FITNESS & HEALTH
Psikolog: Santri yang Selamat dari Ambruknya Musala Al Khoziny Butuh Dukungan Mental Jangka Panjang
A. Firdaus
Selasa 07 Oktober 2025 / 20:03
Jakarta: Tragedi bangunan musala Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur ambruk terjadi pada Senin (29//20259) saat salat ashar. Akibat tragedi ini, ratusan santri terjebak dalam reruntuhan. Operasi pencarian pun dilakukan dan telah masuk hari kedelapan.
Berdasarkan data Basarnas per Senin malam (6/10/2025), sebanyak 66 orang meninggal dunia. Sementara ada 104 santri yang selamat dalam insiden ambruknya Ponpes Al Khoziny.
Untuk korban yang selamat, mungkin ada sebagian yang mengalami trauma. Menurut Psikolog Klinis Analisa Widyaningrum, M.Sc, M.Psi. salah satu dampak psikologis yang perlu diwaspadai adalah Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Kondisi ini bisa muncul setelah seseorang mengalami peristiwa ekstrem seperti bencana alam, kecelakaan, atau kehilangan yang mendalam.
Stres Dapat Melemahkan Sistem Kekebalan Tubuh Remaja
"Ada satu kekhawatiran ketika trauma terhadap disaster itu terjadi, yaitu PTSD. Kondisi ini bisa mengarah pada ketakutan berlebih sampai mengganggu aktivitas, bahkan membuat anak sulit belajar," jelas psikolog yang akrab disapa Ana.
Menurut Analisa, gejala PTSD dapat bervariasi mulai dari sulit tidur, rasa cemas berlebihan, hingga ketakutan ekstrem yang memengaruhi keseharian anak. Bahkan dalam kondisi yang parah, anak bisa sampai menggigil, tidak bisa tidur, atau takut berada di situasi tertentu.
Karena itu, pendampingan psikologis sangat dibutuhkan bagi korban ambruknya musala Al Khoziny, khususnya anak-anak. Pendampingan ini tidak hanya untuk memulihkan kondisi mental secara jangka pendek, tetapi juga mencegah trauma yang berkepanjangan.
Jika tidak ditangani dengan baik, trauma bisa berkembang menjadi gangguan fobia. Misalnya, anak menjadi takut berada di ruangan tertutup atau gelap karena mengingat kembali momen saat bencana terjadi.
"Biasanya muncul ketakutan-ketakutan tertentu yang sifatnya fobik. Jadi, anak mungkin menjadi takut terhadap situasi yang sebelumnya tidak menakutkan," ujar Analisa.

Psikolog Klinis, Analisa Widyaningrum. Dok. A. Firdaus/Medcom
Meski begitu, pemulihan bukan berarti melupakan peristiwa traumatis. Tujuannya adalah agar anak bisa mengelola rasa takut ketika kenangan itu muncul kembali. Anak perlu dilatih supaya mampu mengendalikan dirinya ketika ketakutan itu datang. Ia mungkin tidak akan melupakan kejadian tersebut, tapi ia bisa belajar untuk menghadapi dan mengelola reaksinya.
Menurut Analisa, proses terapi tidak bisa dilakukan hanya oleh anak atau psikolog saja. Keterlibatan orang tua dan lingkungan sekitar sangat berperan dalam proses pemulihan.
"Terapi itu tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kolaborasi antara anak, orang tua, dan support system di sekitarnya. Siapa pun yang menjadi bagian dari lingkungan anak, mereka menentukan keberhasilan terapi," kata Analisa.
Di antara para korban ambruknya musala Al Khoziny, tidak sedikit anak yang mengalami disabilitas akibat amputasi atau cedera berat. Kondisi ini tentu menambah kompleksitas pemulihan, baik secara fisik maupun psikologis.
"Anak yang mengalami disabilitas bukan sejak lahir, melainkan akibat kecelakaan, menghadapi tantangan yang cukup berat. Bayangkan, ia tiba-tiba kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari," jelas Analisa.
Menurutnya, pemulihan untuk anak dengan disabilitas harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya terapi fisik agar bisa mandiri, tetapi juga terapi psikologis untuk memulihkan kepercayaan diri. Anak perlu melewati fase grief atau berduka atas kehilangan yang dialaminya, hingga akhirnya mampu menerima kondisi baru dan kembali menata hidup.
"Proses penerimaan ini tidak mudah, terutama bagi anak yang masih dalam tahap tumbuh kembang. Tapi dengan dukungan yang tepat, mereka bisa kembali bangkit dan mengejar cita-citanya," pungkas Analisa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)
Berdasarkan data Basarnas per Senin malam (6/10/2025), sebanyak 66 orang meninggal dunia. Sementara ada 104 santri yang selamat dalam insiden ambruknya Ponpes Al Khoziny.
Untuk korban yang selamat, mungkin ada sebagian yang mengalami trauma. Menurut Psikolog Klinis Analisa Widyaningrum, M.Sc, M.Psi. salah satu dampak psikologis yang perlu diwaspadai adalah Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) atau gangguan stres pascatrauma. Kondisi ini bisa muncul setelah seseorang mengalami peristiwa ekstrem seperti bencana alam, kecelakaan, atau kehilangan yang mendalam.
Baca Juga :
"Ada satu kekhawatiran ketika trauma terhadap disaster itu terjadi, yaitu PTSD. Kondisi ini bisa mengarah pada ketakutan berlebih sampai mengganggu aktivitas, bahkan membuat anak sulit belajar," jelas psikolog yang akrab disapa Ana.
Menurut Analisa, gejala PTSD dapat bervariasi mulai dari sulit tidur, rasa cemas berlebihan, hingga ketakutan ekstrem yang memengaruhi keseharian anak. Bahkan dalam kondisi yang parah, anak bisa sampai menggigil, tidak bisa tidur, atau takut berada di situasi tertentu.
Karena itu, pendampingan psikologis sangat dibutuhkan bagi korban ambruknya musala Al Khoziny, khususnya anak-anak. Pendampingan ini tidak hanya untuk memulihkan kondisi mental secara jangka pendek, tetapi juga mencegah trauma yang berkepanjangan.
Trauma yang tak tertangani bisa menjadi fobia
Jika tidak ditangani dengan baik, trauma bisa berkembang menjadi gangguan fobia. Misalnya, anak menjadi takut berada di ruangan tertutup atau gelap karena mengingat kembali momen saat bencana terjadi.
"Biasanya muncul ketakutan-ketakutan tertentu yang sifatnya fobik. Jadi, anak mungkin menjadi takut terhadap situasi yang sebelumnya tidak menakutkan," ujar Analisa.

Psikolog Klinis, Analisa Widyaningrum. Dok. A. Firdaus/Medcom
Meski begitu, pemulihan bukan berarti melupakan peristiwa traumatis. Tujuannya adalah agar anak bisa mengelola rasa takut ketika kenangan itu muncul kembali. Anak perlu dilatih supaya mampu mengendalikan dirinya ketika ketakutan itu datang. Ia mungkin tidak akan melupakan kejadian tersebut, tapi ia bisa belajar untuk menghadapi dan mengelola reaksinya.
Peran orang tua dan lingkungan sangat penting
Menurut Analisa, proses terapi tidak bisa dilakukan hanya oleh anak atau psikolog saja. Keterlibatan orang tua dan lingkungan sekitar sangat berperan dalam proses pemulihan.
"Terapi itu tidak bisa berdiri sendiri. Harus ada kolaborasi antara anak, orang tua, dan support system di sekitarnya. Siapa pun yang menjadi bagian dari lingkungan anak, mereka menentukan keberhasilan terapi," kata Analisa.
Pemulihan psikologis anak dengan disabilitas
Di antara para korban ambruknya musala Al Khoziny, tidak sedikit anak yang mengalami disabilitas akibat amputasi atau cedera berat. Kondisi ini tentu menambah kompleksitas pemulihan, baik secara fisik maupun psikologis.
"Anak yang mengalami disabilitas bukan sejak lahir, melainkan akibat kecelakaan, menghadapi tantangan yang cukup berat. Bayangkan, ia tiba-tiba kehilangan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari," jelas Analisa.
Menurutnya, pemulihan untuk anak dengan disabilitas harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya terapi fisik agar bisa mandiri, tetapi juga terapi psikologis untuk memulihkan kepercayaan diri. Anak perlu melewati fase grief atau berduka atas kehilangan yang dialaminya, hingga akhirnya mampu menerima kondisi baru dan kembali menata hidup.
"Proses penerimaan ini tidak mudah, terutama bagi anak yang masih dalam tahap tumbuh kembang. Tapi dengan dukungan yang tepat, mereka bisa kembali bangkit dan mengejar cita-citanya," pungkas Analisa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(FIR)