Protes warga Thailand menuntut reformasi pemerintah dan monarki. Foto: AFP
Protes warga Thailand menuntut reformasi pemerintah dan monarki. Foto: AFP

Pengadilan Thailand Nyatakan 3 Pemimpin Protes Berpotensi Gulingkan Monarki

Medcom • 11 November 2021 12:56
Bangkok: Pengadilan Tinggi Thailand memutuskan, pidato oleh tiga pemimpin protes yang menyerukan reformasi kerajaan merupakan upaya untuk menggulingkan monarki
 
Putusan yang dilayangkan pada Rabu, 10 November 2021 tersebut meyakini, pidato ketiganya berpotensi membuka jalan bagi tuduhan makar terhadap pihak mereka.
 
Dilansir dari Channel News Asia, Kamis, 11 November 2021, keluarga kerajaan Thailand yang sangat kaya memiliki pengaruh besar di masyarakat. Mereka dilindungi dari kritik dan pengawasan oleh kekejaman undang-undang (UU) pencemaran nama baik kerajaan.
 
Selama demonstrasi di jalanan besar pada Agustus 2020, Panusaya Sithijirawattanakul, yang dikenal luas dengan julukan ‘Rung’ (Anak Tangga) membacakan daftar 10 tuntutan, termasuk transparansi keuangan kerajaan dan penghapusan UU Lese Majeste.

Hukum Lese Majeste merupakan Pasal 112 hukum pidana Thailand, yang dapat melindungi para anggota senior keluarga kerajaan dari berbagai ancaman dan penghinaan, berbunyi “seseorang yang merusak nama baik, menghina, dan mengancam raja, ratu, putra mahkota, serta bangsawan akan divonis penjara hingga 15 tahun.
 
Pengadilan Thailand Nyatakan 3 Pemimpin Protes Berpotensi Gulingkan Monarki

 
Pedemo memperlihatkan gestur anti-pemerintah Thailand. Foto: AFP
 
Pidato kontroversial oleh dua pemimpin protes lain, pengacara Anon Numpa dan Panupong ‘Mike’ Jadnok dalam rapat umum Universitas Thammasat, Bangkok, diketahui menguji batas kebebasan berbicara di Thailand.
 
Pada Rabu, Mahkamah Konstitusi Thailand memutuskan, pidato tersebut “bertujuan untuk menggulingkan monarki konstitusional”.
 
“Jika kita membiarkan terdakwa pertama, kedua, dan ketiga serta jaringan mereka untuk terus melakukan tindakan ini, itu tidak akan lama mengarah pada penggulingan monarki konstitusional,” kata hakim Chiranit Havanond.
 

 
Pengadilan pun mengatakan, pidato tersebut merupakan “penyalahgunaan hak dan kebebasan serta merugikan keamanan negara”.
 
Hakim Wiroon Sangtian menjelaskan, amandemen UU pencemaran nama baik kerajaan “akan membawa monarki ke status yang tidak dihormati dan dapat membawa pembangkangan di antara rakyat”.
 
Menurut Peneliti senior Human Rights Watch (HRW), Sunai Phasuk, keputusan tersebut secara efektif melarang kampanye apa pun untuk mereformasi monarki.
 
“Setiap tindakan yang menuntut reformasi monarki adalah ilegal dan itu berarti orang akan diadili. Kekhawatiran lain adalah bahwa itu membuka pintu untuk tuduhan yang lebih serius termasuk pengkhianatan yang membawa hukuman mati,” ujar Phasuk kepada AFP.
 
Ilmuwan politik Universitas Chulalongkorn, Thitinan Pongsudhirak mengatakan kepada AFP, keputusan tersebut tidak mengejutkan, “Monarki itu suci dan tak tersentuh. Konsekuensinya adalah ini akan memanaskan lingkungan politik.”
 
Sejak akhir pemerintahan kerajaan absolut pada 1932, Thailand diketahui telah menjadi monarki konstitusional. Namun, demokrasi dinillai telah diselingi oleh kudeta militer reguler, yang terbaru pada 2014.
 
Pengaruh berkelanjutan yang dimiliki oleh istana dan militer diketahui menjadi sasaran utama protes yang dipimpin mahasiswa, dan mencengkeram Bangkok akhir tahun lalu.
 
Puluhan ribu warga dilaporkan memadati berbagai jalan pada puncak demonstrasi. Namun, kini, sejumlah pengunjuk rasa dan pemimpin mereka tengah menghadapi berbagai tuduhan kriminal, termasuk pencemaran nama baik kerajaan. (Nadia Ayu Soraya)
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FJR)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All




TERKAIT

BERITA LAINNYA

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan