Merespon hal tersebut, FESMI bersama Koalisi Seni menggelar diskusi publik di kafe Earhouse milik pasangan musisi Endah dan Rhesa pada, Senin, 22 Oktober 2024 yang berlokasi di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan.
Diskusi publik ini turut mengundang sederet narasumber seperti Cholil Mahmud (Musisi, Pengurus FESMI, Anggota Koalisi Seni), Febri Nindyo (Musisi, Pengurus FESMI), Panji Prasetyo (Praktisi Hukum), dan Ratri Ninditya (Koordinator Penelitian Koalisi Seni).
Acara ini fokus mengkaji mengenai Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 yang mengatur tarif royalti lagu dan musik untuk bidang komersial hanya menetapkan pemungutan royalti dengan metode borongan (blanket).
"Karena musik digital itu semakin menjadi konsumsi sehari-hari, pengetahuan tentang royalti ini menjadi sangat penting," ungkap Cholil Mahmud selaku musisi sekaligus pengurus FESMI dan anggota Koalisi Seni.
Vokalis Efek Rumah Kaca itu juga menjelaskan alasan yang kuat kenapa acara diskusi mengenai UU Hak Cipta dan royalti musisi ini perlu untuk dilakukan.
baca juga: Nah Lho! Ahmad Dhani Singgung Band Kotak karena Bawakan Lagu Orang Tanpa Izin |
"Satu hal lagi yang menurut saya juga menjadi alasan kuat kenapa acara ini perlu dilakukan. Sebenarnya, saat ini sedang berkembang isu tentang adanya revisi Undang-Undang Hak Cipta. Jadi tidak ada salahnya jika kita punya ide-ide yang baik tentang UU Hak Cipta, kita bisa utarakan di sini mengenai apa saja kendala UU Hak Cipta tahun 2014, yang ternyata perilaku kita mengkonsumsi dan memproduksi musik saat ini belum tercakup dalam UU tersebut atau sudah ketinggalan zaman," sambungnya.
Musisi Kurang Royalti Karena Tidak Ada Platform Digital Lokal
Sedangkan menurut Koordinator Penelitian Koalisi Seni, Ninditya menyatakan bila masalah musisi saat ini karena kurangnya royalti, maka seharusnya disediakan tarif minimum untuk musisi dari semua bentuk platform distribusi apapun.
Ia juga mengatakan bahwa pemerintah yang seharusnya menjaga musisi untuk dapat presentase royalti yang layak, justru tidak pernah hadir untuk menekan atau melarang platform digital multinasional di Indonesia yang menyebabkan musisi kurang untuk mendapatkan hak royalti mereka.
"Kalau di Indonesia itu uniknya, kita negaranya penduduknya banyak, pendengar musiknya banyak banget, tapi negaranya tidak pernah hadir buat kasih dorongan lebih ke platform buat menekan. Padahal kan platformnya yang merugi kalau negara yang melarang," ungkap Ratri Ninditya selaku Koordinator Penelitian Koalisi Seni.
baca juga: Melly Goeslaw Miris Lihat Nasib Musisi Zaman Sekarang, Kenapa? |
"Misalnya, sebuah platform digital multinasional ini akan kehilangan sekian ratus juta pendengar atau pelanggan ketika negara membatasi. Sayangnya, itu nggak bisa dilakukan karena kita nggak punya alternatif yang lain (platform dalam negeri)," tutup Ratri Ninditya.
Royalti di Indonesia Tidak Pernah Berkembang
Pada diskusi publik malam itu, praktisi hukum Panji Prasetyo menerangkan mengenai sejarah Undang-Undang Hak Cipta dan Lembaga Manajemen Hukum (LMK) dalam perspektif ilmu hukum.
Panji juga menegaskan bahwa royalti di Indonesia selama 40 tahun ini stagnan atau tidak berkembang karena terlalu banyak LMK yang saat ini berdiri sebanyak 15 LMK.
"Masalah royalti di Indonesia tidak pernah berkembang dan tidak pernah improve sistem dan lain sebagainya. Yang terjadi cuman nambah Lembaga Manajemen Kolefktif (LMK) doang," ujar Panji Prasetyo selaku praktisi hukum dan pengurus FESMI.
"Jadi kalau pertanyaannya kenapa royalti kita gak bisa banyak? Ya itu problemnya, 40 tahun kita mau mengembangkan sistem royalti di Indonesia yang terjadi itu cuma LMK banyak doang. Tapi nggak pernah ada sistem yang berlaku nasional yang menguntungkan pencipta, distribusi, dan lain-lain," sambungnya.
"Jadi menurut saya sih dengan keadaan sekarang hari ini, yang dibutuhkan itu bukan cuman Undang-Undang, tetapi political will dan adanya integrity dari orang-orang yang menjalankan," tutup Panji.
(Basuki Rachmat)
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News