Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price. (Nicholas Kamm / POOL / AFP)
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Ned Price. (Nicholas Kamm / POOL / AFP)

AS Kehilangan Optimisme Perjanjian Nuklir Iran

Medcom • 23 Maret 2022 15:08
Washington: Harapan Amerika Serikat (AS) untuk kembali mewujudkan perjanjian nuklir Iran 2015 kini menurun. Kementerian Luar Negeri AS pada Selasa, 22 Maret 202 menyatakan pihaknya akan beralih ke rencana cadangan atau “Plan B” apabila Iran tidak juga mengalah.
 
"Saya ingin memperjelas bahwa kesepakatan tidak akan segera terjadi dan juga tidak pasti (akan tercapai)," kata juru bicara Kemenlu AS, Ned Price, dilansir dari Yahoo News, Rabu, 23 Maret 2022.
 
Tanpa menyebutkan bahwa perundingan tentang perjanjian nuklir telah menemui jalan buntu, Price menegaskan AS memiliki rencana lain jika kesepakatan tidak bisa tercapai atau dugaan rencana Iran untuk mengembangkan senjata nuklir tidak dihentikan.

"Tanggung jawab berada di Teheran untuk mengambil keputusan yang mungkin dianggap sulit," ujar Price kepada wartawan.
 
"Faktanya, kami sedang mempersiapkan skenario, dengan atau tanpa langkah  bersama untuk kembali ke implementasi penuh JCPOA," ucapnya, mengacu pada nama resmi perjanjian nuklir 2015, Joint Comprehensive Plan of Action (Rencana Aksi Komprehensif Bersama).
 
Pekan lalu, pejabat Washington optimistis bahwa kesepakatan sudah dekat.
 
"Kami dekat dengan kemungkinan kesepakatan, tapi kami belum sampai sana," kata Price tanggal 16 Maret. "Kami pikir masalah yang tersisa dapat dijembatani," lanjutnya.
 
Pejabat AS mengira Teheran bisa mencapai kesepakatan setelah Nowruz, Tahun Baru Persia, yang dirayakan 20 Maret lalu. Namun, hal itu tidak terjadi.
 
Pemerintahan Donald Trump secara sepihak membatalkan JCPOA pada 2018. Perjanjian yang ditandatangani 6 pihak itu disebut lemah, dan Teheran dituduh melakukan pelanggaran terhadapnya.
 
Para ahli mengatakan Iran berpegang pada ketentuan yang telah ditetapkan. Tapi, beberapa bulan setelah AS menarik diri, republik Islam itu mulai meningkatkan program nuklirnya.
 
Sejumlah aktivitas dilakukan dalam program tersebut untuk menaikkan kemampuan Iran dalam membuat senjata nuklir.
 
April lalu, tiga bulan setelah menjabat, Presiden Joe Biden memulai negosiasi baru untuk menghidupkan kembali perjanjian 2015, dengan menjanjikan pelonggaran sanksi.
 
Tapi, pembicaraan yang kini berlangsung menunjukkan bahwa Teheran kian dekat dengan “terobosan” nuklir.
 
Beberapa minggu terakhir, kedua pemerintahan mengatakan bahwa pihak satunya harus membuat pilihan politik yang sulit.
 
Teheran diyakini memiliki dua tuntutan: jaminan keamanan jika AS menarik diri lagi, dan pencabutan status “Organisasi Teroris Asing” yang dikenakan bagi Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC). IRGC merupakan cabang kuat dari militer Iran.
 
Baca:  Presiden Iran Tak Pernah Menaruh Harapan pada Dialog Nuklir di Wina
 
 

Price menyebut masih ada sejumlah masalah sulit, namun tidak mengkonfirmasi apa saja poin-poin yang tidak disepakati.
 
"Kami tahu pasti ada banyak desakan, dan sekarang kita tahu tanggung jawabnya ada di Teheran untuk mengambil keputusan," kata Price.
 
Menunjukkan Washington tidak menyerah, Price menyampaikan kemungkinan pihaknya mengupayakan beberapa penyesuaian. "Kami siap untuk mengambil keputusan sulit untuk mengembalikan program nuklir Iran ke batasan-batasan JCPOA," ungkap dia.
 
Di sisi lain, ia juga mengatakan Washington berunding dengan sekutunya mengenai langkah lebih lanjut jika tidak ada kesepakatan yang dicapai.
 
"Kami sedang mempersiapkan ... untuk dunia di mana kami memiliki JCPOA dan dunia di mana kami tidak memilikinya. Tapi bagaimanapun, komitmen presiden terhadap fakta bahwa Iran tidak akan pernah bisa memperoleh senjata nuklir, itu sangat kuat," tegas Price.
 
Di tengah AS menekan Iran untuk mengalah demi kembali berlakunya pembatasan program nuklir Iran, Washington juga mengalami tantangan internal.
 
Pihak konservatif AS tidak menyetujui ketentuan dalam perjanjian yang diupayakan.
 
"Kesepakatan yang memberikan bantuan sanksi $90-$130 miliar, pengurangan sanksi terhadap Iran atas teror terburuk dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan penghapusan IRGC (dari daftar teroris) tidak mendukung kepentingan keamanan nasional kami," tukas senator senior Partai Republik, Jim Risch.
 
Sedangkan, Chris Murphy dari Partai Demokrat mengatakan bahwa perjanjian adalah hal yang positif.
 
"Informasi intelijen tentang seberapa dekat Iran dengan senjata nuklir sangat mengerikan, dan kita tidak punya alasan untuk percaya bahwa ada jalan selain diplomasi untuk memperpanjang waktu terobosan mereka," kata Murphy.
 
Murphy pun menyebut IRGC dapat dihapus dari daftar teroris karena status tersebut “tidak memiliki pengaruh praktis”. (Kaylina Ivani)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan