FITNESS & HEALTH
Tips Psikologis agar Lebaran Lebih Bermakna
Yatin Suleha
Senin 31 Maret 2025 / 06:30
Jakarta: Idulfitri seharusnya menjadi momen penuh kehangatan dan kebersamaan bersama orang-orang terkasih. Namun kenyataannya, tidak semua orang bisa merayakan dengan damai. Tekanan sosial, pertanyaan pribadi, dan ekspektasi dari lingkungan sering kali menimbulkan stres, bahkan kecemasan.
Data dari Halodoc Health & Wellness Insight 2025 mencatat, terjadi peningkatan sebesar 16% dalam konsultasi kesehatan mental pada minggu pertama setelah Idulfitri—sebuah tanda bahwa banyak orang masih berjuang secara emosional bahkan setelah perayaan usai.
Chief Medical Officer Halodoc, dr. Irwan Heriyanto, MARS menyatakan, "Kami percaya bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Momen Idulfitri bisa menjadi tantangan bagi sebagian orang karena tekanan sosial yang memicu stres dan kecemasan. Data Halodoc menunjukkan gangguan kecemasan dan depresi merupakan dua masalah utama pengguna."
Untuk menjadikan momen Lebaran tidak sekadar rutinitas, Halodoc memberikan tips untuk menjalani Idulfitri lebih tenang dan bermakna dari Mitra Psikolog Halodoc, Miki Amrilya Wardati S.Psi, M.Psi.
Baca juga: Mudik Lebaran malah Dapat Pertanyaan Menyayat Hati, Begini Jawabnya secara Bijaksana

Idulfitri identik dengan kebahagiaan, namun tidak semua orang mengalaminya dengan cara yang sama. Interaksi sosial yang kurang sehat, seperti membahas hal pribadi, rasa ingin tahu berlebihan, atau komentar menyinggung dapat menimbulkan stres.
Secara otomatis, individu akan melakukan appraisal untuk menilai emosinya, apakah cenderung timbul emosi negatif seperti terganggu, sakit hati, marah, atau tetap tenang.
Kemudian, individu kembali melakukan secondary appraisal untuk merespons pertanyaan yang menimbulkan emosi negatif dan bagaimana mengelola emosi yang timbul atas situasi tersebut.
Situasi ini berpeluang memunculkan kondisi stres pada individu apabila menjawab pertanyaan dan mengelola emosi itu sulit/gagal dilakukan. Untuk itu, kamu perlu kelola ekspektasi dan fokus pada hal-hal yang membuat hati senang, seperti menjalankan ibadah dengan khusyuk, berbincang santai dengan keluarga dekat, atau menikmati momen kecil tanpa tekanan.
Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger menjelaskan bahwa manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat memicu perasaan tidak nyaman.
Dalam interaksi sosial, hal ini bisa muncul melalui pertanyaan atau komentar yang tanpa disadari menyinggung perasaan lawan bicara. Oleh karena itu, menetapkan batasan dalam percakapan menjadi penting untuk menjaga hubungan tetap harmonis.
Untuk itu hindari pertanyaan sensitif dan personal yang berpotensi menyinggung perasaan. Misal, alih-alih bertanya soal kapan punya anak atau kapan lulus kuliah, kita bisa membahas hal yang lebih umum, seperti menanyakan hobi atau kesibukan saat ini.
Seseorang dapat mengubah cara pandang agar tidak merasa tertekan, dengan menerapkan cognitive reframing. Misalnya, alih-alih terganggu oleh pertanyaan pribadi, seseorang bisa melihatnya sebagai bentuk kepedulian, dapat membantu merespons dengan lebih tenang dan terkontrol.
Untuk itu, gunakan assertive communication agar tetap sopan namun tegas dalam menyampaikan batasan. Bila ditanya “Kapan menikah?”, jawablah dengan santai tapi tegas: “Terima kasih sudah peduli. Saya masih menikmati masa sekarang dulu.” Ini menjaga kesopanan sekaligus memberi batas.
Jika sudah melakukan rekomendasi di atas namun belum bisa mengatasi kecemasan yang dirasakan karena tekanan sosial saat momen Idulfitri, penting untuk mencari pertolongan ke profesional dan tidak melakukan self-diagnose, karena kecemasan berlebihan yang dibiarkan dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan yang memengaruhi kualitas hidup.
Untuk itu jangan ragu untuk berkonsultasi dengan profesional. Kamu bisa mendapatkan dukungan dari ahlinya adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental.
Menyesuaikan diri dari libur panjang ke rutinitas dapat memicu transition stress, yaitu tekanan psikologis akibat perubahan aktivitas yang signifikan. Setelah menikmati waktu santai, kembali ke kesibukan sehari-hari bisa terasa berat dan memicu post-holiday blues, kondisi di mana seseorang merasa kurang bersemangat, lelah, atau bahkan cemas menghadapi rutinitas.
Untuk itu, beri waktu jeda atau buffer time sebelum kembali beraktivitas agar transisi terasa lebih lancar dan tidak terlalu membebani mental. Selain itu, merencanakan hal-hal menyenangkan setelah Lebaran, seperti bertemu teman, menjalani hobi, atau mengatur liburan singkat di akhir pekan, dapat membantu menjaga motivasi dalam menjalani keseharian.
Dengan memahami tantangan psikologis yang dapat muncul selama dan setelah Idulfitri, kita bisa lebih siap dalam mengelola tekanan sosial serta menjaga kesejahteraan emosional.
Dan Idulfitri seharusnya menjadi momen yang membawa kedamaian, bukan beban dan setiap individu dapat menjalani perayaan ini dengan lebih tenang dan bermakna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Data dari Halodoc Health & Wellness Insight 2025 mencatat, terjadi peningkatan sebesar 16% dalam konsultasi kesehatan mental pada minggu pertama setelah Idulfitri—sebuah tanda bahwa banyak orang masih berjuang secara emosional bahkan setelah perayaan usai.
Chief Medical Officer Halodoc, dr. Irwan Heriyanto, MARS menyatakan, "Kami percaya bahwa menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Momen Idulfitri bisa menjadi tantangan bagi sebagian orang karena tekanan sosial yang memicu stres dan kecemasan. Data Halodoc menunjukkan gangguan kecemasan dan depresi merupakan dua masalah utama pengguna."
Untuk menjadikan momen Lebaran tidak sekadar rutinitas, Halodoc memberikan tips untuk menjalani Idulfitri lebih tenang dan bermakna dari Mitra Psikolog Halodoc, Miki Amrilya Wardati S.Psi, M.Psi.
Baca juga: Mudik Lebaran malah Dapat Pertanyaan Menyayat Hati, Begini Jawabnya secara Bijaksana
1. Jaga suasana hati agar tetap positif

Idulfitri identik dengan kebahagiaan, namun tidak semua orang mengalaminya dengan cara yang sama. Interaksi sosial yang kurang sehat, seperti membahas hal pribadi, rasa ingin tahu berlebihan, atau komentar menyinggung dapat menimbulkan stres.
Secara otomatis, individu akan melakukan appraisal untuk menilai emosinya, apakah cenderung timbul emosi negatif seperti terganggu, sakit hati, marah, atau tetap tenang.
Kemudian, individu kembali melakukan secondary appraisal untuk merespons pertanyaan yang menimbulkan emosi negatif dan bagaimana mengelola emosi yang timbul atas situasi tersebut.
Situasi ini berpeluang memunculkan kondisi stres pada individu apabila menjawab pertanyaan dan mengelola emosi itu sulit/gagal dilakukan. Untuk itu, kamu perlu kelola ekspektasi dan fokus pada hal-hal yang membuat hati senang, seperti menjalankan ibadah dengan khusyuk, berbincang santai dengan keluarga dekat, atau menikmati momen kecil tanpa tekanan.
2. Atur batas dalam interaksi sosial
Social Comparison Theory yang dikemukakan oleh Leon Festinger menjelaskan bahwa manusia cenderung membandingkan diri dengan orang lain, yang dapat memicu perasaan tidak nyaman.
Dalam interaksi sosial, hal ini bisa muncul melalui pertanyaan atau komentar yang tanpa disadari menyinggung perasaan lawan bicara. Oleh karena itu, menetapkan batasan dalam percakapan menjadi penting untuk menjaga hubungan tetap harmonis.
Untuk itu hindari pertanyaan sensitif dan personal yang berpotensi menyinggung perasaan. Misal, alih-alih bertanya soal kapan punya anak atau kapan lulus kuliah, kita bisa membahas hal yang lebih umum, seperti menanyakan hobi atau kesibukan saat ini.
3. Kendalikan situasi, kelola emosi
Seseorang dapat mengubah cara pandang agar tidak merasa tertekan, dengan menerapkan cognitive reframing. Misalnya, alih-alih terganggu oleh pertanyaan pribadi, seseorang bisa melihatnya sebagai bentuk kepedulian, dapat membantu merespons dengan lebih tenang dan terkontrol.
Untuk itu, gunakan assertive communication agar tetap sopan namun tegas dalam menyampaikan batasan. Bila ditanya “Kapan menikah?”, jawablah dengan santai tapi tegas: “Terima kasih sudah peduli. Saya masih menikmati masa sekarang dulu.” Ini menjaga kesopanan sekaligus memberi batas.
4. Jangan ragu mencari bantuan profesional
Jika sudah melakukan rekomendasi di atas namun belum bisa mengatasi kecemasan yang dirasakan karena tekanan sosial saat momen Idulfitri, penting untuk mencari pertolongan ke profesional dan tidak melakukan self-diagnose, karena kecemasan berlebihan yang dibiarkan dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan yang memengaruhi kualitas hidup.
Untuk itu jangan ragu untuk berkonsultasi dengan profesional. Kamu bisa mendapatkan dukungan dari ahlinya adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental.
5. Beri waktu jeda sebelum kembali ke rutinitas
Menyesuaikan diri dari libur panjang ke rutinitas dapat memicu transition stress, yaitu tekanan psikologis akibat perubahan aktivitas yang signifikan. Setelah menikmati waktu santai, kembali ke kesibukan sehari-hari bisa terasa berat dan memicu post-holiday blues, kondisi di mana seseorang merasa kurang bersemangat, lelah, atau bahkan cemas menghadapi rutinitas.
Untuk itu, beri waktu jeda atau buffer time sebelum kembali beraktivitas agar transisi terasa lebih lancar dan tidak terlalu membebani mental. Selain itu, merencanakan hal-hal menyenangkan setelah Lebaran, seperti bertemu teman, menjalani hobi, atau mengatur liburan singkat di akhir pekan, dapat membantu menjaga motivasi dalam menjalani keseharian.
Dengan memahami tantangan psikologis yang dapat muncul selama dan setelah Idulfitri, kita bisa lebih siap dalam mengelola tekanan sosial serta menjaga kesejahteraan emosional.
Dan Idulfitri seharusnya menjadi momen yang membawa kedamaian, bukan beban dan setiap individu dapat menjalani perayaan ini dengan lebih tenang dan bermakna.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)