FAMILY

5 Cara Ini Bisa Dilakukan Pendidik untuk Mencegah Bullying di Sekolah

Mia Vale
Senin 27 Mei 2024 / 16:56
Jakarta: Kasus bullying belum usai. Pasalnya, belum selesai masalah perundungan siswi SMP akibat 'rebutan' cowok, kini muncul lagi kejadian yang dialami Aldelia Rahma, siswi kelas 4 SD Negeri 10 Durian Jantung, Nagari III Koto Aur Malintang, Padang Pariaman. 

Bocah perempuan ini meninggal setelah 80 persen tubuhnya menderita luka bakar akibat salah satu murid laki-laki sengaja menyiramkan pertalite atau bensin ke badan korban saat kegiatan gotong royong di sekolah mereka. 

Namun ternyata, penyiraman bahan bakar merupakan puncak 'kenakalan' yang dilakukan pelaku. Karena, semasa hidup Aldelia sering menjadi korban perundungan dari anak laki-laki tersebut.

Mungkin nasib Aldelia adalah satu dari sekian korban bully yang berakibat fatal. Tapi bagi mereka yang menjadi sasaran bullying bukan fisik, sering kali mengalami kinerja buruk di sekolah, masalah tidur, kecemasan, dan depresi

Nah, sebagai seorang pendidik dalam hal ini para guru, apa yang dapat kalian lakukan untuk mencegah bullying di aekolah tidak terulang? Bagaimana para guru dapat menciptakan iklim kelas yang mencegah perundungan, namun juga menerapkan intervensi yang dapat menghentikan perilaku tersebut pada tahap awal? 

Berikut rangkuman dari pembicaraan para ahli di bidang pendidikan dan konseling kesehatan mental yang telah dilansir melalui laman Lesley University untuk menghasilkan strategi yang mampu mengatasi masalah perundungan di sekolah.
 

1. Ajarkan kebaikan dan empati



(Dalam laman Unicef dikatakan salah satu langkah di sekolah untuk menghindari bullying adalah tekankan perilaku yang baik, empati, dan capaian prestasi bersama di sekolah. Foto: Ilustrasi/Dok. Unsplash.com)

Ketika siswa mampu mendekati ide dan masalah dari berbagai sudut pandang, kecil kemungkinannya mereka akan menindas orang lain. Sejak usia dini, siswa harus berpartisipasi dalam kegiatan yang meningkatkan pembelajaran sosial-emosional. 

Sebagai seorang guru, temukan cara untuk membantu anak-anak memahami dan menghargai identitas mereka serta identitas orang lain. Untuk melakukan hal ini diperlukan empati dan kebaikan, dua keterampilan yang diyakini dapat diajarkan oleh para pendidik seperti Susan Patterson, yang memimpin kursus cyberbullying di Lesley University. 

Salah satu cara untuk melakukan ini adalah dengan mengajak anak-anak berkumpul dan membicarakan perbedaan mereka. Izinkan mereka mempraktikkan resolusi konflik, mengatasi masalah, dan membangun pemahaman terhadap orang-orang di sekitar mereka.
 

2. Ciptakan peluang untuk koneksi


Menumbuhkan rasa kebersamaan di kelas dapat mengurangi insiden penindasan dan memfasilitasi penyembuhan bagi siswa yang menjadi sasaran. Penelitian menunjukkan bahwa ketika siswa yang menjadi target merasa terhubung dengan teman sebayanya, mereka akan lebih mampu menghadapi perundungan. 

Guru bisa mengajar siswa untuk bersuara ketika mereka menyaksikan perilaku penindasan, dan mengambil sikap menentangnya. Ini bisa mengurangi situasi penindasan di masa depan hingga lebih dari 50 persen. Di dalam kelas, mulailah dengan menciptakan tempat yang aman bagi siswa untuk mengekspresikan diri dan merasa didengarkan. 

Kembangkan kemampuan siswa untuk melakukan advokasi atas nama diri mereka sendiri dan juga orang lain. Di luar kelas, fasilitasi peluang untuk penguatan positif dengan membantu siswa terlibat dalam aktivitas sepulang sekolah yang selaras dengan hobi dan minat mereka.
 

3. Identifikasi 'perilaku utama'


Perilaku kecil sering kali bisa menandakan pola awal penindasan. Namun, kerap diabaikan oleh para pendidik . Padahal sudah memiliki indikator-indikator yang disebut “perilaku utama”. Meski sulit dideteksi, jika guru bisa mengenalinya sejak dini, ada kemungkinan bisa mencegah perilaku penindasan berkembang di kemudian hari. 

Sebagai seorang pendidik, berikut adalah beberapa perilaku utama yang harus diperhatikan, seperti mata berputar, menatap berkepanjangan, kembali berbalik, tertawa dengan kejam/mendorong orang lain untuk tertawa, memberi nama panggilan, mengabaikan atau mengecualikan, menyebabkan kerusakan fisik, memata-matai, menguntit. 

Meskipun perilaku-perilaku ini mungkin tidak diklasifikasikan sebagai penindasan, melakukan intervensi sekarang bisa mengurangi kemungkinan perilaku tersebut berkembang menjadi sesuatu yang lebih bermasalah dan mengarah ke penindasan.
 

4. Seni untuk menciptakan konteks


Seni dapat menjadi alat yang ampuh untuk membantu kaum muda melihat situasi dari sudut pandang yang berbeda. Dengan menggunakan drama, sastra, dan seni visual sebagai sarana percakapan, pendidik dapat membantu siswa memahami dampak negatif penindasan. Ajak anak membahas masalah perundungan. 

Biarkan siswa mengeluarkan pendapatnya dan saling bertentangan. Dan ambiguitas ini adalah tempat yang tepat untuk memulai percakapan. Ciptakan suasana yang aman dan terbuka bagi siswa untuk membicarakan tentang intimidasi. Dengan cara ini, dia dapat mengontekstualisasikan perilaku intimidasi yang terjadi di kelas tanpa menyoroti peristiwa tertentu.
 

5. Berpartisipasi dalam simulasi


Berteori tentang cara mencegah dan merespons intimidasi di sekolah adalah satu hal. Menyaksikannya untuk pertama kali adalah hal lain. Tanpa pelatihan pra-jabatan yang memadai, akan sulit bagi guru baru untuk mengetahui secara pasti bagaimana mereka akan bereaksi ketika situasi intimidasi muncul. 

Minta mereka untuk merespons situasi tersebut dan memfasilitasi solusi. Dari simulasi, pasti banyak dari mereka yang ini adalah kesempatan pertama dalam hidup mereka untuk benar-benar berada di sebuah ruangan dan mengalami (penindasan0, dan diminta untuk bernegosiasi melalui perasaan tersebut. Dan ini akan menjadi pengalaman yag luar biasa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News

Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(TIN)

MOST SEARCH