FITNESS & HEALTH
Psikolog: Awereness Kesehatan Mental Kini Semakin Membaik
Yatin Suleha
Sabtu 17 Desember 2022 / 20:09
Jakarta: Isu kesehatan mental saat ini sudah bukan lagi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Tentunya ini berbeda dengan era 80 atau 90-an yang jika kita melihat, sebut saja opini Silvss via Quora yang menyebutkan bahwa era dulu itu mendapat didikan yang keras, sehingga menanamkan value untuk tidak mengeluh walaupun lelah baik secara fisik ataupun mental.
Sama halnya juga dengan pendapat Meliana Z, yang mengatakan bahwa gaya hidup (dulu) tidak setinggi dan se-wah sekarang. Dengan belum hadirnya media sosial, orang jadi tidak terlalu terpacu untuk menjadi crazy rich. Jadi tingkat stres juga rendah.
Hal ini juga diamini oleh Dyah Ayu Kusumawardani, M.Psi, Psikolog, selaku psikolog klinis dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta. Menurut wanita cantik ini, saat ini isu tentang kesehatan mental sudah dipahami lebih meningkat jauh dibandingkan dengan generasi sebelumnya, terutama pemahaman tentang isu kesehatan mental pada anak-anak muda dan milenial.
Psikolog Dyah Ayu mengatakan bahwa terdapat ciri-ciri seseorang yang sebenarnya ia memiliki isu kesehatan mental. Beberapa di antaranya adalah:
- Mudah marah
- Mudah menangis
- Mudah stres
- Merasa stuck (tidak ke mana-mana, tidak bergerak, terperangkap)
- Merasa apa pun yang dilakukan merasa ada blocking di dalam dirinya (biasanya dalam karier)
"Dia (seseorang) grow up seperti apa, perilakunya seperti apa. Dia yang paling tahu, kita enggak tahu. Nah, saat dia mulai merasa ada emosi yang sebelumnya dia bisa kendalikan dan ini sudah enggak bisa dikendalikan, nah itu sudah jadi alert (ciri untuk menemui psikolog)," beber Dyah Ayu.
Ini dalam pandangan Dyah Ayu juga termasuk trauma dalam pandemi covid-19. Pandemi yang berbeda di kacamata masing-masing orang. Ada yang terkena PHK karena perusahaannya bangkrut, ada yang mengalami stres akibat usahanya tidak berjalan lagi selama pandemi covid-19, sampai ada yang kehilangan orang tua dan sanak keluarga karena covid-19.
"Siapa pun yang sudah melewati masa pandemi covid-19, kita seperti melihat lautan trauma. Dan setiap orang melewati itu dari kacamatanya masing-masing. Ada yang benar-benar mengalami dampak luar biasa, ada yang biasa-biasa aja, ada yang enggak sadar itu bakal memengaruhi seperti apa di kemudian hari," jelas Dyah Ayu.

(Dyah Ayu Kusumawardani, M.Psi, Psikolog, psikolog klinis dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta. Foto: Dok. Istimewa)
Secara analogi mudah, jika luka di kulit tentu saja kamu dapat dengan mudah mendiagnosa serta mengobatinya. Membersihkan luka dan membubuhkan berbagai obat dan jika perlu antibiotik untuk mengobatinya. Bagaimana jika 'luka' yang terjadi tak kasat mata alias dalam sisi psikologi? Dan dapatkah hal ini juga turut memengaruhi fisik.
Misal, secara mudah kamu yang terlalu stres bisa jadi sakit kepala atau migrain. Atau terlalu cemas (misalnya saat akan mengikuti tes) merasa sakit perut dan berkeringat dingin.
Jawaban Dyah Ayu, ya bisa! "Ada namanya mind body connection. Benar-benar fisik memengaruhi tubuh. Tubuh memengaruhi fisik. Saya banyak banget menangani klien pasien, biasanya cemas terus larinya ke asam lambung. Terus misalnya dia cemas terus suka migrain atau suka deg-degan. Nah, kalau misalnya awal-awal dia begitu dan dia bisa mengatasi, sakit lambungnya hilang. Tapi kalau cemasnya terus menerus muncul jadilah penyakit beneran yang perlu medical diagnosis juga perlu bantuan medis juga," ungkap Dyah Ayu.
Dalam data global yang termasuk mental health issue yaitu perasaan stres, depresi, dan merasa kesepian. Dan menurut Psikolog Dyah Ayu orang yang paling banyak terkena isu mental health di Indonesia adalah di rentang usia 17-29 tahun dan masyarakat di atas usia 60 tahun.
"Depresinya meningkat lima sampai enam kali lipat dari sebelum pandemi. Dan itu angka yang tinggi sekali," tambah Psikolog Dyah Ayu.
Faktornya menurut Dyah Ayu sangat banyak dari penyakit itu sendiri, persepsi, pola perilaku, dengan ketidakpastian, dan cemas baik terhadap diri sendiri maupun keluarga. "Hal ini diperparah jika kita terkena covid atau orang yang kita sayangi terkena covid, apalagi sampai meninggal," jelas Dyah Ayu.
Selain itu juga perubahan pola hidup yang berbeda saat pandemi yaitu misalnya WFH dan pemakaian masker serta mencuci tangan beberapa kali agar tetap bersih, dipaparkan Dyah Ayu walau kecil namun tetap menjadi hal yang memengaruhi pola hidup. Termasuk juga isolasi mandiri.
"Periode karantina dan isolasi mandiri ini yang bisa mengarahkan seseorang merasa kesepian. Kalau kesepian, nah inilah yang mengarah pada suicidal thought (terlintasnya pemikiran akan bunuh diri)," ujar Dyah Ayu.
Ini juga menjadi concern pada seseorang yang sudah punya risiko gangguan mental sebelum pandemi. Ada banyak orang yang saat pandemi mesti terputus pengobatannya atau terapinya karena pandemi. Belakangan, baru berbagai cara pengobatan dan treatment dipermudah dengan jangkauan teknologi, misalnya Zoom atau telemedisin.

(Salah satu hal sederhana yang bisa kamu lakukan untuk membantu kesehatan mentalmu adalah dengan mendefinisikan diri sendiri melalu jurnal. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Tentu kita setuju banyak content creator atau berbagai konten yang mengajarkan banyak teknik mengurangi stres atau depresi. Namun pada kenyataannya, menurut Dyah Ayu, banyak orang tak melakukannya. Bahkan saat sudah bertemu psikolog pun ada juga yang masih belum bisa melakukannya dengan berbagai alasan.
Nah, untuk hal ini, Dyah Ayu memberikan tips untuk mengenali dan mengatasi isu kesehatan mental pada diri sendiri, antara lain:
Jika kamu merasa ada hal yang sangat mengganggu di pikiran kamu sampai kamu merasa tertekan dan tidak bisa melakukan hal lain untuk membantu kamu berpikir positif, ambilah buku, notes, atau jurnal dan tulis apa yang dirasakan. Ini sebagai bentuk mengenali diri sendiri atas apa saja masalah dan keluhan dari dalam diri kamu sendiri. Ini mempermudah kamu mencerna apa sih masalah sesungguhnya perlahan-lahan untuk kamu atasi.
Kenali jenis emosi. Menurut Dyah Ayu, hindari melabel semua perasaan dengan sebutan stres, melainkan sadari diri bahwa misalnya kamu sedang merasa kecewa, sedih, marah, sakit hati. "Penangannya berbeda-beda tergantung dari apa yang dirasakan. Kebiasaan melabelkan semua (emosi) dengan kata 'stres' itu jadi tidak spesifik dengan apa yang benar-benar kita rasakan," kata Dyah Ayu.
Kamu bisa melakukan relaksasi dan audio relaksasi sendiri terlebih dahulu saat kamu sedang mumet. Jika kamu sudah melakukan berbagai jerih payah tersebut dan masih tidak bisa, maka ini artinya kamu membutuhkan bantuan profesional misalnya ke psikolog, terapis, psikiater dan sebagainya.
Psikolog Dyah Ayu mengatakan bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. "Sebelum kita bisa take care lingkungan kita, pekerjaan kita, apa pun di kehidupan kita pertama yang harus kita take care adalah diri kita," beber Dyah Ayu.
"Bukan kita egois, kita mau jadi ibu yang baik, kita mau jadi anak yang baik, kita mau jadi karyawan yang baik, kita mau jadi bos yang baik, itu semua selalu mulainya dari diri sendiri. Dan mulainya dari mana? Kita memahami diri kita sendiri. Apa sih yang kita rasakan, apa sih goal kita," katanya.
Dan ia bilang mulai dari hal yang sederhana dan melatih mental untuk rileks. Karena menurutnya pikiran bekerja seperti otot. "Semakin kita gunakan, semakin kuat itu. Mulai dari diri kita. Selalu ada space (ruang) untuk kita melatih diri kita. Yang penting kita aware dengan pikiran dan perasaan kita," tips Dyah Ayu. Dengan begitu, menurut Ayu, output dari diri kita akan jelas lebih baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Sama halnya juga dengan pendapat Meliana Z, yang mengatakan bahwa gaya hidup (dulu) tidak setinggi dan se-wah sekarang. Dengan belum hadirnya media sosial, orang jadi tidak terlalu terpacu untuk menjadi crazy rich. Jadi tingkat stres juga rendah.
