medcom.id, Jakarta: Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) di Asia Tenggara seakan tak ada habisnya. Berbagai kasus terkait dengan HAM bermunculan di kawasan ini, misalnya saja perdagangan manusia dan kasus etnis Rohingya di Myanmar, yang kini sedang disorot habis-habisan oleh dunia internasional.
Rohingya telah menjadi fenomena yang ironis di Asia Tenggara. Sejak tahun 1990-an, mereka telah diasingkan, mengungsi dari kampung halaman mereka di Myanmar Utara dan tanpa berstatus kewarganegaraan negara mana pun.
Menurut UNHCR, hampir 140.000 orang masih mengungsi di negara bagian Rakhine, sementara lebih dari 800.000 etnis Rohingya diperkirakan tanpa kewarganegaraan di bagian utara dari negara tersebut. Kondisi ini dianggap sangat memprihatinkan oleh UNHCR dan tampaknya menjadi salah satu tantangan kemanusiaan terbesar di Asia Tenggara saat ini.
Myanmar menganggap Rohingya adalah pengungsi dari Bangladesh. Namun, kenyataannya ketika Rohingya ingin menyeberang ke Bangladesh karena adanya bentrokan di Rakhine, otoritas Bangladesh serta merta menolaknya. Pemerintah Bangladesh menyatakan, ribuan pelarian sudah memasuki negara itu dan ribuan lainnya dilaporkan berkumpul di perbatasan.

Rumah warga di Rakhine yang dibakar (Foto: AFP).
Banyak dari mereka yang mencari perlindungan di Bangladesh, mengatakan, mereka telah berjalan selama berhari-hari dan menaiki perahu reyot demi menyeberang ke negara tetangga, di mana ratusan ribu pengungsi Rohingya yang terdaftar telah menetap selama beberapa dekade. Pada pertengahan November 2016, Bangladesh pun memutuskan akan memulangkan sekitar 70 orang Rohingya yang ditahan di perbatasan. Mereka ditahan saat mencoba kabur dari Myanmar untuk menghindari konflik di Rakhine.
Berbagai pendapat dan penilaian bermunculan, terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kepala Pusat Pengungsi PBB di Bangladesh, John McKissick mengatakan, Myanmar berusaha 'menghilangkan' kelompok minoritas Muslim Rohingya melalui pembersihan. Hal ini diungkapkan setelah ribuan orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar ke negara tetangganya, Bangladesh setelah terjadi kerusuhan antara pasukan keamanan dan kelompok militan.
Pecahnya kembali konflik Rohingya dan militer Myanmar bermula dari kejadian pada 9 Oktober 2016 lalu. Setidaknya 17 orang, termasuk sembilan polisi, tewas dalam serangan di pos-pos penjagaan di sepanjang perbatasan antara Myanmar dan Bangladesh, tepatnya di Rakhine. Dilaporkan, serangan tersebut dilakukan oleh kelompok bersenjata yang tidak diketahui afiliasinya.
Kepala kepolisian Myanmar, Zaw Win bahkan mengonfirmasi bahwa penyerang adalah Rohingya dan mereka merampas lebih dari 50 senjata dan ribuan peluru dari pos-pos polisi perbatasan. Serangan kali ini tercatat yang paling mematikan di Rakhine sejak 2012. Ketika itu banyak orang tewas dalam kekerasan komunal dan membuat lebih dari 100.000 orang lainnya mengungsi.
Setelah bentrokan yang menewaskan anggota kepolisian Myanmar ini, pemerintah Myanmar meningkatkan pengamanan di wilayah mayoritas Muslim, dekat perbatasan Bangladesh tersebut. Pemerintah Myanmar bahkan menurunkan anggota militer untuk berjaga. Namun, setiap hari bentrokan dan kekerasan semakin sering terjadi. Terhitung sejak awal bentrokan pada 9 Oktober 2016 hingga Desember 2016, lebih dari 100 etnis Rohingya tewas. Belum lagi polisi Myanmar yang juga turut tewas dan terluka dalam kejadian ini.
Meningkatnya jumlah Rohingya yang tewas, membuat kasus ini disoroti dunia internasional. Bahkan pemimpin de facto Myanmar sekaligus ikon demokrasi negara tersebut, Aung San Suu Kyi dan Asosiasi Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) diprotes karena dianggap tak berbuat banyak terhadap permasalahan ini.
Dalam kunjungannya ke Jepang pada 4 November 2016 lalu, Suu Kyi mengatakan, penyelidikan sedang berlangsung di negara bagian Rakhine, di mana banyak penduduk minoritas Muslim hidup. Di tempat itu juga, para pekerja hak asasi manusia (HAM) mengatakan, konflik telah menyebabkan perlakuan kejam atas warga sipil oleh militer.
"Setiap tindakan akan diambil sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Kami tidak mencoba untuk menyembukan sesuatu di Rakhine," ucap Suu Kyi, kala itu.
Suu Kyi tidak langsung mengomentari seruan para pakar HAM yang mendesak pemerintahnya untuk menyelidiki tuduhan pelecehan, atau menanggapi pernyataan dari pemantau HAM, meskipun ia telah mendesak pihak militer untuk menahan diri.
Dia telah menghadapi kritikan dari mancanegara untuk penanganan krisis dari pemerintahannya di negara bagian Rakhine, di mana tentara dituduh memperkosa dan membunuh warga sipil dan di mana akses pekerja bantuan ditolak sampai pemerintah setuju mengizinkan pekerja menyalurkan bantuan.
Aksi kekerasan itu merupakan tindakan paling serius yang melanda perbatasan barat Myanmar dengan Bangladesh sejak ratusan orang tewas dalam bentrokan komunal pada 2012.
Ketegangan antara etnis minoritas Myanmar dengan pemerintah pusat yang sebagian didominasi orang Burma telah mendorong banyak kelompok mengangkat senjata untuk memperjuangkan otonomi yang lebih besar, tak lama setelah kemerdekaan negara itu pada 1948.
"Kami ingin semua rakyat etnis kami merasa bahwa mereka memiliki kesempatan yang sama untuk maju, bahwa ini benar-benar suatu bangsa yang terdiri dari orang-orang yang beragam tapi bersatu dalam tujuan kami untuk menjadi masyarakat yang harmonis," lanjut Suu Kyi lagi.
Operasi militer Rakhine telah mempertajam ketegangan antara pemerintahan sipil dipimpin Suu Kyi yang baru enam bulan berkuasa dengan pihak tentara, yang memerintah negara itu selama puluhan tahun dan mempertahankan kekuatan kunci, termasuk kendali atas kementerian yang bertanggung jawab dalam keamanan.
Protes di Berbagai Negara Tetangga
Sejumlah unjuk rasa pun meledak di beberapa negara tetangga Myanmar, seperti Indonesia dan Malaysia. Sama-sama menjadi anggota dari ASEAN, para pedemo menuntut agar Myanmar keluar dari ASEAN jika tak bisa menyelesaikan permasalahan yang menyangkut kemanusiaan ini.
Massa yang berdemo pada 25 November 2016 tepat di depan Kedutaan Besar Myanmar di kawasan Menteng, Jakarta Pusat ini juga menuntut agar Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, diusir dari Jakarta, karena mereka menganggap kasus Rohingya adalah sebuah kasus genosida.
Ironisnya, mereka juga meminta Indonesia memutuskan hubungan diplomatik dengan Myanmar jika memang kekerasan kemanusiaan terhadap minoritas Muslim di Rakhine terus terjadi. Selain itu pada pengunjuk rasa juga meminta ASEAN untuk tegas terhdap Myanmar. Keinginan mereka juga masih sama, yaitu mendesak Myanmar hentikan kekerasan dan pembantaian di Rohingya.
"Kami sudah surati PBB, sudah surati Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, tapi tak ada respon. Kami akan terus berdemo, bahkan yang lebih besar, jika kekerasan masih terjadi," tegas salah seorang pemimpin demo, pada waktu itu.
Sementara di Malaysia, Perdana Menteri Najib Razak bahkan ikut turun berdemo untuk membela etnis Rohingya. Selain itu pada pengunjuk rasa juga meminta ASEAN untuk tegas terhdap Myanmar.

PM Najib Razak dalam unjuk rasa mendukung Rohingya (Foto: The Star).
PM Najib Razak dalam unjuk rasa mendukung Rohingya (Foto: The Star).
Keinginan mereka juga masih sama, yaitu mendesak Myanmar hentikan kekerasan dan pembantaian di Rohingya. Ia melabeli apa yang terjadi di Rakhine adalah genosida dan penghinaan terhadap agama Islam. PM Najib juga mendesak dunia internasional untuk campur tangan. Tak hanya itu, Najib juga menyatakan bahwa Suu Kyi telah membuka jalan untuk terjadinya genosida terhadap Rohingya sejak Oktober 2016 lalu.
Komentar cukup keras dari Najib tersebut berujung pada dirinya yang sengaja menggunakan isu Rohingya untuk pengalihan isu dari kasus korupsi yang sedang dihadapinya di Kuala Lumpur. Komentarnya juga membuat Myanmar menghentikan pengiriman tenaga kerja ke Malaysia atas kecaman terhadap ucapan Najib.
ASEAN Dianggap Vakum
ASEAN, sebagai asosiasi yang menaungi 10 negara di Asia Tenggara, diharapkan menaruh perhatian penuh terhadap HAM. Untuk saat ini, ASEAN dianggap tak berbuat banyak untuk kasus HAM di kawasan. ASEAN didorong harus tanggap cepat dalam menangani permasalahan yang terjadi di Rakhine, Myanmar ini.
