Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya (kanan). Foto: KLHK
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya (kanan). Foto: KLHK

Rimbawan Diminta Tinggalkan Pendekatan Antroposentris

Media Indonesia.com • 31 Maret 2022 23:21
Jakarta: Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar, meminta para rimbawan untuk bergerak meninggalkan pendekatan antroposentris. Ia ingin rimbawan mulai bergerak menuju ke arah biosentris dan ekosentris.
 
"Dalam upaya pengelolaan hutan berkelanjutan, sesungguhnya rimbawan juga profesional di bidang lingkungan hidup," ujar Siti Nurbaya saat memberi sambutan pada Resepsi Peringatan Hari Bakti Rimbawan yang digelar luring dan daring di Jakarta, Kamis, 31 Maret 2022.
 
Siti mengatakan Hari Bakti Rimbawan merupakan penegasan dan pengakuan sebuah profesi di bidang pengelolaan hutan. Menurutnya, Hari Bakti Rimbawan juga merupakan tonggak konsolidasi para rimbawan di seluruh Indonesia untuk kembali menguatkan komitmen dan kesadaran dalam berkarya dan membangun hutan dan kehutanan di Indonesia. 

"Rimbawan bukan hanya orang-orang yang bertugas mengelola hutan, tapi menyangkut siapa pun yang memiliki mental, pemikiran, perhatian, dan dedikasinya untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan kelestarian alam," kata dia.
 
Siti mengingatkan kesadaran menjaga alam Indonesia sebagai mandat yang cukup berat. Untuk itu, secara sekuensial perkembangan dan perubahan harus diikuti dan direkayasa menurut kebutuhan strategis bangsa.
 
Siti meminta rimbawan untuk profesional di bidang lingkungan hidup, terutama dalam upaya pengelolaan hutan berkelanjutan. Ia lantas meminta para rimbawan untuk bergerak meninggalkan pendekatan antroposentris dan menuju ke arah biosentris dan ekosentris. 
 
Baca: Pemerintah Antisipasi Karhutla dengan Hujan Buatan
 
Pada 16 Maret 1983 berdiri Departemen Kehutanan yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Bakti Rimbawan. Sebutan rimbawan atau forester berarti seseorang yang mempunyai profesi mengelola hutan atau orang yang memainkan peran dalam kegiatan pengelolaan hutan ke arah kelestarian. Khusus peringatan tahun ini, dilaksanakan kemarin.
 

Apa itu antroposentris?

Lebih lanjut, Menteri Siti menjelaskan, pada konteks pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan, gagasan antroposentrisme ini mewujud dalam bentuk keyakinan yang meletakkan manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. 
 
Antroposentrisme sebagai sebuah paradigma dalam pengelolaan lingkungan hidup mendasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam semesta. Manusia yang dengan berbagai kepentingannya adalah pihak yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan pengambilan kebijakan yang terkait dengan pengelolaan alam.
 
"Sudut pandang antroposentrisme ini menyebabkan terjadinya relasi sepihak yang didominasi oleh manusia. Hal ini kemudian memunculkan konsekuensi berupa model pengelolaan sumber daya yang cenderung bersifat eksploitatif dan hanya berorientasi pada profit," kata Siti.
 

Konstruksi ramah lingkungan

Berbeda dengan antroposentrisme, ekosentrisme mengambil posisi sebaliknya. Ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis maupun abiotis) memiliki nilai. Keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem.
 
Siti menjelaskan ekosentrisme dalam teori etika lingkungan merupakan kelanjutan dari biosentrisme. Apabila biosentrisme hanya meletakkan komunitas biotis sebagai subjek yang memiliki nilai, maka ekosentrisme bertindak lebih jauh dengan menempatkan seluruh komunitas ekologis sebagai subjek yang memiliki nilai. 
 
"Meskipun berbeda, namun dua konsep ini memiliki kesamaan dalam hal memperbaiki pemikiran antroposentrisme dengan jalan memperluas cakupan nilai tidak hanya berlaku bagi manusia," ujar Siti.
 
Baca: Indonesia Berkomitmen Tinggi terhadap Adaptasi Perubahan Iklim
 
Melanjutkan pidatonya, Siti mengungkapkan bahwa kini ilmu pengetahuan telah dikonstruksi ke arah yang ramah lingkungan. Menurutnya, hal ini menjadi koreksi terhadap dasar teori lama yang cenderung merusak alam, menuju pandangan baru yang lebih holistik dan futuristik. 
 
Paradigma hijau ini, tambah dia, juga telah memperkuat arus pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Pemerintah Indonesia tengah mengarahkan kepada paradigma hijau tersebut, terutama melalui penerapan konsep green economy, blue economy, green industry, green city, green building, hingga green transportation.
 
"Sektor lingkungah hidup dan kehutanan sangat besar peranannya dalam menyelenggarakan pembangunan yang ramah lingkungan tersebut," kata Siti.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(UWA)
  • Halaman :
  • 1
  • 2
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan