FAMILY
Mengapa Reaksi Anak terhadap Konten Negatif Beragam? Psikolog Ungkap Faktor Penentunya
Fatha Annisa
Kamis 20 November 2025 / 18:43
Jakarta: Paparan anak terhadap konten negatif di platform digital dapat menghasilkan respons yang sangat beragam. Ada yang hanya menjadikannya sebagai informasi, namun ada pula yang menirukan perilaku berbahaya yang mereka lihat.
Samanta Elsener, Psikolog dan Ketua Bidang E (Humas, Media, dan Edukasi Masyarakat) HIMPSI menjelaskan bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor fundamental dalam pengasuhan dan lingkungan sosial anak.
Samanta menyebut faktor pertama yang paling berpengaruh adalah situasi keluarga dan pola pengasuhan. Meski keluarga tampak harmonis dan berfungsi dengan baik, bukan berarti anak otomatis memiliki kontrol diri yang matang.
Orang tua kerap lupa mengawasi anak saat mereka mengonsumsi konten digital. Padahal, rasa ingin tahu anak sangat besar dan kemampuan mereka menyerap informasi juga tinggi. Tanpa pendampingan orang dewasa, anak mudah “terserap” ke dalam berbagai konten yang tidak selalu sesuai usia mereka.
“Anak menjadi liar. Dia merasa bahwa melakukan ini boleh. Normatif yang ada dalam standar sosial itu jadi tidak ada di dalam diri anak sehingga impuls kontrolnya rendah,” jelas Samanta saat ditemui usai acara ‘Beranda Jiwa’ di Jakarta, Kamis, 20 November 2025.
“Anak akan jadi terbiasa untuk ekspresif pada orang tuanya. Dan dari situ orang tua bisa mengukur seberapa baik atau buruk anak keterampilan sosialnya di lingkungan sekolah atau lingkungan pergaulannya mereka,” ujarnya.
Selain bertanya, kata Samanta, orang tua juga perlu mengenal teman-teman anak dan memahami karakter mereka. Tidak cukup sekadar menyapa atau membiarkan anak bermain di kamar bersama temannya tanpa pengawasan.
“Kalau gak diajak ngobrol, cuma hi dan dibairin main ke rumah aja, mereka bisa eksperimen di dalam kamarnya. Kalau kita ajak ngobrol, kita dekat, anak-anak akan bisa punya self-seeker terhadap apa yang terjadi di lingkungan dia,” tutup Samanta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(PRI)
Samanta Elsener, Psikolog dan Ketua Bidang E (Humas, Media, dan Edukasi Masyarakat) HIMPSI menjelaskan bahwa fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor fundamental dalam pengasuhan dan lingkungan sosial anak.
Samanta menyebut faktor pertama yang paling berpengaruh adalah situasi keluarga dan pola pengasuhan. Meski keluarga tampak harmonis dan berfungsi dengan baik, bukan berarti anak otomatis memiliki kontrol diri yang matang.
Orang tua kerap lupa mengawasi anak saat mereka mengonsumsi konten digital. Padahal, rasa ingin tahu anak sangat besar dan kemampuan mereka menyerap informasi juga tinggi. Tanpa pendampingan orang dewasa, anak mudah “terserap” ke dalam berbagai konten yang tidak selalu sesuai usia mereka.
“Anak menjadi liar. Dia merasa bahwa melakukan ini boleh. Normatif yang ada dalam standar sosial itu jadi tidak ada di dalam diri anak sehingga impuls kontrolnya rendah,” jelas Samanta saat ditemui usai acara ‘Beranda Jiwa’ di Jakarta, Kamis, 20 November 2025.
| Baca juga: Batasi Akses Medsos pada Anak, Komdigi Terbitkan PP Tunas |
Bangun Diskusi Bermakna dan Kenali Teman Anak
Menurut Samanta, diskusi dengan anak tidak boleh berhenti pada percakapan generik seperti “tadi di sekolah gimana?” Orang tua perlu mengembangkan pertanyaan yang mendorong anak bercerita dan berefleksi, misalnya menanyakan kejadian apa yang membuatnya senang atau kesal, atau teman mana yang paling seru diajak bermain.“Anak akan jadi terbiasa untuk ekspresif pada orang tuanya. Dan dari situ orang tua bisa mengukur seberapa baik atau buruk anak keterampilan sosialnya di lingkungan sekolah atau lingkungan pergaulannya mereka,” ujarnya.
Selain bertanya, kata Samanta, orang tua juga perlu mengenal teman-teman anak dan memahami karakter mereka. Tidak cukup sekadar menyapa atau membiarkan anak bermain di kamar bersama temannya tanpa pengawasan.
“Kalau gak diajak ngobrol, cuma hi dan dibairin main ke rumah aja, mereka bisa eksperimen di dalam kamarnya. Kalau kita ajak ngobrol, kita dekat, anak-anak akan bisa punya self-seeker terhadap apa yang terjadi di lingkungan dia,” tutup Samanta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(PRI)