Musyawarah yang dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori, ini digelar pada Selasa, 28 Mei 2024, secara daring dan luring.
“Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa,” demikian dikutip dari laman Kementerian Agama (Kemenag) RI, Kamis, 30 Mei 2024.
Baca juga:Calon Haji dari Bali Masuk AHES, 28 Orang Tertunda ke Tanah Suci |
Keputusan ini diambil berdasarkan sejumlah pertimbangan, salah satunya syarat ibadah haji adalah istitha’ah atau memiliki kemampuan dalam berbagai aspek. Mulai dari mampu secara materi, fisik, maupun mampu menghadirkan rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Syarat istitha'ah itu telah diatur dengan oleh otoritas lembaga pelaksana ibadah haji, baik pemerintah atau negara yang memberangkatkan jemaah maupun pemerintah yang menjadi penguasa wilayah sebagai lokus pelaksanaan ibadah haji. Contohnya, pembatasan kuota haji.
Pertimbangan kedua, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji indonesia yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia dan visa haji mujamalah atau haji furoda.
Baca juga:Isak Tangis Warnai Keberangkatan Jemaah Haji Asal Sikka di Bandara Frans Seda Maumere |
Ketiga, banyak oknum memanfaatkan situasi antrean panjang ibadah haji dengan melakukan penawaran haji menggunakan visa non haji. Seperti dengan visa ziarah multiple, visa ummal (pekerja), visa turis, visa umrah, dan lainnya. Ini adalah praktik haji non prosedural.
Selanjutnya, sejumlah masyarakat menganggap haji non prosedural menjadi solusi supaya tidak perlu menunggu antrean haji yang cukup lama. Sayangnya, masyarakat tidak mempertimbangkan berbagai akibat dari haji non prosedural.
“Mereka tidak memahami regulasi, tidak mengetahui hak-haknya, dan tidak mengutamakan sisi perlindungan sebagai WNI di luar negeri. Faktor itu sering tidak terinformasikan dan tidak dipertimbangkan masyarakat secara matang sebelum memilih haji non prosedural,” jelas laman Kemenag RI.
Baca juga:Tidak Punya Visa Haji, 24 WNI Ditangkap Polisi Arab Saudi |
Pertimbangan terakhir, keberadaan jemaah haji non prosedural menjadi persoalan dalam penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya. Kehadiran mereka di Tanah Suci statusnya ilegal karena tidak tercatat sebagai jemaah.
Ketika jemaah haji non prosedural hadir di Padang Arafah untuk wukuf, mereka tidak memiliki kuota lokasi tempat atau maktab. Sehingga para jemaah haji non prosedural ini terkadang mengambil tenda maktab jemaah haji resmi.
“Pencaplokan tenda merupakan bentuk kezaliman kepada pihak lain dan tidak layak dilakukan hanya untuk egoisme pribadi dalam menunaikan ibadah,” lanjutnya.
Baca juga:Wapres Ingatkan Visa Ziarah Tak Bisa Digunakan untuk Haji |
Apabila jemaah haji non prosedural bermasalah secara hukum saat berada di Tanah Suci, pemerintah Indonesia juga akan terkena dampaknya. Pasalnya, mereka adalah Warga Negara Indonesia (WNI).
Jika disimpulkan, beribadah haji dengan visa non haji dianggap sah karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat dan rukun-rukun haji. Namun, hajinya dianggap cacat dan yang bersangkutan berdosa karena hal berikut ini:
- Melanggaraturan syari'at yang mewjibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian
- Praktik haji dengan visa non haji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa non haji bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural berpotensi membahayakan diri sendiri dan jemaah lain.
- Praktik haji ilegal mencaplok tempat yang menjadi hak untuk jemaah haji resmi. Mereka juga memperparah kepadatan jemaah di Armuzna maupun Makkah, yang borpotensi mempersempit ruang gerak jemaah haji resmi,
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(SUR)