FEATURE

Gerakan Melawan Stigma bagi Perempuan

Sandra Odilifia
Selasa 22 Desember 2020 / 14:46
Jakarta: Meski setiap tahunnya Hari Ibu kerap diperingati sebagai upaya untuk menghapuskan belenggu diskriminasi dan stigma pada perempuan, namun sepertinya permasalahan ini terus marak di tengah masyarakat apalagi di masa pandemi.

Banyaknya stigma yang bermunculan, terutama pada ibu tunggal, membuat Maureen Hitipeuw, founder Single Moms Indonesia tergerak untuk melawan stigma dan memberi dukungan serta tempat yang aman bagi para ibu tunggal.

Komunitas Single Moms Indonesia sendiri terlahir karena keprihatinan Maureen tentang tidak adanya support system khusus untuk ibu tunggal. Komunitas ini pertama kali berdiri tahun 2014, diawali oleh tiga anggota.

"Keinginan awal kami itu sebenarnya sederhana. Jadi kami merindukan atau ingin punya rumah/satu tempat sederhana yang aman dan nyaman serta bebas dari penghakiman, dari stigma dimana teman-teman ini bisa saling menguatkan, saling bertanya, saling mendukung satu sama lain," ujar Maureen.

"Namun, akhirnya seiring berjalannya waktu, visi misi kami berubah. Jadi, kami ingin memberdayakan ibu tunggal supaya mereka bisa mandiri kembali, bisa percaya diri," tambah Maureen.



(Maureen Hitipeuw, founder Single Moms Indonesia menegaskan Hari Ibu ini dimulai dari dasar perjuangan perempuan, jadi ini menjadi reminder bagi kita semua sebagai perempuan untuk saling mendukung apapun kondisinya. Foto: Dok. Akun resmi Instagram Single Moms Indonesia/@singlemomsindonesia)
 

Stigma ibu tunggal


Lebih lanjut, Maureen mengatakan, sejujurnya stigma di Indonesia ini cukup berat. Bisa dibilang, ibu tunggal kerap dianggap sebagai penggoda, calon pelakor, wanita-wanita yang gagal atau tidak berhasil di dalam hidupnya. Kebanyakan stigma negatif ini yang dihadapi oleh teman-teman yang mereka bagikan dalam komunitas.

Tak hanya stigma negatif, sering kali perempuan menjadi sasaran kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan dalam pacaran (KDP).

Menurut Wawan Suwandi, Koordinator Nasional Aliansi Laki-laki Baru, stigma itu terbentuk karena perempuan sebagaimana kita ketahui dalam konstruksi budaya yang tradisional dianggap sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki.

"Itulah kenapa kemudian, pada akhirnya perempuan harus berjuang sendiri, seperti yang dilakukan ibu Maureen untuk keluar dari stigma ketidak adilan berbasis gender tepatnya," kata Wawan.

"Nah dalam konteks ini, saya sebagai laki-laki merasa sangat bersalah juga karena telah menikmati privilage yang diberikan oleh budaya kepada laki-laki. Sementara di sisi lain ada saudara kandung saya, yaitu perempuan, dia harus mengalami penindasan berbasis gender," ujar Wawan.

Maka dari itu, saya dan teman laki-laki lainnya juga turut berpartisipasi dan berkontribusi pada upaya pencegahan kekerasan berbasis gender.

"Secara praktis karena situasi pandemi kita punya keterbatasan akhirnya kegiatan yang kita lakukan sejauh ini menjadi online sifatnya, salah satunya dengan menyelenggarakan webinar," ujar Wawan.

Mengingat angka kekerasan meningkat selama pandemi, menurut Wawan ada beragam persoalan yang melatarinya. Salah satunya adalah tingginya angka putus kerja dan itu menjadi salah satu pemicu kenapa terjadinya sebuah kesenjangan terutama dalam konteks rumah tangga.

Namun di balik itu semua, Wawan menjelaskan, laki-laki cenderung melakukan kekerasan karena sedari kecil laki-laki ini tidak diperkenalkan dengan jenis-jenis emosi, ketika dia sedang emosi, sedang sedih dan marah, apa yang harus dilakukan itu tidak diperkenalkan.

"Malah lebih cenderung disuruh untuk memendam saja, dengan alasan laki-laki keren adalah laki-laki yang kalau punya masalah enggak usah diomongin, enggak usah nangis, enggak usah cerita, jadi pendam saja. Nah itu pada akhirnya menjadi bom waktu dan berpotensi menjadi impulsif atau bertindak secara tiba-tiba melakukan kekerasan pada sesuatu untuk menyikapi persoalan yang sederhana," ungkap Wawan.

Ia pun menjelaskan metode yang diberikan kepada kelompok laki-laki tentang penyadaran antikekerasan. Tak seperti membahas tentang ketidakdilan terhadap perempuan, Aliansi Laki-laki Baru memilih metode reflektif dan menggunakan modul. Hal itu untuk menghindari resistensi dan perasaan terhakimi pada laki-laki.

"Biasanya yang kami lakukan adalah dengan metode reflektif lalu mengajak mereka (laki-laki) mendefinisi ulang konsep maskulinitas karena sejauh ini yang mereka praktikan adalah toxic maskulinity atau maskulinitas yang beracun, yang dimana merugikan dirinya sendiri, perempuan dan anak-anak," jelasnya.

"Hal lainnya yang dilakukan sejauh ini kami membuat modul pelatihan untuk kelompok laki-laki, termasuk di tempat saya bekerja saat ini yaitu Yayasan Puli, itu ada konseling untuk laki-laki pelaku kekerasan, termasuk KDRT dan KDP."

Disisi lain, Maureen menegaskan Hari Ibu ini dimulai dari dasar perjuangan perempuan, jadi ini menjadi reminder bagi kita semua sebagai perempuan untuk saling mendukung apapun kondisinya, apapun status pernikahan kita, apapun latar belakang kita.

Jika tertarik, kamu bisa bergabung dengan grup facebook Single Moms Indonesia. Melalui grup facebook yang tertutup dan private ini maka hanya member yang bisa membaca. 

Komunitas Single Moms Indonesia juga ada di berbagai platform media sosial dengan nama yang sama. Kamu bisa bergabung secara bebas dan gratis, bisa saling support dan mengikuti program-program pemberdayaan ibu tunggal yang beragam.

"Jadi harapannya, kita bisa kuat bersama, maju bersama dan sukses bersama," tutup Maureen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(TIN)

MOST SEARCH