Warga Myanmar bertahan menghadapi terjangan pihak keamanan yang ingin membubarkan protes antikudeta. Foto: AFP
Warga Myanmar bertahan menghadapi terjangan pihak keamanan yang ingin membubarkan protes antikudeta. Foto: AFP

180 Orang Tewas Sejak Kudeta di Myanmar, Korban Terbaru Capai 20

Fajar Nugraha • 16 Maret 2021 10:43
Yangon: Sedikitnya 20 orang tewas di Myanmar pada Senin 15 Maret 2021. Korban terbaru menambah panjang deretan korban dalam kerusuhan dan protes menentang kudeta militer yang merebut kekuasaan 1 Februari lalu.
 
Negara ini gempar sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dari kekuasaan. Ratusan ribu orang turun ke jalan untuk menuntut kembali ke demokrasi.
 
Baca: Myanmar Memanas, WNI Relatif Aman dan Belum Perlu Dievakuasi.

Pasukan keamanan telah menggunakan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa dalam tindakan keras hampir setiap hari di seluruh negeri.
 
Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP), sebuah kelompok pemantau lokal yang melacak penangkapan dan korban jiwa mengatakan, sedikitnya 20 orang tewas dalam kekerasan hari Senin itu.
 
"Korban meningkat secara drastis," katanya dalam pernyataan Selasa, seperti dikutip AFP, Selasa 16 Maret 2021.
 
“Lebih dari 180 orang telah tewas sejak kudeta 1 Februar. Sementara sebagian besar kematian pada Senin adalah demonstran antikudeta, beberapa bahkan adalah warga sipil yang tidak berpartisipasi dalam protes,” lanjut pihak AAPP.
 
Sebagian besar tewas berada di Myanmar tengah, sementara setidaknya tiga tewas di pusat perdagangan Yangon. Menurut AAPP, kematian yang tercatat di Yangon termasuk dua wanita di rumah mereka yang ditembak ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan ke jalan.
 
AFP secara independen telah memverifikasi 11 kematian.
 
Baca: 39 Pengunjuk Rasa Tewas dalam Sehari di Tangan Pasukan Myanmar.
 
Minggu menandai satu hari paling mematikan sejak kudeta sejauh ini, dengan AFP membenarkan sedikitnya 44 orang tewas dalam kerusuhan di seluruh negeri.
 

 
Sebanyak Enam kota di Yangon ditempatkan di bawah darurat militer setelah kekerasan Minggu. Siapa pun yang ditangkap di sana akan diadili oleh pengadilan militer daripada pengadilan sipil, dengan hukuman mulai dari kerja paksa tiga tahun hingga eksekusi.

Desakan internasional

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat (AS), Tiongkok dan Inggris semuanya mengutuk kekerasan itu, yang menurut PBB telah merenggut nyawa sedikitnya 138 "pengunjuk rasa damai" - termasuk wanita dan anak-anak.
 
"Junta telah menanggapi seruan untuk pemulihan demokrasi di Burma dengan peluru," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Jalina Porter kepada wartawan pada Senin, menggunakan nama lain untuk Myanmar dan menyebut serangan Minggu sebagai "titik terendah baru".
 
"Amerika Serikat terus meminta semua negara untuk mengambil tindakan konkret untuk menentang kudeta, dan meningkatkan kekerasan," tambahnya.
 
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga menyerukan kepada komunitas internasional "termasuk para aktor regional, untuk bersatu dalam solidaritas dengan rakyat Myanmar dan aspirasi demokrasi mereka," sebut juru bicara Guterres, Stephane Dujarric pada Senin.
 
Utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener juga mengutuk pertumpahan darah Minggu. Sementara Inggris mengatakan pihaknya "terkejut" dengan penggunaan kekerasan "terhadap orang-orang yang tidak bersalah".
 
Bentrokan Minggu juga mendapat kecaman keras dari Beijing, yang pada Senin mendesak Myanmar untuk "dengan tegas menghindari terulangnya insiden semacam itu". Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Zhao Lijian menggambarkan kekerasan itu sebagai "keji".
 
“Tiongkok sangat prihatin tentang dampak terhadap keselamatan institusi dan personel kami,” ucapnya kepada wartawan di Beijing, menambahkan bahwa pasukan keamanan Myanmar telah memperkuat daerah di sekitar pabrik.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan