"Sudut pandang antroposentrisme ini menyebabkan terjadinya relasi sepihak yang didominasi oleh manusia. Hal ini kemudian memunculkan konsekuensi berupa model pengelolaan sumber daya yang cenderung bersifat eksploitatif dan hanya berorientasi pada profit," kata Siti.
Konstruksi ramah lingkungan
Berbeda dengan antroposentrisme, ekosentrisme mengambil posisi sebaliknya. Ekosentrisme menempatkan seluruh subjek yang ada di alam semesta (biotis maupun abiotis) memiliki nilai. Keduanya akan terikat satu sama lain dalam sebuah ekosistem.Siti menjelaskan ekosentrisme dalam teori etika lingkungan merupakan kelanjutan dari biosentrisme. Apabila biosentrisme hanya meletakkan komunitas biotis sebagai subjek yang memiliki nilai, maka ekosentrisme bertindak lebih jauh dengan menempatkan seluruh komunitas ekologis sebagai subjek yang memiliki nilai.
"Meskipun berbeda, namun dua konsep ini memiliki kesamaan dalam hal memperbaiki pemikiran antroposentrisme dengan jalan memperluas cakupan nilai tidak hanya berlaku bagi manusia," ujar Siti.
Baca: Indonesia Berkomitmen Tinggi terhadap Adaptasi Perubahan Iklim
Melanjutkan pidatonya, Siti mengungkapkan bahwa kini ilmu pengetahuan telah dikonstruksi ke arah yang ramah lingkungan. Menurutnya, hal ini menjadi koreksi terhadap dasar teori lama yang cenderung merusak alam, menuju pandangan baru yang lebih holistik dan futuristik.
Paradigma hijau ini, tambah dia, juga telah memperkuat arus pembangunan berkelanjutan yang menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Pemerintah Indonesia tengah mengarahkan kepada paradigma hijau tersebut, terutama melalui penerapan konsep green economy, blue economy, green industry, green city, green building, hingga green transportation.
"Sektor lingkungah hidup dan kehutanan sangat besar peranannya dalam menyelenggarakan pembangunan yang ramah lingkungan tersebut," kata Siti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News