FITNESS & HEALTH
Memilih Diam Saat Kesal, 5 Emosional Masa Kecil Bisa Jadi Penyebabnya
Mia Vale
Senin 07 Juli 2025 / 12:05
Jakarta: Sering kali, kita melihat orang yang memilih untuk diam saat kesal, daripada menyuarakan perasaan mereka.
Dan kamu mungkin salah satunya. Bukan karena tidak punya apa-apa untuk dikatakan, tapi karena mereka telah belajar sejak usia dini bahwa diam adalah respons terbaik dalam situasi yang menegangkan.
Ya, beberapa kebiasaan emosional yang berkembang di masa kanak-kanak mungkin menyebabkan seseorang memilih diam daripada konfrontasi atau ekspresi. Jadi, emosi apa saja yang diajari?
Baca juga: Heboh Group Fantasi Sedarah, Jangan Abaikan Dampak Psikologis pada Anak yang Jadi Korban
Mungki kamu waktu kecil pernah disuruh berhenti menangis atau bersikap berani kala dalam situasi sulit. Bila ya, kamu tidak sendirian! Banyak dari kita tumbuh dalam keluarga di mana mengekspresikan emosi dianggap sebagai tanda kelemahan.
Kita belajar untuk bersikap berani, menahan air mata, dan menekan perasaan kita, berpikir bahwa itulah cara yang tepat untuk menangani situasi sulit.
Seiring waktu, ini menjadi kebiasaan yang mengakar yang kita bawa hingga dewasa. Sayangnya menurut laman GE Editing, penekanan emosi ini dapat menyebabkan preferensi untuk diam ketika kita kesal.
Kita telah dikondisikan untuk percaya bahwa mengekspresikan perasaan kita berarti memperlihatkan kerentanan, jadi kita memilih diam sebagai gantinya. Ingat, tidak apa-apa berbicara saat kamu kesal. Tidak apa-apa untuk memberi tahu orang lain tentang perasaanmu.
.jpg)
(Orang bisa memilih untuk diam saat kesal atau marah karena berbagai alasan, termasuk keinginan untuk menenangkan diri sampai menghindari konflik. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Umumnya, anak-anak memiliki perasaan lebih peka. Mereka cepat memahami dan beradaptasi dengan iklim emosional di sekitarnya.
Jika hal itu ditanggapi dengan reaksi negatif, entah itu penolakan, ejekan, atau hukuman, mereka mulai mengaitkan tindakan berbicara dengan konsekuensi negatif.
Akibatnya, banyak anak yang tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih suka menahan ketidaknyamanan emosional dalam diam daripada mengambil risiko menimbulkan kesedihan atau menarik perhatian negatif dengan berbicara.
Ketakutan menjadi beban juga menyusup ke dalam kehidupan dewasa kita. Perasaan khawatir masalah kita akan terlalu berat untuk ditangani orang lain. Kita takut menyuarakan kekhawatiran dan tidak enak akan dianggap sebagai keluhan atau mencari perhatian.
Jadi, kita memilih diam. Kita memendam perasaan, menggertakkan gigi, dan terus berjuang. Tetapi masalahnya, berbagi perasaan bukanlah beban.
Itu bagian dari menjadi manusia dan menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain. Ingat, tidak apa-apa untuk bersandar pada orang lain saat kamu kesal. Bagaimanapun, kita makhluk sosial, bagikan perasaanmu. Kamu bukan beban, kamu manusia.
Bagi sebagian keluarga, konflik dianggap masalah besar. Sehingga sering menghindari pembicaraan yang tidak menyenangkan dengan segala cara dan keharmonisan lebih diutamakan daripada kejujuran. Dan sebagai orang dewasa, ini dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk menghindar dari diskusi yang sulit.
Kita takut kalau mengungkapkan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan bisa menyebabkan pertengkaran atau ketegangan. Padahal, mengekspresikan perasaan bukan berarti harus menimbulkan masalah.
Ini tentang berkomunikasi dengan jujur dan tegas tanpa bersikap agresif atau konfrontatif. Konflik adalah bagian dari kehidupan, dan cara kita menanganinya itu yang terpenting. Jadi, bicaralah, ungkapkan perasaanmu.
Faktanya, kebiasaan menyenangkan orang lain bisa terbawa sampai dewasa, dan kebanyakan itu wujud keengganan untuk berbicara saat kita kesal. Kita khawatir akan membuat orang lain kesal atau mengganggu kedamaian. Ingat, kamu tidak bisa menyenangkan semua orang sepanjang waktu. Dan kamu tidak perlu melakukannya. Jangan takut untuk berbicara saat sedang kesal.
Baca juga: 3 Zodiak Paling Sensitif Terhadap Orang 'Negatif', Apakah Kamu Salah Satunya?
Banyak dari kita memilih diam daripada berekspresi saat kesal. Ini adalah kebiasaan yang sudah mengakar kuat yang kita peroleh dari pengalaman masa kecil.
Dan mengenali pola adalah langkah pertama menuju perubahan. Setelah mengidentifikasi pola-polanya, kamu dapat mulai secara sadar berupaya untuk berubah. Ingat, tidak apa-apa untuk mengungkapkan perasaan kamu. Tidak apa-apa untuk memberi tahu orang lain saat kamu kesal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Dan kamu mungkin salah satunya. Bukan karena tidak punya apa-apa untuk dikatakan, tapi karena mereka telah belajar sejak usia dini bahwa diam adalah respons terbaik dalam situasi yang menegangkan.
Ya, beberapa kebiasaan emosional yang berkembang di masa kanak-kanak mungkin menyebabkan seseorang memilih diam daripada konfrontasi atau ekspresi. Jadi, emosi apa saja yang diajari?
Baca juga: Heboh Group Fantasi Sedarah, Jangan Abaikan Dampak Psikologis pada Anak yang Jadi Korban
"Berperasaan" pertanda lemah
Mungki kamu waktu kecil pernah disuruh berhenti menangis atau bersikap berani kala dalam situasi sulit. Bila ya, kamu tidak sendirian! Banyak dari kita tumbuh dalam keluarga di mana mengekspresikan emosi dianggap sebagai tanda kelemahan.
Kita belajar untuk bersikap berani, menahan air mata, dan menekan perasaan kita, berpikir bahwa itulah cara yang tepat untuk menangani situasi sulit.
Seiring waktu, ini menjadi kebiasaan yang mengakar yang kita bawa hingga dewasa. Sayangnya menurut laman GE Editing, penekanan emosi ini dapat menyebabkan preferensi untuk diam ketika kita kesal.
Kita telah dikondisikan untuk percaya bahwa mengekspresikan perasaan kita berarti memperlihatkan kerentanan, jadi kita memilih diam sebagai gantinya. Ingat, tidak apa-apa berbicara saat kamu kesal. Tidak apa-apa untuk memberi tahu orang lain tentang perasaanmu.
Reaksi negatif terhadap ekspresi emosi
.jpg)
(Orang bisa memilih untuk diam saat kesal atau marah karena berbagai alasan, termasuk keinginan untuk menenangkan diri sampai menghindari konflik. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Umumnya, anak-anak memiliki perasaan lebih peka. Mereka cepat memahami dan beradaptasi dengan iklim emosional di sekitarnya.
Jika hal itu ditanggapi dengan reaksi negatif, entah itu penolakan, ejekan, atau hukuman, mereka mulai mengaitkan tindakan berbicara dengan konsekuensi negatif.
Akibatnya, banyak anak yang tumbuh menjadi orang dewasa yang lebih suka menahan ketidaknyamanan emosional dalam diam daripada mengambil risiko menimbulkan kesedihan atau menarik perhatian negatif dengan berbicara.
Takut membebani orang lain
Ketakutan menjadi beban juga menyusup ke dalam kehidupan dewasa kita. Perasaan khawatir masalah kita akan terlalu berat untuk ditangani orang lain. Kita takut menyuarakan kekhawatiran dan tidak enak akan dianggap sebagai keluhan atau mencari perhatian.
Jadi, kita memilih diam. Kita memendam perasaan, menggertakkan gigi, dan terus berjuang. Tetapi masalahnya, berbagi perasaan bukanlah beban.
Itu bagian dari menjadi manusia dan menjalin hubungan yang bermakna dengan orang lain. Ingat, tidak apa-apa untuk bersandar pada orang lain saat kamu kesal. Bagaimanapun, kita makhluk sosial, bagikan perasaanmu. Kamu bukan beban, kamu manusia.
Terbiasa menghindari konflik
Bagi sebagian keluarga, konflik dianggap masalah besar. Sehingga sering menghindari pembicaraan yang tidak menyenangkan dengan segala cara dan keharmonisan lebih diutamakan daripada kejujuran. Dan sebagai orang dewasa, ini dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk menghindar dari diskusi yang sulit.
Kita takut kalau mengungkapkan ketidakpuasan atau ketidaknyamanan bisa menyebabkan pertengkaran atau ketegangan. Padahal, mengekspresikan perasaan bukan berarti harus menimbulkan masalah.
Ini tentang berkomunikasi dengan jujur dan tegas tanpa bersikap agresif atau konfrontatif. Konflik adalah bagian dari kehidupan, dan cara kita menanganinya itu yang terpenting. Jadi, bicaralah, ungkapkan perasaanmu.
Selalu menyenangkan orang lain
Faktanya, kebiasaan menyenangkan orang lain bisa terbawa sampai dewasa, dan kebanyakan itu wujud keengganan untuk berbicara saat kita kesal. Kita khawatir akan membuat orang lain kesal atau mengganggu kedamaian. Ingat, kamu tidak bisa menyenangkan semua orang sepanjang waktu. Dan kamu tidak perlu melakukannya. Jangan takut untuk berbicara saat sedang kesal.
Baca juga: 3 Zodiak Paling Sensitif Terhadap Orang 'Negatif', Apakah Kamu Salah Satunya?
Banyak dari kita memilih diam daripada berekspresi saat kesal. Ini adalah kebiasaan yang sudah mengakar kuat yang kita peroleh dari pengalaman masa kecil.
Dan mengenali pola adalah langkah pertama menuju perubahan. Setelah mengidentifikasi pola-polanya, kamu dapat mulai secara sadar berupaya untuk berubah. Ingat, tidak apa-apa untuk mengungkapkan perasaan kamu. Tidak apa-apa untuk memberi tahu orang lain saat kamu kesal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)