Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. (Medcom.id)
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. (Medcom.id)

Hikmahanto: Ada 2 Upaya Hukum untuk Proyek Satelit Kemenhan

Willy Haryono • 17 Januari 2022 16:29
Jakarta: Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana turut mengomentari kasus dugaan penyalahgunaan sejumlah kontrak satelit untuk slot orbit 123 Bujur Timur di Kementerian Pertahanan. Pelanggaran yang terjadi dalam kurun 2015-2016 itu mengakibatkan negara merugi hingga ratusan miliaran rupiah.
 
Kemenhan telah membuat kontrak kerja sama dengan beberapa perusahaan untuk proyek ini, di antaranya Avanti Communication Ltd, Navayo, Airbus, Detente Hogan Lovells, dan Telesat, dalam kurun waktu 2015-2016.
 
Setidaknya, sudah ada dua perusahaan yang menggugat Kemenhan melalui pengadilan arbitrase internasional, yakni Avanti di London, dan Navayo di Singapura. Kedua pengadilan tersebut memutus negara harus membayar masing-masing Rp515 miliar dan USD20,901 juta.
 
Menurut Hikmahanto, meski disebut sebagai pengadaan satelit untuk Slot Orbit 123, namun bila dipelajari secara seksama ada dua kasus berbeda. 

Kasus pertama adalah pengadaan satelit yang bersifat sementara dengan tujuan Indonesia tidak kehilangan Slot Orbit 123 setelah tidak berfungsinya Satelit Garuda-1. Di sini, ucap Hikmahanto, yang menjadi pihak penyedia satelit adalah Avanti Communication Limited. 
 
Di kasus pertama ini, Kemenhan digugat atas dasar kekurangan pembayaran sewa di arbitrase yang berkedudukan di London, Inggris.
 
Sementara kasus kedua adalah pengadaan satelit yang sebenarnya untuk mengisi Slot Orbit 123 secara permanen, dengan penyedia satelit adalah Navayo, Airbus, Detente, Hogan, Lovel dan Telesa. Di kasus kedua ini, Kemenhan digugat karena wanprestasi atas kontrak di arbitrase yang berkedudukan di Singapura.
 
Untuk dua kasus yang sama-sama telah diputus, baik di London maupun Singapura, maka ada dua upaya hukum yang bisa dilakukan. "Pertama adalah proses pembatalan putusan arbitrase," ucap Hikmahanto, dalam keterangan tertulis yang diterima Medcom.id, Senin, 17 Januari 2022.
 
"Inti dari proses hukum ini bukanlah banding sehingga tidak mempermasalahkan substansi yang diperkarakan. Proses hukum ini terkait dengan prosedural dalam berarbitrase," sambung rektor Universitas Jenderal A. Yani itu.
 
Upaya hukum ini disebut Hikmahanto harus dilakukan di pengadilan, di mana putusan arbitrase diputus. Jika arbitrase diputus di London, maka harus diajukan ke pengadilan London. Alasan untuk membatalkan pun harus berdasarkan hukum Inggris.
 
Namun karena putusan telah dijatuhkan di tahun 2018, menjadi permasalahan apakah hukum Inggris memungkinkan untuk melakukan proses pembatalan saat ini. Demikian pula bila putusan arbitrase dijatuhkan di Singapura. Hal ini masih memungkinkan mengingat putusan dijatuhkan pada Mei 2021.
 
 

Bila pengadilan memutus bahwa putusan arbitrase dibatalkan, maka konsekuensinya adalah proses arbitrase harus diulang. Terhadap putusan arbitrase yang telah dibuat, maka konsekuensinya tidak dapat diminta untuk dipaksakan oleh pengadilan negara manapun.
 
"Upaya hukum kedua adalah penolakan untuk melaksanakan putusan arbitrase yang dibuat. Penolakan ini dilakukan oleh pengadilan, di mana aset pihak yang kalah berada," tutur Hikmahanto. Untuk diketahui dalam perkara perdata, baik di pengadilan maupun arbitrase, sebuah putusan hanya memiliki makna menang di atas kertas. 
 
"Dalam perkara pengadaan satelit untuk Slot Orbit 123, bila Kemenhan tidak mau melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, maka pihak penyedia satelit akan meminta pengadilan di mana Kemenhan memiliki aset untuk melakukan eksekusi," sebut Hikmahanto.
 
"Secara logika, pihak-pihak yang menang perkara akan membawa putusan arbitrase tersebut ke Pengadilan Indonesia," sambungnya.
 
Dalam konteks ini, lanjut Hikmahanto, mungkin proses tindak pidana korupsi di Indonesia dimulai. Strateginya adalah, pengadilan Indonesia akan menolak putusan arbitrase yang diminta untuk dilaksanakan karena terindikasi korupsi. 
 
Menurut Hikmahanto, strategi seperti ini bisa saja berhasil atas dasar putusan yang hendak dieksekusi melanggar ketertiban umum di Indonesia. 
 
Hanya saja tindak pidana korupsi yang harus dibuktikan adalah adanya delik korupsi yang dilakukan penyedia satelit atau kontrak pengadaan satelit terindikasi ada delik korupsinya. Bila delik korupsi yang hendak dibuktikan lebih ke masalah pengadaan internal di Kemenhan, maka upaya ini tidak terlalu banyak membantu. 
 
Strategi untuk melakukan penolakan bisa gagal karena pihak penyedia satelit tidak pergi ke pengadilan di Indonesia untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase yang mereka menangkan. 
 
Penyedia Satelit bisa saja pergi ke pengadilan-pengadilan di luar negeri, di mana pemerintah Indonesia memiliki aset, sepanjang bukan aset milik kantor perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal. 
 
"Penyedia satelit akan membangun argumentasi bahwa Kemenhan merupakan bagian dari pemerintah Indonesia, dan pemerintah Indonesia adalah pemegang saham dari sejumlah Badan Usaha Milik Negara," papar Hikmahanto.
 
Baca:  Jokowi Perintahkan Kasus Proyek Satelit Kemenhan Segera Diselesaikan
 
 

Saat ini, ada sejumlah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki aset berupa tanah dan bangunan serta uang dalam rekening koran di bank-bank luar negeri. Dalam konteks demikian, ucap Hikmahanto, bukan tidak mungkin aset-aset BUMN yang akan diminta untuk dieksekusi pengadilan setempat sebagai upaya pelaksanaan putusan arbitrase. 
 
"Oleh karenanya, upaya memunculkan proses hukum yang berkaitan dengan pidana tidak akan bermanfaat," kata Hikmahanto.
 
"Di sinilah pentingnya pemerintah harus lebih fokus dalam mengambil langkah agar putusan arbitrase tidak dilaksanakan atau dibatalkan. Pemerintah jangan justru melebar kemana-mana," lanjutnya.
 
Kalaupun ada indikasi tindak pidana korupsi, tutur Hikmahanto, maka hal tersebut perlu untuk terus diproses, namun tidak seharusnya digunakan sebagai strategi untuk menghindari eksekusi atas putusan arbitrase.
 
Hikmahanto menilai, pemerintah perlu mengundang ahli, bahkan pengacara berkaliber internasional yang memahami seluk beluk tentang upaya pembatalan putusan, baik di London maupun Singapura, dan pengacara yang memahami upaya penolakan putusan arbitrase di luar Indonesia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(WIL)
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan