Chan Aye, pejabat yang ditunjuk militer di Kementerian Luar Negeri Myanmar mengatakan, kepada Dewan Hak Asasi PBB melalui pesan video pada Kamis bahwa pihak berwenang "telah menahan diri sepenuhnya untuk menangani protes kekerasan."
Namun menurut Andrews, "Pasukan keamanan Myanmar telah membunuh sedikitnya 70 orang" sejak 1 Februari, kebanyakan dari mereka berusia di bawah 25 tahun.
“Dan hingga Rabu malam, pemerintah militer telah secara sewenang-wenang menangkap dan menahan lebih dari 2.000 orang. Sementara kekerasan terhadap pengunjuk rasa, termasuk kekerasan terhadap orang-orang yang duduk dengan tenang di rumah mereka, terus meningkat,” tegas Andrews.
Perlu tindakan internasional
Bahkan sebelum kudeta, kepemimpinan saat ini di Myanmar menghadapi dakwaan atas "kejahatan kekejaman" dan "genosida" di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional atas perlakuannya terhadap Muslim Rohingya, kenang Andrews."Sejak kudeta, militer Myanmar telah menyerang dan memaksa beberapa ribu anggota etnis kebangsaan mengungsi dari rumah mereka," ucapnya.
Andrews mengatakan bahwa berdasarkan bukti bahwa "junta Myanmar terlibat dalam kejahatan kekejaman terhadap rakyatnya sendiri saat ini”. “Tindakan segera diperlukan saat ini,” serunya.
Pekan lalu, pakar itu mendesak Dewan Keamanan PBB untuk kembali memberlakukan embargo senjata dan menyasar kembali sanksi militer Myanmar.
Dewan Keamanan PBB, yang mencakup pendukung tradisional utama Myanmar, Tiongkok, tidak mengindahkan seruan itu. Meskipun mereka mengeluarkan pernyataan pada Rabu yang mengungkapkan keprihatinan yang mendalam tentang situasi tersebut.
Andrews menggambarkan pernyataan itu sebagai "sama sekali tidak cukup", bersikeras bahwa rakyat Myanmar tidak hanya membutuhkan kata-kata dukungan tetapi juga tindakan yang mendukung. "
"Mereka butuh bantuan komunitas internasional sekarang," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News