Jakarta: "Aku punya mobil remote control donk... Kamu enggak!" Perkataan si kecil ini harus Moms sadari jika hal ini adalah merupakan tingkah laku kompetiti. Menurut psikolog Francisca Ariyanto, M.Psi., Psikolog, kompetisi adalah perilaku yang dipelajari.
Menurut Francisca, kita dilahirkan dengan naluri untuk bertahan hidup, tetapi keinginan untuk menang dan bersaing, dipelajari melalui interaksi sosial.
Ia bilang, bisa dilihat di sini, kenapa orang dewasa dan anak-anak biasanya senang berkompetisi, karena mereka ingin dihargai atau diperhatikan dan menjadi kabanggaan.
Orang tua biasanya memberikan perhatian saat anak-anak memiliki prestasi yang baik, misalnya dengan memberikan hadiah atau apapun yang diinginkan anak, dipuji, dibanggakan ke orang-orang lain.
Menurut Francisca, ada beberapa pendapat mengenai kompetisi pada anak, ada pihak yang menganggap hal tersebut sebagai hal baik, tetapi ada juga yang menganggap hal tersebut kurang tepat bagi perkembangan anak.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipahami terlebih dahulu. "Kalau kita melihat kompetisi dari sisi positif sebenarnya dalam batas tertentu (bisa diliat di bawah batasannya), kompetisi bukanlah hal yang buruk," kata Francisca.
.jpg)
(Psikolog Francisca Ariyanto, M.Psi., Psikolog bilang orang tua dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai kompetisi, baik hal-hal positif maupun negatif dari kompetisi atau dampak pada anak sendiri. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Hal ini menurutnya karena dapat memacu untuk menghasilkan atau menunjukkan prestasi yang lebih baik dan dapat menggali potensi yang dimiliki.
Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan daya juang, di mana tidak mudah menyerah saat menghadapi suatu situasi atau tugas.
"Jika anak tidak memiliki keinginan untuk berkompetisi, mereka biasanya mudah puas dengan apa yang ada atau dihasilkan sehingga potensi jadi kurang tergali, disamping juga mudah menyerah sehingga ada kecenderungan mengandalkan orang lain atau ambil jalan pintas," terang Francisca lagi.
Psikolog Francisca menjabarkan cara untuk menghindari tingkah laku kompetitif yang berlebihan yang pertama, menyadari bahwa anak memiliki masalah. Hal ini dapat diketahui dari seringnya anak melontarkan komentar atau kata-kata yang menunjukkan superioritas kepada teman.
Misalnya saat anak melihat teman yang membawa mainan tokoh utama dari film kegemaran anak-anak, anak mengatakan, “Ah cuma begitu doang mainannya. Nanti papaku mau beliin semua robot-robot jagoannya, juga musuhnya. Komplet deh!”
Atau, “Ah cuma gitu aja sombong, aku punya lebih banyak lagi di rumah!” Sering kali orang tua menganggap hal ini biasa dilakukan oleh anak-anak sehingga cenderung mengabaikannya.
Tetapi jika sering terjadi, tentunya menurut Francisca dapat melihat dampaknya, seperti anak akan sering meminta banyak hal karena tidak mau kalah dari temannya atau kadang karena tidak mau kalah, anak pun berbohong bahwa ia memiliki mainan yang sama, bahkan lebih banyak.
"Tentunya kita ingin agar anak juga dapat memberikan komentar yang lebih positif misal, “Kamu beruntung, ini mainan yang bagus lho..” (anak tetap dapat mengatakan dengan nada riang dan senyum atau tetap senang memberikan pujian kepada teman).
Untuk itu, Francisca bilang orang tua dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai kompetisi, baik hal-hal positif maupun negatif dari kompetisi atau dampak pada anak sendiri.
Agar dapat memudahkan anak dalam memahami, berikan contoh-contoh nyata dari pengalaman mereka. Melalui kegiatan ini, anak juga dapat dikembangkan kepekaan terhadap orang lain, emosi, berbagi, dan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
(TIN)
Menurut Francisca, kita dilahirkan dengan naluri untuk bertahan hidup, tetapi keinginan untuk menang dan bersaing, dipelajari melalui interaksi sosial.
Ia bilang, bisa dilihat di sini, kenapa orang dewasa dan anak-anak biasanya senang berkompetisi, karena mereka ingin dihargai atau diperhatikan dan menjadi kabanggaan.
Orang tua biasanya memberikan perhatian saat anak-anak memiliki prestasi yang baik, misalnya dengan memberikan hadiah atau apapun yang diinginkan anak, dipuji, dibanggakan ke orang-orang lain.
Jika tak ada keinginan untuk berkompetisi..
Menurut Francisca, ada beberapa pendapat mengenai kompetisi pada anak, ada pihak yang menganggap hal tersebut sebagai hal baik, tetapi ada juga yang menganggap hal tersebut kurang tepat bagi perkembangan anak.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu dipahami terlebih dahulu. "Kalau kita melihat kompetisi dari sisi positif sebenarnya dalam batas tertentu (bisa diliat di bawah batasannya), kompetisi bukanlah hal yang buruk," kata Francisca.
.jpg)
(Psikolog Francisca Ariyanto, M.Psi., Psikolog bilang orang tua dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai kompetisi, baik hal-hal positif maupun negatif dari kompetisi atau dampak pada anak sendiri. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)
Hal ini menurutnya karena dapat memacu untuk menghasilkan atau menunjukkan prestasi yang lebih baik dan dapat menggali potensi yang dimiliki.
Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan daya juang, di mana tidak mudah menyerah saat menghadapi suatu situasi atau tugas.
"Jika anak tidak memiliki keinginan untuk berkompetisi, mereka biasanya mudah puas dengan apa yang ada atau dihasilkan sehingga potensi jadi kurang tergali, disamping juga mudah menyerah sehingga ada kecenderungan mengandalkan orang lain atau ambil jalan pintas," terang Francisca lagi.
Hindari dari tingkah laku kompetitif yang berlebihan
Psikolog Francisca menjabarkan cara untuk menghindari tingkah laku kompetitif yang berlebihan yang pertama, menyadari bahwa anak memiliki masalah. Hal ini dapat diketahui dari seringnya anak melontarkan komentar atau kata-kata yang menunjukkan superioritas kepada teman.
Misalnya saat anak melihat teman yang membawa mainan tokoh utama dari film kegemaran anak-anak, anak mengatakan, “Ah cuma begitu doang mainannya. Nanti papaku mau beliin semua robot-robot jagoannya, juga musuhnya. Komplet deh!”
Atau, “Ah cuma gitu aja sombong, aku punya lebih banyak lagi di rumah!” Sering kali orang tua menganggap hal ini biasa dilakukan oleh anak-anak sehingga cenderung mengabaikannya.
Tetapi jika sering terjadi, tentunya menurut Francisca dapat melihat dampaknya, seperti anak akan sering meminta banyak hal karena tidak mau kalah dari temannya atau kadang karena tidak mau kalah, anak pun berbohong bahwa ia memiliki mainan yang sama, bahkan lebih banyak.
"Tentunya kita ingin agar anak juga dapat memberikan komentar yang lebih positif misal, “Kamu beruntung, ini mainan yang bagus lho..” (anak tetap dapat mengatakan dengan nada riang dan senyum atau tetap senang memberikan pujian kepada teman).
Untuk itu, Francisca bilang orang tua dapat memberikan penjelasan kepada anak mengenai kompetisi, baik hal-hal positif maupun negatif dari kompetisi atau dampak pada anak sendiri.
Agar dapat memudahkan anak dalam memahami, berikan contoh-contoh nyata dari pengalaman mereka. Melalui kegiatan ini, anak juga dapat dikembangkan kepekaan terhadap orang lain, emosi, berbagi, dan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(TIN)