Sejarawan Betawi Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe (2001)menceritakan ihwal hiruk-pikuk masyarakat Betawi di masa lampau ketika musim haji tiba. Ongkos yang mahal dan lamanya perjalanan dengan kapal layar membuat seorang haji mesti diperlakukan sedemikian rupa sebelum dilepas ke Tanah Suci.
Sebut saja, tahlil, selamatan, atau semacamnya dilakukan selama 40 hari berturut-turut sejak keberangkatan.
"Bahkan, di daerah pinggiran masih banyak orang yang melepas haji dengan (menyalakan) petasan," tulis Alwi Shahab.
Petasan, bukan sekadar untuk bunyi-bunyian. Bagi mereka, keberadaannya menandakan status sosial. Semakin banyak petasan yang dibakar, makin kesohor orang yang akan pergi haji.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Sampai pada waktu itu ada pameo yang sering diucapkan, 'Hebat, Bapak ini, memasang petasan hingga tiga (mobil) jip," tulis dia.
Setelah diantar dengan seucap azan dan ikamah, calon haji baru direlakan menempuh perjalanan sesuai dengan prosedur yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Naik haji dengan kapal laut uap baru dimulai pada 1920. Bahkan, dengan kapal ini pun pergi haji perlu waktu sampai tiga-empat bulan baru kembali ke Tanah Air.
Ketika pulang ke Indonesia, seorang haji akan diserbu para tamu. Mereka antre meminta seteguk air zamzam, juga memohon untuk didoakan. Setibanya di kediaman, tak ada yang boleh dilakukan oleh orang yang telah tuntas menunaikan rukun Islam ke lima itu, selain memasang muka senyum dan setengah berbaring di hamparan kasur dan permadani ruang tamu.
"Kecuali mandi, buang air, dan salat, selama 40 hari mereka tidak diperbolehkan meninggalkan tempat itu," tulis Alwi.
Begitu istimewanya haji di mata orang-orang Betawi. Sampai di langgar, musala, atau dari ucap seorang ibu yang tengah menimang anaknya dikenal senandung, "Ya Allah Ya Rabbi, minta rezeki biar lebih, biar bisa pegi haji, ziarah ke kuburan Nabi."
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SBH)
