Ilustrasi. FOTO: MI/SUSANTO
Ilustrasi. FOTO: MI/SUSANTO

BI Perlu Tahan Suku Bunga Redam Gejolak Rupiah

Husen Miftahudin • 19 Agustus 2020 08:03
Jakarta: Bank Indonesia (BI) perlu menahan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo di level 4,0 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 18-19 Agustus 2020. Strategi ini diharapkan mampu meredam gejolak nilai tukar rupiah yang kian terjerembab ke posisi Rp14.800 per USD.
 
Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) memandang peningkatan risiko tekanan eksternal yang terjadi akhir-akhir ini akibat kekhawatiran investor terkait resesi ekonomi global dapat mengancam stabilitas rupiah ke depan.
 
Meskipun tren inflasi rendah yang ada saat ini memungkinkan bank sentral untuk menurunkan suku bunga, namun efektivitas kebijakan akan semakin terasa ketika permintaan dan daya beli masyarakat sudah mulai pulih dalam waktu dekat, sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendukung pemulihan ekonomi.

"Saat ini, mengingat tanggung jawab utama BI menjaga stabilitas rupiah, kami memandang BI harus mempertahankan suku bunga di 4,0 persen untuk menahan pelemahan rupiah saat ini dan memulihkan sentimen investor terhadap fundamental ekonomi domestik," tulis LPEM dalam rilis analisis makroekonomi RDG BI edisi Agustus 2020, Rabu, 19 Agustus 2020.
 
Lebih dalam LPEM mencermati inflasi yang rendah masih akan terus berlanjut dan ada kemungkinan deflasi dalam beberapa bulan mendatang. Di tengah ketidakpastian, sulit melihat akan ada munculnya lonjakan permintaan yang menyebabkan inflasi karena kelas menengah atas yang memiliki peran besar dalam permintaan agregat cenderung menahan konsumsinya.
 
Dengan demikian, tantangan bagi pemerintah ke depan adalah meningkatkan permintaan dan menghindari deflasi lebih lanjut. Dikarenakan masyarakat akan mengalihkan pengeluaran untuk aktivitas yang dianggap akan menimbulkan risiko kesehatan seperti tempat hiburan, restoran, dan akomodasi.
 
Kemudian, langkah-langkah penanggulangan pandemi seperti penanganan pandemi yang lebih terarah, penerapan protokol kesehatan yang ketat, perbaikan pengobatan medis, dan pengembangan vaksin sangat penting dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan konsumen.
 
Selain itu, realisasi belanja untuk jaring pengaman sosial akan membantu menjaga kebutuhan pokok masyarakat rentan dan menghindarinya dari risiko kelompok tersebut jatuh di bawah garis kemiskinan. Sementara penerbitan obligasi pemerintah dan global pada bulan lalu memberikan tambahan dana segar.
 
 

"Di mana apabila dana tersebut dapat segera disalurkan pemerintah untuk paket kebijakan pemulihan ekonomi nasional dapat mendorong naiknya tekanan inflasi melalui peningkatan uang beredar yang beredar di masyarakat," papar LPEM.
 
Menyusul kontraksi Produk Domestik Bruto (PDB) yang tajam di kuartal kedua harus dihindari agar tidak menjadi cerita yang sama di kuartal berikutnya. Meskipun kemungkinan perlambatan aktivitas ekonomi di kuartal III-2020 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu tidak dapat dihindari lantaran bisnis belum dapat beroperasi dengan kapasitas penuh.
 
"Dan penjualan yang lebih rendah mencegah pemulihan ekonomi, pemerintah harus tetap waspada dan fokus untuk menghindari penurunan ekonomi lebih lanjut," kata LPEM.
 
Guna mengantisipasi potensi resesi (pertumbuhan negatif di kuartal III-2020), pemerintah mencabut kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan mulai membuka kembali perekonomian sebagai upaya pemulihan ekonomi secara bertahap.
 
Per Juli kepercayaan konsumen perlahan pulih, meski masih dalam zona pesimis (<100), yang ditandai dengan peningkatan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menjadi 86,2 dari rata-rata 82,1 pada kuartal II-2020. Perbaikan terlihat di aktivitas bisnis yang ditunjukkan dengan kenaikan Purchasing Managers' Index (PMI) menjadi 46,9 di Juli dari rata-rata 31,7 pada kuartal II-2020.
 
Pemerintah dan BI juga telah mengambil berbagai langkah luar biasa dengan total alokasi sebesar Rp607,6 triliun untuk mencegah hilangnya pendapatan masyarakat rentan dan UKM, menyediakan likuiditas bagi bank dan sektor bisnis, serta untuk mendukung pemulihan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
 
Namun menyadari keterbatasan ruang fiskal bahkan sebelum pandemi, stimulus untuk sektor bisnis dan UMKM harus ditargetkan berdasarkan kelompok pendapatan dan sektor ekonomi yang terkena dampak paling parah.
 
Oleh karena itu, kunci utama koordinasi yang kuat antara otoritas dalam melaksanakan kebijakan; realisasi stimulus juga harus dilaksanakan secara efektif, terukur, dan tepat sasaran untuk mendorong pemulihan.
 
Untuk menghidupkan kembali aktivitas bisnis, kemitraan dengan sektor swasta dan platform online besar (e-commerce, fintech pinjaman, ojek online) dapat pula memainkan peran penting.
 
 

"Mereka dapat mendukung pelaku bisnis dengan menghubungkan UMKM ke akses pasar yang lebih besar dan mendorong UMKM untuk mengadopsi transformasi digital yang pada gilirannya juga menguntungkan pemerintah Indonesia dalam hal kepemilikan basis data UMKM yang lebih baik," urai LPEM.
 
Sementara itu, setelah pengumuman pertumbuhan ekonomi negatif di sejumlah negara besar selama kuartal kedua (Jerman, Inggris, AS, Singapura, Korea Selatan), gejolak pada sektor keuangan meningkat sejak awal Agustus akibat kekhawatiran investor akan resesi global.
 
"Hal ini menyebabkan investor berpaling dari aset berisiko dan mengalihkan investasinya ke aset yang lebih aman," paparnya.
 
Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi di sejumlah negara maju mengalami penurunan ke tingkat terendah dalam beberapa waktu belakangan. Kondisi ini membuat akumulasi arus masuk modal asing di Indonesia mulai turun menjadi sekitar USD5,57 miliar, dari sebelumnya menikmati permintaan yang kuat di pasar obligasi sejak pertengahan Juli.
 
Imbasnya rupiah jadi korban dan terpaksa terdepresiasi ke posisi sekitar Rp14.700 per USD dari sebelumnya Rp14.500 per USD dengan tingkat depresiasi sebesar 6,6 persen (ytd), relatif buruk dibandingkan negara berkembang lainnya di Asia.
 
Di sisi lain posisi cadangan devisa terus meningkat ke level tertinggi dalam sejarah, dari USD131,7 miliar di bulan lalu menjadi USD135,07 miliar. Peningkatan cadangan devisa pada Juli 2020 ini ditopang oleh penerbitan obligasi global dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah.
 
"Jumlah cadangan yang tinggi tersebut menunjukkan tingkat ketahanan eksternal yang kuat dan membekali BI dengan perangkat yang memadai untuk menghadapi ketidakstabilan keuangan di masa depan, jika diperlukan," ucap LPEM.
 
Secara keseluruhan LPEM melihat bahwa peningkatan risiko tekanan eksternal akhir-akhir ini akibat kekhawatiran investor terkait resesi ekonomi global dapat mengancam stabilitas rupiah ke depan.
 
Stabilitas nilai tukar akan sangat penting untuk memberikan kepastian di sektor riil, karena pelaku usaha kemungkinan besar akan enggan untuk melakukan permintaan kredit ketika keputusan terkait impor bahan baku dan barang modal masih belum dapat dipastikan.
 
Pola depresiasi rupiah yang saat ini sedang berlangsung membuat pelaku usaha berada pada posisi yang sulit untuk melakukan proyeksi masa depan dari input impor dan pembelian barang modal sehingga memperlambat aktivitas produksi.
 
"Keterlambatan pada aktivitas produksi yang disebabkan oleh ketidakstabilan rupiah sangat merugikan bagi ekonomi karena dapat menghambat proses pemulihan secara signifikan," tutup LPEM.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan