“Implementasi konsensus lima poin yang dicapai oleh ASEAN untuk menangani krisis di Myanmar akan dipercepat,” kata Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan seperti dikutip South China Morning Post, Rabu 7 Juli 2021.
“Kami menyadari bahwa implementasi konsensus lima poin berjalan lambat dan sedikit mengecewakan,” imbuh Balakrishnan ketika hadapi pertanyaan parlemen.
Baca: Perpecahan di ASEAN Hambat Penunjukkan Utusan Khusus ke Myanmar.
“Kami bekerja di ASEAN untuk mempercepat proses ini, dengan maksud untuk meringankan situasi kemanusiaan, menghentikan kekerasan di Myanmar, dan mengembalikannya ke jalur negosiasi langsung oleh semua pemangku kepentingan yang akan mengarah pada keadaan normal, perdamaian, dan stabilitas bagi negara-negara ASEAN jangka panjang,” tuturnya.
Sebelumnya Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet menyesalkan bahwa Myanmar dalam beberapa bulan terakhir "telah berkembang dari krisis politik menjadi bencana hak asasi manusia multidimensi".
“Penderitaan dan kekerasan di seluruh negeri adalah prospek yang menghancurkan untuk pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kemungkinan kegagalan negara atau perang saudara yang lebih luas,” ucap Bachelet pada Selasa di Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
Selain itu, mantan Presiden Chile itu memperingatkan, “perkembangan bencana di Myanmar sejak kudeta menghasilkan potensi yang jelas untuk ketidakamanan besar-besaran, dengan dampak bagi wilayah yang lebih luas.”
Bachelet juga meminta "semua aktor bersenjata" untuk menghormati dan melindungi warga sipil dan struktur sipil seperti pusat kesehatan dan sekolah. Dalam lima bulan terakhir, setidaknya ada 240 serangan terhadap fasilitas dan personel perawatan kesehatan. Kondisi ini telah menonaktifkan pengujian, pengobatan, dan vaksinasi covid-19 secara serius.
Sangat penting, dia bersikeras, bagi komunitas internasional untuk “bersatu dalam menekan militer untuk menghentikan serangannya yang berkelanjutan terhadap rakyat Myanmar dan mengembalikan negara itu ke demokrasi”.
Myanmar telah mengalami protes massal dan tanggapan militer brutal sejak kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
“Apa yang dimulai sebagai kudeta oleh militer Myanmar dengan cepat berubah menjadi serangan terhadap penduduk sipil yang semakin meluas dan sistematis,” kata Bachelet.
Konsensus ASEAN untuk Myanmar terdiri dari lima poin dan disepakati pada pertemuan khusus para pemimpin April lalu. Meskipun tidak ada kerangka waktu untuk implementasinya yang disepakati.
Bulan lalu, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar dan mendesak militer untuk menghormati hasil pemilihan November dan membebaskan tahanan politik, termasuk Aung San Suu Kyi.
Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Duta Besar Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun, yang mewakili pemerintah sipil terpilih di negara itu, memberikan suara untuk mendukung resolusi tersebut. Sementara Brunei, Kamboja, Laos, dan Thailand abstain.
Lebih lanjut Balakrishnan mengatakan ASEAN tidak akan goyah dalam komitmennya untuk memfasilitasi dan mendukung proses sejalan dengan konsensus lima poin, meskipun itu tidak akan “cepat atau mudah”.
Dia mengatakan Singapura memilih mendukung resolusi PBB karena elemen kuncinya konsisten dengan posisi negara kota.
Dia menambahkan bahwa Singapura secara ketat mematuhi kewajiban internasional pada penjualan dan transfer senjata internasional, dan mematuhi sanksi atau embargo PBB terhadap negara mana pun.
Sejak kudeta Myanmar, hampir 900 orang tewas. Sementara sekitar 200.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News