Sementara masyarakat internasional telah menyatakan keprihatinan mengenai masalah Rohingya, namun ada kurangnya respon dari ASEAN. Sampai saat ini, tidak ada respon yang signifikan dari ASEAN sebagai institusi regional yang terbesar di Asia Tenggara, yang menomorsatukan perdamaian dan stabilitas.
(Baca: Dubes Myanmar: ASEAN Berjanji Bantu Situasi di Rakhine).
Sementara, negara pelopor terbentuknya ASEAN, Indonesia, telah bergerak untuk menghentikan kekerasan kemanusiaan ini. Ada yang menarik dari komentar mantan Sekretaris Jenderal ASEAN, Surin Pitsuwan, di mana ia mengatakan bahwa ASEAN harus segera menyalurkan bantuan ke Rakhine.
Bukankah ini sebuah sinyal bahwa ASEAN harus melakukan sesuatu terhadap isu HAM? Namun, kritik ini disanggah oleh Dinna Wisnu, wakil tetap Indonesia untuk Komisi Antarpemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia atau AICHR. Berbicara kepada Metrotvnews.com, Senin 12 Desember 2016 lalu, Dinna menegaskan bahwa prinsip ASEAN adalah constructive engagement.
"ASEAN adalah asosiasi kerja sama yang membangun, bukan menyudutkan. ASEAN juga mengutamakan stabilitas politik yang terbangun. ASEAN konstruktif jika ada negara yang kurang, kami berusaha untuk memperbaiki mereka, bukan menekan," ungkap Dinna.
Sebagai negara pelopor ASEAN, Indonesia pun berkomitmen untuk membantu Myanmar dalam permasalahan Rohingya ini. Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi pun menyampaikan keprihatinan Indonesia kepada Suu Kyi saat kunjungannya ke Naypyidaw, 6 Desember 2016. Menlu Retno membahas secara terbuka situasi dan perkembangan yang terjadi di Rakhine. Mantan duta besar RI di Belanda ini juga menegaskan pentingnya mencapai keamanan dan stabilitas dalam upaya meneruskan pembangunan inklusif di Rakhine.
(Baca: Diplomasi Maraton Menlu RI dari Yangon ke Dhaka).
(Baca: Diplomasi Maraton Menlu RI dari Yangon ke Dhaka).
Menerima kunjungan Menlu Retno dengan baik, Suu Kyi juga menyampaikan apresiasi atas dukungan pembangunan Indonesia selama ini, termasuk bantuan kemanusiaan Indonesia yang telah masuk ke Rakhine State pascakejadian 9 Oktober lalu. Pemerintah Myanmar telah membuka pintu bagi bantuan kemanusiaan dari Indonesia, sehingga memungkinkan bantuan dari PKPU (Pos Kemanusiaan Peduli Umat) untuk sampai di Rakhine. Masyarakat Indonesia telah memberikan bantuan pembangunan dua sekolah di wilayah Rakhine. Pembangunan ini telah selesai dilakukan. Saat ini, Indonesia telah membantu pembangunan enam sekolah di Rakhine State.
.jpg)
Menlu Retno Marsudi sambangi pengungsi Rohingya di Bangladesh (Foto: Kemenlu RI).
Buntut dari kunjungan Menlu Retno ke Myanmar ini, akhirnya Suu Kyi mengadakan pertemuan atau retreat para menteri luar negeri negara anggota ASEAN. Gelaran pertemuan ini juga atas inisiasi Indonesia lewat kunjungan Menlu Retno ke Myanmar tersebut. 19 Desember bertempat di Yangoon, para menteri luar negeri negara anggota ASEAN membahas sebagai satu keluarga dengan terbuka dan konstruktif mengenai situasi dan perkembangan di Rakhine State serta langkah maju yang dapat dilakukan.
Suu Kyi mengatakan bahwa akses bagi media termasuk media asing mulai dibuka, dan akses bantuan kemanusiaan juga telah diberikan lebih besar, termasuk untuk bantuan kemanusiaan dari PBB per 19 Desember. Akses kemanusiaan kepada PBB pun telah dikonfirmasi wakil PBB di Myanmar.
Menunjukkan keseriusan Indonesia dalam membantu Myanmar menangani kasus Rohingya, Menlu Retno langsung terbang ke Dhaka, Bangladesh untuk bertemu dengan Perdana Menteri Bangladesh dan juga bertemu langsung dengan pengungsi Rohingya di sana. Kunjungan langsung Menlu Retno tempat penampungan Rohingya yang berada di Kutupalong, Cox's Bazar ini menjadikan Menlu Retno adalah menteri luar negeri pertama yang mengunjungi tempat penampungan tersebut sejak bentrokan pecah pada 9 Oktober.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News