersebut mencoba menyusun rencana nasional guna mencegah dampak terparah atau paling merusak dari pemanasan global. Ketua KTT, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson mengatakan, kesepakatan terkait deforestasi sangat penting untuk ambisi menyeluruh membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius.
“Ekosistem besar yang penuh sesak ini, katedral alam ini adalah paru-paru planet kita. Hutan mendukung masyarakat, mata pencaharian dan pasokan makanan, dan menyerap karbon yang kita pompa ke atmosfer. Hutan sangat penting untuk kelangsungan hidup kita,” kata Johnson dalam catatan tertulis.
Dalam catatan tersebut, Johnson menambahkan, dengan janji yang belum pernah terjadi sebelumnya, mereka akan memiliki kesempatan untuk mengakhiri sejarah panjang umat manusia sebagai penakluk alam dan menjadi pemelihara.
Pemerintah Inggris melaporkan, janji para pemimpin dunia ini didukung oleh hampir Rp285 triliun dalam pendanaan publik dan swasta. Selain itu, didukung oleh lebih dari 100 pemimpin yang mewakili lebih dari 85 persen hutan dunia.
Para pemimpin, termasuk Brasil dan Rusia yang kaya akan hutan, keduanya dikecam oleh para aktivis akibat mempercepat laju deforestasi mereka sendiri, bersama dengan Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden beserta beberapa pemimpin dunia lainnya.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) sadar bahwa Indonesia adalah negara yang diberkahi sumber daya. Jokowi mengatakan, hutan hujan, bakau, laut, dan lahan gambut di Indonesia adalah kunci untuk membatasi perubahan iklim.
“Kami berkomitmen untuk melindungi penyerap karbon kritis ini dan modal alam kami untuk generasi mendatang. Kami menyerukan semua negara untuk mendukung jalur pembangunan berkelanjutan yang memperkuat mata pencaharian masyarakat, terutama (masyarakat adat), perempuan, dan petani kecil,” ujar Jokowi.
Pengamanan berbagai hak masyarakat adat, dan mengakui “peran mereka sebagai penjaga hutan” disebut merupakan bagian dari janji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi dan degradasi lahan pada 2030.
Sementara itu, PM Johnson mengatakan hal tersebut “belum pernah terjadi sebelumnya”, pertemuan iklim PBB di New York, AS pada 2014 mengeluarkan deklarasi serupa guna mengurangi separuh laju deforestasi pada 2020, dan mengakhirinya pada 2030.
Namun, pohon kian ditebang dalam skala industri, tidak terkecuali di Amazon, di bawah pemerintahan sayap kanan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro. Hampir seperempat dari semua emisi karbon dioksida (CO2) buatan manusia dapat dikaitkan dengan aktivitas penggunaan lahan layaknya penebangan, penggundulan hutan, dan pertanian.
Manusia dilaporkan telah menebang separuh dari seluruh hutan di bumi, suatu praktik yang dinilai dua kali lipat berbahaya bagi iklim, saat pohon penghisap CO2 diganti dengan ternak atau tanaman monokultur.
Jaringan kampanye lingkungan global independen, Greenpeace pun mengkritik inisiatif di Glasgow tersebut, dikarenakan secara efektif memberikan lampu hijau untuk “satu dekade lagi deforestasi”.
“Masyarakat adat menyerukan 80 persen Amazon untuk dilindungi pada 2025 dan mereka benar, itulah yang dibutuhkan. Iklim dan alam tidak mampu membayar kesepakatan ini,” jelas Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, Carolina Pasquali.
Berbagai penelitian juga telah menunjukkan, cara terbaik untuk melindungi hutan di seluruh dunia adalah dengan menjaganya di bawah pengelolaan penduduk setempat dengan pengetahuan pelestarian dari generasi ke generasi.
“Kami akan mencari bukti nyata tentang transformasi dalam cara dana diinvestasikan,” ucap Koordinator Organisasi Adat di Lembah Sungai Amazon (COICA), Tuntiak Katan Jua.
Jua menambahkan, “Jika 80 persen dari apa yang diusulkan diarahkan untuk mendukung hak atas tanah dan usulan masyarakat adat dan lokal, kita akan melihat pembalikan dramatis dalam tren saat ini yang menghancurkan sumber daya alam kita.” (Nadia Ayu Soraya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News