FEATURE

Sanda Aldass seorang Pengungsi, Ibu dari 3 Anak, dan Atlet Olimpiade Tokyo 2020

A. Firdaus
Jumat 30 Juli 2021 / 09:12
Tokyo: Enam tahun lalu, Sanda Aldass hanya seorang pengungsi yang lolos dari perang saudara di Suriah. Kini, perempuan 31 tahun itu telah merasakan sensasi berjibaku di atas matras Olimpiade Tokyo 2020, sebagai seorang atlet.

Aldass pertama kalinya merasakan sebagai atlet judo Olimpiade, ketika bermain di Nippon Budokan, Senin 26 Juli lalu. Menyelesaikan perjalanan epik sejak ia melaikan diri dari Suriah ke Belanda pada 2015 silam.

Laga Olimpiade perdananya terjadi melawan judoka Serbia, Marica Perisic, yang 10 tahun lebih muda darinya, dan sudah menjadi petarung ulung. Perisic juga juara junior Eropa dan dua kali peraih medali perunggu Grand Slam senior. Judoka berusia 21 tahun ini memiliki masa depan yang besar dan menunjukkan alasannya melawan atlet Tim Olimpiade Pengungsi IOC dan menyingkirkan Aldass.

Prestasi gemilang Perisic membuat debut Olimpiade Aldass berakhir dini. Terlepas dari kekahalan itu, berhasil melangkah ke atas matras untuk mewakili jutaan pengungsi di seluruh dunia adalah sebuah kemenangan tersendiri buat Aldass.
 

Perjuangan mencari suaka


Datang sebagai atlet Olimpiade, Aldass, merupakan ibu dari tiga anak. Belum lagi ditambah proses perjalanan panjang dari Timur Tengah ke Eropa dan mengurus semua dokumen terdengar seperti beban kerja yang mustahil bagi kebanyakan manusia biasa.

Tetapi kebanyakan dari kita mungkin tak bisa sekuat Aldass, yang melarikan diri dari perang saudara dan menetap di negara yang berbeda, dengan bahasa yang berbeda, serta hijrah ribuan kilometer dari tanah kelahirannya.

Pada 2015, Aldass melarikan diri dari Damaskus. Ia terpaksa meninggalkan suaminya Fadi Darwish, yang saat ini merupakan pelatihnya, bersama putra mereka yang ketika itu masih kecil.

Setibanya di Belanda, dia dibawa ke kamp pengungsi di mana Aldass harus menghabiskan waktu selama enam bulan, jauh dari keluarganya.




"Berlari dan melakukan beberapa latihan mengisi waktu saya dan juga menjaga kesehatan mental saya. Saya tahu pada akhirnya mereka (keluarganya) akan datang dan kami akan memiliki tempat tinggal yang baik. Itu membuat saya sedikit tenang," kata Aldass kepada Olympic.org.

"Jika saya duduk tidak melakukan apa-apa, saya akan menjadi gila," sambungnya.

Akhirnya keluarga yang sempat terpisahakan itu bersatu kembali. Aldass dan keluarga menetap di Almere, sekitar 30 menit dari Kota Amsterdam. Keluarga itu tumbuh, dengan dua anak lahir di Negeri Kincir Angin.
 

Wujudkan mimpi


Terlepas dari semua kisahnya, Aldass menolak untuk menyerah pada mimpi Olimpiadenya. Dia terus berlatih, bertarung, untuk menjadi bagian dari satu hal yang membuatnya tetap sehat secara fisik dan mental, yaitu olahraga.

Atlet pengungsi menghadapi tantangan besar dengan proses suaka yang panjang, yang sering membuat mereka dalam keadaan limbo, atau tidak dapat mengambil bagian dalam kompetisi dan mendaftarkan diri untuk hal-hal, seperti dukungan pemerintah dan akses ke fasilitas pelatihan.

Sangat sulit untuk tetap berada di puncak olahraga dalam kondisi seperti ini, tetapi Aldass menemukan sumber dukungan yang besar ketika dia dianugerahi Beasiswa Atlet Pengungsi IOC yang memungkinkan dia untuk melanjutkan pelatihan.

Sementara itu, Darwish, sang suami, melalui semua persyaratan linguistik dan teknis berhasil resmi menjadi pelatih. Ia mendampingi Aldass berkompetisi di Kejuaraan Judo Dunia 2019 dan 2021, serta Judo Grand Slam sebagai bagian dari Tim Pengungsi IJF.
 

Mewakili para pengungsi


Langkah panjang Aldass selama bertahun-tahun itu, berbuah manis. Ia menjadi salah satu dari enam judoka yang dipilih untuk Tim Atlet Pengungsi IOC, yang beranggotan 29 atlet untuk menjadi bagian di Olimpiade Tokyo.

"Kami telah memimpikan itu selama bertahun-tahun dan hari ini kami mewujudkan impian kami," katanya dalam pernyataan resmi bersama dengan sesama judoka Tim Olimpiade Pengungsi IOC, Ahmad Alikaj dan Muna Dahouk ketika pemilihan mereka untuk Tokyo 2020.




“Kami merasa memiliki tanggung jawab besar. Kami bukan hanya mewakili olahraga kami, judo, tetapi juga seluruh komunitas pengungsi. Kami sangat bangga. Kami berharap jutaan pengungsi di seluruh dunia ingin mengatasi kesulitan mereka, berdasarkan apa yang kami telah dicapai," terang Aldass

Tak hanya itu, motiviasi dari keluarga juga mengantarkan Aldass berlabuh di Tokyo. "Anak-anak saya mengatakan, 'Bu, kamu harus pergi ke Olimpiade'. Ingat, tujuan untuk seluruh keluarga adalah mencapai Olimpiade.

"Itu hanya mimpi sekarang, di luar sana itu akan menjadi mimpi yang menjadi kenyataan," kenangnya.

Sekarang mimpi itu telah terwujud, dan kisah Aldasss menjadi inspirasi bagi jutaan orang lain untuk mengikuti langkahnya, menjadi seorang Olimpian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

(FIR)

MOST SEARCH