Hal ini juga diamini oleh Dyah Ayu Kusumawardani, M.Psi, Psikolog, selaku psikolog klinis dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta. Menurut wanita cantik ini, saat ini isu tentang kesehatan mental sudah dipahami lebih meningkat jauh dibandingkan dengan generasi sebelumnya, terutama pemahaman tentang isu kesehatan mental pada anak-anak muda dan milenial.
Ciri seseorang memiliki isu kesehatan mental dan kapan harus ke psikolog?
Psikolog Dyah Ayu mengatakan bahwa terdapat ciri-ciri seseorang yang sebenarnya ia memiliki isu kesehatan mental. Beberapa di antaranya adalah:
- Mudah marah
- Mudah menangis
- Mudah stres
- Merasa stuck (tidak ke mana-mana, tidak bergerak, terperangkap)
- Merasa apa pun yang dilakukan merasa ada blocking di dalam dirinya (biasanya dalam karier)
"Dia (seseorang) grow up seperti apa, perilakunya seperti apa. Dia yang paling tahu, kita enggak tahu. Nah, saat dia mulai merasa ada emosi yang sebelumnya dia bisa kendalikan dan ini sudah enggak bisa dikendalikan, nah itu sudah jadi alert (ciri untuk menemui psikolog)," beber Dyah Ayu.
Ini dalam pandangan Dyah Ayu juga termasuk trauma dalam pandemi covid-19. Pandemi yang berbeda di kacamata masing-masing orang. Ada yang terkena PHK karena perusahaannya bangkrut, ada yang mengalami stres akibat usahanya tidak berjalan lagi selama pandemi covid-19, sampai ada yang kehilangan orang tua dan sanak keluarga karena covid-19.
"Siapa pun yang sudah melewati masa pandemi covid-19, kita seperti melihat lautan trauma. Dan setiap orang melewati itu dari kacamatanya masing-masing. Ada yang benar-benar mengalami dampak luar biasa, ada yang biasa-biasa aja, ada yang enggak sadar itu bakal memengaruhi seperti apa di kemudian hari," jelas Dyah Ayu.

(Dyah Ayu Kusumawardani, M.Psi, Psikolog, psikolog klinis dari Rumah Sakit Royal Taruma, Jakarta. Foto: Dok. Istimewa)
Apakah isu kesehatan mental dapat berpengaruh secara fisik?
Secara analogi mudah, jika luka di kulit tentu saja kamu dapat dengan mudah mendiagnosa serta mengobatinya. Membersihkan luka dan membubuhkan berbagai obat dan jika perlu antibiotik untuk mengobatinya. Bagaimana jika 'luka' yang terjadi tak kasat mata alias dalam sisi psikologi? Dan dapatkah hal ini juga turut memengaruhi fisik.
Misal, secara mudah kamu yang terlalu stres bisa jadi sakit kepala atau migrain. Atau terlalu cemas (misalnya saat akan mengikuti tes) merasa sakit perut dan berkeringat dingin.
Jawaban Dyah Ayu, ya bisa! "Ada namanya mind body connection. Benar-benar fisik memengaruhi tubuh. Tubuh memengaruhi fisik. Saya banyak banget menangani klien pasien, biasanya cemas terus larinya ke asam lambung. Terus misalnya dia cemas terus suka migrain atau suka deg-degan. Nah, kalau misalnya awal-awal dia begitu dan dia bisa mengatasi, sakit lambungnya hilang. Tapi kalau cemasnya terus menerus muncul jadilah penyakit beneran yang perlu medical diagnosis juga perlu bantuan medis juga," ungkap Dyah Ayu.
Usia 17-29 tahun yang paling terkena isu mental health
Dalam data global yang termasuk mental health issue yaitu perasaan stres, depresi, dan merasa kesepian. Dan menurut Psikolog Dyah Ayu orang yang paling banyak terkena isu mental health di Indonesia adalah di rentang usia 17-29 tahun dan masyarakat di atas usia 60 tahun.
"Depresinya meningkat lima sampai enam kali lipat dari sebelum pandemi. Dan itu angka yang tinggi sekali," tambah Psikolog Dyah Ayu.
Faktornya menurut Dyah Ayu sangat banyak dari penyakit itu sendiri, persepsi, pola perilaku, dengan ketidakpastian, dan cemas baik terhadap diri sendiri maupun keluarga. "Hal ini diperparah jika kita terkena covid atau orang yang kita sayangi terkena covid, apalagi sampai meninggal," jelas Dyah Ayu.
Selain itu juga perubahan pola hidup yang berbeda saat pandemi yaitu misalnya WFH dan pemakaian masker serta mencuci tangan beberapa kali agar tetap bersih, dipaparkan Dyah Ayu walau kecil namun tetap menjadi hal yang memengaruhi pola hidup. Termasuk juga isolasi mandiri.
"Periode karantina dan isolasi mandiri ini yang bisa mengarahkan seseorang merasa kesepian. Kalau kesepian, nah inilah yang mengarah pada suicidal thought (terlintasnya pemikiran akan bunuh diri)," ujar Dyah Ayu.
Ini juga menjadi concern pada seseorang yang sudah punya risiko gangguan mental sebelum pandemi. Ada banyak orang yang saat pandemi mesti terputus pengobatannya atau terapinya karena pandemi. Belakangan, baru berbagai cara pengobatan dan treatment dipermudah dengan jangkauan teknologi, misalnya Zoom atau telemedisin.

(Salah satu hal sederhana yang bisa kamu lakukan untuk membantu kesehatan mentalmu adalah dengan mendefinisikan diri sendiri melalu jurnal. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Tips membantu diri sendiri mengatasi isu kesehatan mental
Tentu kita setuju banyak content creator atau berbagai konten yang mengajarkan banyak teknik mengurangi stres atau depresi. Namun pada kenyataannya, menurut Dyah Ayu, banyak orang tak melakukannya. Bahkan saat sudah bertemu psikolog pun ada juga yang masih belum bisa melakukannya dengan berbagai alasan.
Nah, untuk hal ini, Dyah Ayu memberikan tips untuk mengenali dan mengatasi isu kesehatan mental pada diri sendiri, antara lain:
1. Mendefinisikan diri dan masalah
Jika kamu merasa ada hal yang sangat mengganggu di pikiran kamu sampai kamu merasa tertekan dan tidak bisa melakukan hal lain untuk membantu kamu berpikir positif, ambilah buku, notes, atau jurnal dan tulis apa yang dirasakan. Ini sebagai bentuk mengenali diri sendiri atas apa saja masalah dan keluhan dari dalam diri kamu sendiri. Ini mempermudah kamu mencerna apa sih masalah sesungguhnya perlahan-lahan untuk kamu atasi.
2. Pahami jenis emosi
Kenali jenis emosi. Menurut Dyah Ayu, hindari melabel semua perasaan dengan sebutan stres, melainkan sadari diri bahwa misalnya kamu sedang merasa kecewa, sedih, marah, sakit hati. "Penangannya berbeda-beda tergantung dari apa yang dirasakan. Kebiasaan melabelkan semua (emosi) dengan kata 'stres' itu jadi tidak spesifik dengan apa yang benar-benar kita rasakan," kata Dyah Ayu.
3. Temui psikolog jika...
Kamu bisa melakukan relaksasi dan audio relaksasi sendiri terlebih dahulu saat kamu sedang mumet. Jika kamu sudah melakukan berbagai jerih payah tersebut dan masih tidak bisa, maka ini artinya kamu membutuhkan bantuan profesional misalnya ke psikolog, terapis, psikiater dan sebagainya.
Jadi, apa yang paling penting dari diri kita?
Psikolog Dyah Ayu mengatakan bahwa semua berawal dari diri kita sendiri. "Sebelum kita bisa take care lingkungan kita, pekerjaan kita, apa pun di kehidupan kita pertama yang harus kita take care adalah diri kita," beber Dyah Ayu.
"Bukan kita egois, kita mau jadi ibu yang baik, kita mau jadi anak yang baik, kita mau jadi karyawan yang baik, kita mau jadi bos yang baik, itu semua selalu mulainya dari diri sendiri. Dan mulainya dari mana? Kita memahami diri kita sendiri. Apa sih yang kita rasakan, apa sih goal kita," katanya.
Dan ia bilang mulai dari hal yang sederhana dan melatih mental untuk rileks. Karena menurutnya pikiran bekerja seperti otot. "Semakin kita gunakan, semakin kuat itu. Mulai dari diri kita. Selalu ada space (ruang) untuk kita melatih diri kita. Yang penting kita aware dengan pikiran dan perasaan kita," tips Dyah Ayu. Dengan begitu, menurut Ayu, output dari diri kita akan jelas lebih baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)