Ilustrasi tembakau/MI/Panca Syurkani
Ilustrasi tembakau/MI/Panca Syurkani

100 Ahli Desak FCTC Ubah Pendekatan Pengendalian Tembakau

M Sholahadhin Azhar • 30 Oktober 2021 00:06
Den Haag: Sebanyak 100 ahli mendesak Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) mengubah pendekatan terkait pengendalian tembakau. Desakan itu ditujukan pada Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau menjelang Ninth Session of Conference of Parties (COP9) yang diselenggarakan di Den Haag, Belanda pada 8–13 November 2021.
 
Dikutip dari Korea Times, 100 ahli dari 30 negara menuangkan desakan dalam surat terbuka. Para ahli riset dan kebijakan tembakau meminta Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengikutsertakan pendekatan pengurangan dampak buruk dalam upaya pengendalian tembakau.

Enam rekomendasi ahli atas pengendalian tembakau:

  1. Menjadikan pengurangan dampak buruk tembakau sebagai bagian strategi global memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG) di bidang kesehatan, terutama terkait penyakit tidak menular.
  2. Memastikan setiap analisis kebijakan WHO melalui penilaian yang tepat terkait manfaat dan risiko bagi perokok dan calon perokok (termasuk remaja), serta orang sekitarnya.
  3. Memastikan pengajuan kebijakan mempertimbangkan konsekuensi yang tidak diinginkan, terutama kebijakan pelarangan.
  4. Menerapkan Pasal 5.3 FCTC untuk mengatasi malpraktik industri tembakau dengan benar.
  5. Membuat negosiasi FCTC lebih terbuka bagi para pemangku kepentingan yang memiliki pandangan pengurangan dampak buruk
  6. Memulai kajian independen terhadap pendekatan WHO dan FCTC terhadap kebijakan tembakau dalam konteks SDGs.
Keenam rekomendasi merupakan gugatan terhadap sikap WHO yang tak acuh terhadap potensi transformasi pasar tembakau beralih ke produk rendah risiko. Padahal, riset ilmuwan membeberkan semakin banyaknya produk rendah risiko tembakau berdampak pada pengurangan perokok.
 
Profesor Queen Mary University Inggris, Peter Hajek, pernah membantah laman tanya jawab WHO terkait produk vape. Menurut dia, mayoritas fakta di laman yang dipublikasikan pada 2020 itu tak benar.
 
 

Misalnya, terkait tingkat kecanduan yang tinggi pada vape. Peter mengatakan tak ada bukti terkait hal itu, termasuk fakta mengenai penyakit jantung dan lainnya.

"Sementara, ada bukti yang jelas bahwa vape membantu perokok berhenti,” ungkapnya dalam forum daring Science Media Centre.
 
Selain Peter, Profesor University of Nottingham Inggris, John Britton, mengkritik jawaban WHO terkait 'tingkat risiko vape dibandingkan rokok konvensional'. Menurut John, WHO menjawab pertanyaan itu dengan tidak tahu.
 
Baca: Pemerintah Diminta Memperhatikan Ketimpangan Cukai Produk HPTL
 
"Padahal vape sudah jelas memiliki risiko yang lebih rendah. Ini menunjukkan bahwa WHO salah mengartikan bukti ilmiah yang sudah ada,” kata John.
 
Indonesia tak menandatangani FCTC lantaran peraturan pengendalian tembakau merujuk pada PP Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Di sisi lain, para ahli meminta negara dengan volume perokok yang tinggi untuk mengadopsi aturan pengurangan dampak buruk tembakau.
 
Guru Besar Imperial College London, David Nutt, mengatakan vape merupakan produk olahan tembakau yang rendah risiko dan bisa mengurangi prevelensi perokok. WHO diminta memfasilitasi hal tersebut, bukan malah menghalangi.
 
Produk tembakau alternatif telah masuk ke Indonesia. Namun, masih belum ada aturan yang optimal mendorong manfaat vape.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(ADN)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan