Pemandangan salah satu sudut kota Ankara, Turki. (Foto: AFP)
Pemandangan salah satu sudut kota Ankara, Turki. (Foto: AFP)

IPI Soroti Pelanggaran HAM dan Kebebasan Pers di Turki

Willy Haryono • 10 Desember 2020 15:52
Jakarta: Institut Pers Internasional (IPI) dalam peringatan hari HAM Internasional menyoroti dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap para pengikut ulama Fethullah Gulen dan kebebasan pers di Turki di bawah kepemimpinan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Mereka mendesak komunitas internasional untuk meningkatkan upaya menekan Turki agar menghormati supremasi hukum dan HAM.
 
"Pemerintah Turki terus menggunakan semua alat yang tersedia untuk menekan suara kritik, baik di lembaga penyiaran maupun media cetak dan daring," kata kepala Advokasi Eropa IPI, Oliver Money-Kyrle dalam sebuah laporan, seperti dilansir dari situs Stockholmcf pada Kamis, 10 Desember 2020.
 
"Komunitas internasional dan Uni Eropa khususnya, harus memperbaiki kebijakan untuk mengupayakan diakhirinya tindakan keras terhadap media di Turki oleh rezim Erdogan dan penghormatan hak asasi manusia secara umum di sana," lanjutnya.

Laporan tersebut mengkaji ancaman sensor ekstensif terhadap internet yang ditimbulkan oleh Undang-Undang Media Sosial yang mulai berlaku pada 1 Oktober lalu; penangkapan bernuansa politik atas badan pengelola media dan bagaimana hal itu digunakan untuk memberangus kritik publik dan jurnalisme kritis; serta krisis independensi peradilan yang sedang berlangsung.
 
Laporan ini disampaikan IPI dari hasil misi bersama ke Turki pada 6-9 Oktober 2020. Mereka menerima laporan dari 11 organisasi kebebasan berekspresi, jurnalis, dan organisasi hak asasi manusia internasional.
 
Anggota misi bertemu dengan para profesional media, tokoh masyarakat sipil, otoritas peradilan dan regulator, anggota parlemen dan perwakilan misi diplomatik untuk meninjau status kebebasan media di negara tersebut.
 
Menurut laporan tersebut, penangkapan jurnalis terus menjadi perhatian besar di Turki. Sejak awal 2020, setidaknya 22 jurnalis di Turki telah ditangkap, beberapa di antaranya telah dibebaskan sementara penyelidikan terus berlanjut.
 
Hingga November lalu, setidaknya telah digelar 130 audiensi yang melibatkan jurnalis sebagai terdakwa tahun ini. Mengutip laporan pers bulanan Gazete Kar?nca, disebutkan bahwa setidaknya 30 investigasi atau tuntutan hukum baru telah dibuka terhadap jurnalis dalam delapan bulan pertama tahun 2020.
 
Ratusan jurnalis lainnya di Turki terus menghadapi tuntutan dan larangan perjalanan di hadapan pengadilan yang ditujukan untuk membungkam hak jurnalis dalam mendapatkan peradilan yang jujur, menurut laporan tersebut.
 
Jumlah jurnalis yang dipenjara dan dituntut menurun sebagai akibat dari penyelesaian kasus yang dilakukan setelah percobaan kudeta pada Juli 2016. Penurunan ini juga dikaitkan dengan keberhasilan pemerintah Turki dalam memberangus media.
 
Baca:  Turki Disebut Pulangkan Paksa Kritikus Erdogan
 
Namun, jurnalis dari seluruh spektrum media terus menghadapi ancaman penangkapan dan penuntutan atas liputan mereka tentang masalah-masalah yang sensitif terhadap Pemerintah Turki, seperti operasi militer, kemerosotan ekonomi, dan masalah yang dihadapi Kurdi dan kelompok minoritas lainnya di Turki.
 
Cakupan pandemi virus korona (covid-19) juga ditambahkan ke daftar tahun ini, karena IPI mencatat 13 insiden antara Maret dan Agustus di mana jurnalis ditahan, diselidiki, atau menghadapi pelanggaran sistematis atas hak-hak mereka saat melaporkan kasus covid-19.
 
Menurut laporan itu, meski pengadilan tetap kritis, 79 jurnalis saat ini mendekam di dalam penjara. Pada tahun sebelumnya, perjuangan kebebasan berekspresi di Turki bergeser dari ruang sidang ke ranah regulator. Pemerintah Turki dinilai semakin membatasi kebebasan berekspresi di negara itu melalui regulator yang telah meningkatkan sanksi mereka untuk media cetak dan berbagai lembaga penyiaran.
 
"Dengan kekuatan mereka yang luas untuk memberikan dan mencabut lisensi dan menjatuhkan sanksi keuangan, regulator dapat memaksa media independen untuk mematuhi atau mengambil risiko penutupan," kata laporan itu.
 
IPI menyerukan diakhirinya penyalahgunaan badan pengatur negara, termasuk Dewan Tinggi Radio dan Televisi (RTÜK) dan Otoritas Periklanan Pers (B?K), untuk menghukum dan melumpuhkan media independen secara finansial.  
 
Laporan IPI juga menggarisbawahi bahwa RTÜK telah meningkatkan kampanye denda dan larangan siaran di stasiun televisi independen.
 
Disebutkan, Undang-Undang Media Sosial, yang mulai berlaku pada 1 Oktober di Turki, menimbulkan ancaman langsung terhadap penyuntingan berskala luas di internet. Hal ini sangat mengkhawatirkan bagi media sosial serta situs berita daring, yang merupakan satu di antara beberapa benteng terakhir jurnalisme kritis di Turki.
 
Laporan disiapkan IPI dengan dukungan dari Association of European Journalists (AEJ), Committee to Protect Journalists (CPJ), European Center for Press and Media Freedom (ECPMF), European Federation of Journalists (EFJ), Osservatorio Balcani Caucaso Transeuropa (OBCT), PEN International, Reporters without Borders (RSF) dan South East Europe Media Organization (SEEMO).
 
 

Sementara itu, Advocates of Silenced Turkey (AST) pada peringatan hari HAM internasional pada 10 Desember 2020, didapuk menjadi penyelenggara Konvensi Kebebasan 2020 pada 9-10 Desember untuk menangani semua pelanggaran hak asasi manusia di Turki terkait sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya seperti yang tercantum dalam dokumen hak asasi manusia.
 
AST telah meningkatkan kesadaran tentang pelanggaran HAM di Turki dan mengadvokasi hak-hak orang yang teraniaya. Mereka menyoroti langkah represif Erdogan dalam melakukan pembersihan besar-besaran terhadap para pengikut Gulen.
 
Lebih dari 150.000 pekerja publik, termasuk jenderal, laksamana, hakim, jaksa penuntut, dokter, guru, petugas polisi, dan lain-lain, telah dipecat dengan keputusan darurat tanpa proses hukum yang mengarah pada pelanggaran HAM terhadap ratusan ribu orang. Mereka juga ditahan tanpa proses pengadilan yang adil.
 
"Catatan HAM Erdo?an dinilai akan membebani pembicaraan para pemimpin Uni Eropa tentang hubungan masa depan dengan negara itu," kata Komisi Eropa.
 
"Sementara para pemimpin [UE] telah memusatkan perhatian pada situasi Mediterania timur dalam diskusi mereka baru-baru ini, perkembangan negatif pada supremasi hukum, hak-hak asasi, dan hak fundamental perluasan lainnya, tentu saja, akan berdampak pada pemetaan arah hubungan di masa depan, "kata juru bicara komisi kepada EU Observer.
 
Para pemimpin UE akan membahas apakah akan memasukkan pejabat Turki ke dalam daftar hitam atau menjatuhkan sanksi lain. Mereka juga akan memberi sinyal jika proses aksesi Turki memiliki dampak jangka panjang, dalam pertemuan puncak yang disebut sebagai "momen penting" dalam hubungan UE-Turki oleh kepala kebijakan luar negeri UE Josep Borrell.
 
Komisi tersebut juga mengomentari masalah hak asasi manusia setelah hakim pro-Erdogan memenjarakan 337 orang seumur hidup dalam satu hari pekan lalu. Sebagian besar dari mereka adalah perwira angkatan udara muda yang dituduh terlibat dalam kudeta yang gagal pada tahun 2016.
 
Para diplomat UE tidak memantau secara langsung persidangan tersebut, tetapi mereka meyakini bahwa tidak ada independensi yudisial di Turki. Dan komisi tersebut telah memiliki data jumlah orang yang terlibat dalam tindakan keras pascakudeta.
 
"Pada Juni 2020, total 19.583 perwira militer diberhentikan dari dinas karena dugaan hubungan mereka dengan gerakan Gulen, sekitar 3.600 pada 2019 saja," kata juru bicara komisi itu, merujuk pada Fethullah Gülen, seorang ulama Turki yang disalahkan oleh Erdogan.
 
"Sekitar 6.000 mantan personel militer ditangkap atas dasar dugaan keterlibatan mereka dalam percobaan kudeta," kata juru bicara Uni Eropa. Turki juga menahan puluhan ribu warga sipil.
 
Sementara itu, tindakan keras Pemerintah Turki pascakudeta telah mendorong lonjakan aplikasi suaka Turki di UE.  Dari awalnya hampir tidak ada sebelum 2016, menjadi antara 1.500 dan 2.500 orang dalam sebulan, termasuk 1.696 orang pada September tahun ini, menurut Kantor Dukungan Suaka Eropa, sebuah badan Uni Eropa di Malta.
 
Sekitar separuh dari total pemohon suaka asal Turki itu akhirnya mendapatkan perlindungan UE.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan