FITNESS & HEALTH
Toxic Masculinity, Ketika Tekanan untuk Jadi 'Pria Sejati' Berlaku
Mia Vale
Kamis 29 Agustus 2024 / 11:16
Jakarta: Bagi kaum pria, mungkin perkataan atau ungkapan, kalau anak laki-laki enggak boleh menangis, itu sudah biasa. Bisa saja maksud dari kalimat tersebut ditujukan untuk memberi energi positif bahwa laki-laki jangan lemah.
Tapi ternyata, seringnya penggunaan frasa ini dapat menyebabkan beberapa orang salah mengartikan, sehingga menjadi toxic masculinity. Pada dasarnya, toxic masculinity merupakan suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu.
Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya kaum adamp harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dominasi, dan pantang mengekspresikan emosi. Jika laki-laki tidak cukup menunjukkan ciri-ciri tersebut, mungkin tidak akan menjadi 'pria sejati'.
Namun, definisi pasti tentang toxic masculinity telah berkembang seiring berjalannya waktu. Sebuah studi di Journal of School of Psychology menggunakan definisi berikut untuk menjelaskan toxic masculinity, yakni “konstelasi sifat-sifat maskulin yang regresif secara sosial yang berfungsi untuk mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homofobia, dan kekerasan yang tidak disengaja.”
Dalam masyarakat modern, orang sering menggunakan istilah maskulinitas beracun untuk menggambarkan sifat-sifat maskulin yang berlebihan yang diterima atau diagungkan secara luas di banyak budaya.
Banyak orang kini memandang maskulinitas dan peran gender yang diciptakannya sebagai kombinasi perilaku yang dibentuk oleh beberapa faktor, termasuk, usia, kelas, budaya, jenis kelamin, agama. Oleh karena itu, definisi maskulinitas dapat mempunyai berbagai bentuk.
Mengutip laman Medical News Today, apa yang dipandang oleh suatu masyarakat atau bahkan subkultur sebagai maskulin, mungkin ditolak oleh masyarakat atau subkultur lain. Maskulinitas kemudian menjadi sebuah gagasan yang berubah-ubah, bukan sekadar seperangkat aturan yang kaku dan sempit.
.jpg)
(Jika kamu terjebak dalam toxic masculinity hingga merasa kualitas hidupmu sampai terganggu konsultasikan dengan psikolog. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Penekanan yang berlebihan pada sifat-sifat ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan pada seseorang yang mencoba memenuhi harapan tersebut. Beberapa contohnya meliputi:
Ciri di atas menggambarkan bagaimana sebagian orang memandang emosi atau kerentanan sebagai hal yang 'tidak jantan'. Contoh lain seperti, “Anak laki-laki akan menjadi laki-laki.” Ungkapan ini menganjurkan perilaku ceroboh, agresif, atau merusak pada laki-laki muda, daripada mengajari mereka tentang tanggung jawab dan mengakui kesalahan mereka.
Ekspresi seperti ini menyoroti bagaimana budaya dan masyarakat secara tradisional memandang laki-laki. Namun, pandangan-pandangan ini dapat merugikan dan menghiasi gagasan tentang maskulinitas, sehingga mengarah pada sikap yang lebih beracun terhadap perilaku-perilaku tersebut.
Toxic masculinity dapat memengaruhi kesehatan mental pria yang tidak memenuhi klaim tersebut tetapi merasakan tekanan untuk melakukannya. American Psychological Association mencatat bahayanya mencoba mengikuti sifat-sifat maskulin yang berlebihan ini.
Laki-laki dan anak laki-laki yang dipaksa untuk berpegang teguh pada sifat-sifat ini sering kali mengalami dampak buruk dan mungkin menghadapi masalah, seperti: depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, sampai penyalahgunaan zat.
Selain itu, karena merasa emosional atau berbicara secara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional maskulin, terdapat risiko tambahan di mana pria yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin tidak mencari perawatan profesional atau bahkan membicarakan perjuangan mereka dengan teman atau keluarga.
Definisi toxic masculinity berpusat pada versi berlebihan dari sifat-sifat maskulin tradisional yang sekarang sudah kuno. Gagasan mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki memaksa sebagian orang untuk menerima pandangan yang sangat sempit tentang apa artinya menjadi maskulin, yang dapat berbahaya bagi mereka yang tidak dapat mematuhi standar-standar tersebut.
Beberapa pria mungkin ‘memerankan’ beberapa perilaku ini saat mereka berusaha menjadi lebih ‘maskulin’. Hal ini dapat mengarah pada perilaku yang patut dipertanyakan dan berbahaya.
Ingat, setiap orang harus bercita-cita untuk menemukan definisi yang sehat tentang individualitas mereka sendiri dan berupaya mencapainya. Memberikan ruang bagi orang lain untuk secara terbuka mendiskusikan perasaan mereka mengenai isu tersebut dapat membantu orang-orang mengubah definisi mereka sendiri.
Jika kamu terjebak dalam toxic masculinity hingga merasa kualitas hidupmu sampai terganggu atau sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih dengan kaum wanita, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapatkan saran yang tepat dan bimbingan guna mengubah sifat buruk ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Tapi ternyata, seringnya penggunaan frasa ini dapat menyebabkan beberapa orang salah mengartikan, sehingga menjadi toxic masculinity. Pada dasarnya, toxic masculinity merupakan suatu tekanan budaya bagi kaum pria untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu.
Istilah ini umumnya dikaitkan dengan nilai-nilai yang dianggap harus ada di dalam diri seorang pria, misalnya kaum adamp harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dominasi, dan pantang mengekspresikan emosi. Jika laki-laki tidak cukup menunjukkan ciri-ciri tersebut, mungkin tidak akan menjadi 'pria sejati'.
Namun, definisi pasti tentang toxic masculinity telah berkembang seiring berjalannya waktu. Sebuah studi di Journal of School of Psychology menggunakan definisi berikut untuk menjelaskan toxic masculinity, yakni “konstelasi sifat-sifat maskulin yang regresif secara sosial yang berfungsi untuk mendorong dominasi, devaluasi perempuan, homofobia, dan kekerasan yang tidak disengaja.”
Dalam masyarakat modern, orang sering menggunakan istilah maskulinitas beracun untuk menggambarkan sifat-sifat maskulin yang berlebihan yang diterima atau diagungkan secara luas di banyak budaya.
Terbentuknya maskulinitas
Banyak orang kini memandang maskulinitas dan peran gender yang diciptakannya sebagai kombinasi perilaku yang dibentuk oleh beberapa faktor, termasuk, usia, kelas, budaya, jenis kelamin, agama. Oleh karena itu, definisi maskulinitas dapat mempunyai berbagai bentuk.
Mengutip laman Medical News Today, apa yang dipandang oleh suatu masyarakat atau bahkan subkultur sebagai maskulin, mungkin ditolak oleh masyarakat atau subkultur lain. Maskulinitas kemudian menjadi sebuah gagasan yang berubah-ubah, bukan sekadar seperangkat aturan yang kaku dan sempit.
.jpg)
(Jika kamu terjebak dalam toxic masculinity hingga merasa kualitas hidupmu sampai terganggu konsultasikan dengan psikolog. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
Penekanan yang berlebihan pada sifat-sifat ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan yang merugikan pada seseorang yang mencoba memenuhi harapan tersebut. Beberapa contohnya meliputi:
- - Berperilaku kasar dan agresif, serta mendominasi orang lain, khususnya wanita
- - Tidak menunjukkan emosi atau menekan emosi
- - Hiper-kompetitif
- - Perlu mendominasi atau mengendalikan orang lain
- - Tendensi untuk bersikap misoginis (bentuk diskriminasi terhadap gender perempuan yang melibatkan kebencian)
- - Empati rendah
- - Tidak perlu menerima bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapa pun
- - Cenderung melakukan aktivitas seksual dengan kasar
Ciri di atas menggambarkan bagaimana sebagian orang memandang emosi atau kerentanan sebagai hal yang 'tidak jantan'. Contoh lain seperti, “Anak laki-laki akan menjadi laki-laki.” Ungkapan ini menganjurkan perilaku ceroboh, agresif, atau merusak pada laki-laki muda, daripada mengajari mereka tentang tanggung jawab dan mengakui kesalahan mereka.
Ekspresi seperti ini menyoroti bagaimana budaya dan masyarakat secara tradisional memandang laki-laki. Namun, pandangan-pandangan ini dapat merugikan dan menghiasi gagasan tentang maskulinitas, sehingga mengarah pada sikap yang lebih beracun terhadap perilaku-perilaku tersebut.
Bisa memengaruhi kesehatan mental
Toxic masculinity dapat memengaruhi kesehatan mental pria yang tidak memenuhi klaim tersebut tetapi merasakan tekanan untuk melakukannya. American Psychological Association mencatat bahayanya mencoba mengikuti sifat-sifat maskulin yang berlebihan ini.
Laki-laki dan anak laki-laki yang dipaksa untuk berpegang teguh pada sifat-sifat ini sering kali mengalami dampak buruk dan mungkin menghadapi masalah, seperti: depresi, masalah citra tubuh, fungsi sosial yang buruk, sampai penyalahgunaan zat.
Selain itu, karena merasa emosional atau berbicara secara terbuka tentang perasaan bertentangan dengan nilai-nilai tradisional maskulin, terdapat risiko tambahan di mana pria yang mengalami masalah kesehatan mental mungkin tidak mencari perawatan profesional atau bahkan membicarakan perjuangan mereka dengan teman atau keluarga.
Definisi toxic masculinity berpusat pada versi berlebihan dari sifat-sifat maskulin tradisional yang sekarang sudah kuno. Gagasan mengenai bagaimana seharusnya seorang laki-laki memaksa sebagian orang untuk menerima pandangan yang sangat sempit tentang apa artinya menjadi maskulin, yang dapat berbahaya bagi mereka yang tidak dapat mematuhi standar-standar tersebut.
Beberapa pria mungkin ‘memerankan’ beberapa perilaku ini saat mereka berusaha menjadi lebih ‘maskulin’. Hal ini dapat mengarah pada perilaku yang patut dipertanyakan dan berbahaya.
Ingat, setiap orang harus bercita-cita untuk menemukan definisi yang sehat tentang individualitas mereka sendiri dan berupaya mencapainya. Memberikan ruang bagi orang lain untuk secara terbuka mendiskusikan perasaan mereka mengenai isu tersebut dapat membantu orang-orang mengubah definisi mereka sendiri.
Jika kamu terjebak dalam toxic masculinity hingga merasa kualitas hidupmu sampai terganggu atau sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih dengan kaum wanita, sebaiknya berkonsultasi dengan psikolog untuk mendapatkan saran yang tepat dan bimbingan guna mengubah sifat buruk ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)