FITNESS & HEALTH
5 Alasan Mengapa Seseorang Ragu untuk Pergi ke Psikolog
Raka Lestari
Selasa 03 Agustus 2021 / 18:10
Jakarta: Tidak hanya kesehatan fisik, kesehatan mental juga menjadi hal yang perlu diperhatikan. Namun sayangnya, kesadaran akan kesehatan mental masih belum terlalu menjadi perhatian utama.
Banyak orang yang mungkin ragu untuk mengunjungi psikolog jika mengalami gangguan kesehatan mental. Lalu, apa saja hambatan-hambatan yang membuat seseorang ragu untuk pergi ke psikolog?
Sejak lama, masyarakat Indonesia menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu. Kebanyakan dari mereka tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain sebagai seseorang dengan perilaku yang menyimpang dari norma sosial.
Psikolog dari aplikasi konseling online Riliv, Della Nova Nusantara, M.Psi., Psikolog, mengatakan, gangguan kesehatan mental itu bukanlah hal yang tabu, bukan pula aib, sama seperti saat fisik kita kalau sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat. Kita butuh treatment yang tepat sesuai dengan kebutuhannya saat itu, mungkin istirahat mungkin olahraga.
"Begitu juga dengan kesehatan mental diperlukan treatment yang tepat untuk menjaga kesehatannya," terang Della.
Meski mulai berkurang di kalangan milenial dan Gen Z, stigma sosial masih dapat ditemukan. Karena melepaskan pemikiran kolektif yang telah tertanam sejak lama itu bukan merupakan hal yang mudah.
Otomatis, anggapan bahwa gangguan mental itu tabu menandakan kesadaran orang Indonesia yang masih rendah tentang kesehatan mental. Biasanya, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang yang menyepelekan gangguan mental, karena tidak bisa dilihat secara gamblang layaknya penyakit fisik.
Kenyataannya, penyakit mental dan fisik sama-sama menimbulkan rasa sakit kepada penderitanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, penyakit mental lebih mungkin untuk mengancam nyawa seseorang.
Bagi beberapa orang, pergi ke psikolog adalah keputusan yang besar. Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, 'Apa aku terlalu berlebihan, ya?' dan 'Bagaimana kalau psikolog-nya tidak membantuku?'
Ketika kamu mulai meragukan dirimu dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, yakinlah bahwa mencoba untuk pergi ke psikolog itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Menemukan psikolog yang cocok memang butuh waktu, tetapi setidaknya kamu akan berada selangkah lebih dekat dengan mengetahui apa yang terjadi dalam dirimu agar dapat membaik.
Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), jumlah psikolog klinis yang ada saat ini adalah 3.232. Jumlah ini bisa dibilang sedikit apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 106,500 psikolog.
Apalagi jumlah tersebut terpusat di Pulau Jawa. Namun saat ini, ada banyak aplikasi konseling psikologi online bisa membantu masyarakat untuk mengakses layanan psikologi tanpa harus keluar rumah.
Selain keterbatasan akses psikolog, faktor biaya juga harus dipertimbangkan. BPJS kesehatan bisa memberikan akses psikolog di rumah sakit terdekat.
Jika kamu memiliki asuransi atau BPJS kesehatan, kamu bisa mencoba mencari tahu apakah rumah sakit terdekat kamu bisa menawarkan layanan psikolog yang ditanggung asuransi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(FIR)
Banyak orang yang mungkin ragu untuk mengunjungi psikolog jika mengalami gangguan kesehatan mental. Lalu, apa saja hambatan-hambatan yang membuat seseorang ragu untuk pergi ke psikolog?
1. Stigma sosial dalam masyarakat
Sejak lama, masyarakat Indonesia menganggap gangguan jiwa sebagai sesuatu yang tabu. Kebanyakan dari mereka tidak ingin menjadi bahan pembicaraan orang lain sebagai seseorang dengan perilaku yang menyimpang dari norma sosial.
Psikolog dari aplikasi konseling online Riliv, Della Nova Nusantara, M.Psi., Psikolog, mengatakan, gangguan kesehatan mental itu bukanlah hal yang tabu, bukan pula aib, sama seperti saat fisik kita kalau sedang terluka, capek, kadang butuh istirahat. Kita butuh treatment yang tepat sesuai dengan kebutuhannya saat itu, mungkin istirahat mungkin olahraga.
"Begitu juga dengan kesehatan mental diperlukan treatment yang tepat untuk menjaga kesehatannya," terang Della.
Meski mulai berkurang di kalangan milenial dan Gen Z, stigma sosial masih dapat ditemukan. Karena melepaskan pemikiran kolektif yang telah tertanam sejak lama itu bukan merupakan hal yang mudah.
2. Kurangnya pemahaman kesehatan mental
Otomatis, anggapan bahwa gangguan mental itu tabu menandakan kesadaran orang Indonesia yang masih rendah tentang kesehatan mental. Biasanya, hal ini ditunjukkan dengan orang-orang yang menyepelekan gangguan mental, karena tidak bisa dilihat secara gamblang layaknya penyakit fisik.
Kenyataannya, penyakit mental dan fisik sama-sama menimbulkan rasa sakit kepada penderitanya. Bahkan, dalam beberapa kasus, penyakit mental lebih mungkin untuk mengancam nyawa seseorang.
3. Ketakutan tersendiri
Bagi beberapa orang, pergi ke psikolog adalah keputusan yang besar. Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti, 'Apa aku terlalu berlebihan, ya?' dan 'Bagaimana kalau psikolog-nya tidak membantuku?'
Ketika kamu mulai meragukan dirimu dengan melontarkan pertanyaan seperti itu, yakinlah bahwa mencoba untuk pergi ke psikolog itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Menemukan psikolog yang cocok memang butuh waktu, tetapi setidaknya kamu akan berada selangkah lebih dekat dengan mengetahui apa yang terjadi dalam dirimu agar dapat membaik.
4. Minimnya akses psikolog
Menurut Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK), jumlah psikolog klinis yang ada saat ini adalah 3.232. Jumlah ini bisa dibilang sedikit apabila dibandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki 106,500 psikolog.
Apalagi jumlah tersebut terpusat di Pulau Jawa. Namun saat ini, ada banyak aplikasi konseling psikologi online bisa membantu masyarakat untuk mengakses layanan psikologi tanpa harus keluar rumah.
5. Banyaknya biaya yang harus dikeluarkan
Selain keterbatasan akses psikolog, faktor biaya juga harus dipertimbangkan. BPJS kesehatan bisa memberikan akses psikolog di rumah sakit terdekat.
Jika kamu memiliki asuransi atau BPJS kesehatan, kamu bisa mencoba mencari tahu apakah rumah sakit terdekat kamu bisa menawarkan layanan psikolog yang ditanggung asuransi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(FIR)