Ilustrasi. Foto: dok MI/Pius Erlangga.
Ilustrasi. Foto: dok MI/Pius Erlangga.

Faktor Ini yang Bikin Rupiah Terus-terusan Melemah

Husen Miftahudin • 06 Desember 2021 17:34
Jakarta: Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai kasus munculnya varian baru omicron covid-19 dan kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve bikin kurs rupiah terhadap dolar AS (USD) terus mengalami pelemahan.
 
"Walaupun data internal cukup stabil namun pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terus memantau ketat pergerakan nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir yang terus melemah terhadap dolar AS. Pelemahan ini murni dipengaruhi oleh faktor global, khususnya penyebaran varian baru covid-19 omicron dan kebijakan bank sentral AS, The Fed," ujar Ibrahim dalam keterangan tertulisnya, Senin, 6 Desember 2021.
 
Ibrahim mengungkapkan, arah kebijakan bank sentral AS The Fed cenderung hawkish. Artinya, ada kemungkinan tapering dipercepat dari rencana sebelumnya. Hal ini Sebagai bentuk respons perekonomian dalam negeri AS.

Pelemahan rupiah masih terjaga

Meski demikian, lanjutnya, pelemahan nilai tukar rupiah masih terjaga dibandingkan dengan negara berkembang lainnya. Bank Indonesia terus berada di pasar dan menjamin ketersediaan valuta asing untuk mencukupi kebutuhan investor sehingga nilai tukar rupiah akan dijaga sesuai level fundamental.

Bank Indonesia terus berupaya untuk menstabilkan mata uang Garuda yang dalam bulan-bulan terakhir masih cukup stabil tidak jauh dari Rp14.500 per USD dengan mengendalikan inflasi dan melakukan koordinasi dengan pemerintah termasuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menentukan bauran kebijakan demi menjaga kedaulatan ekonomi.
 
"Salah satu bauran kebijakan yang sudah dijalankan adalah penurunan suku bunga dan menjaga inflasi agar tetap rendah dan terkendali," paparnya.
 
Menurutnya, yang terpenting adalah BI terus berada di pasar dan menjamin ketersediaan valuta asing untuk mencukupi kebutuhan investor. Sehingga nilai tukar rupiah akan dijaga sesuai level fundamental, sehingga BI meyakini pelemahan rupiah bersifat sementara dan akan kembali menguat dalam waktu dekat.
 
 
 

BI jaga pasar domestik

Ibrahim bilang, kondisi ini bersifat temporer dan BI terus menjaga pasar domestik dengan respons bauran kebijakan yang terukur, baik dari sisi nilai tukar, manajemen likuiditas, Giro Wajib Minimum (GWM), maupun suku bunga.
 
Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan pengawasan serta melakukan evaluasi kebijakan pemulihan ekonomi. Tujuannya agar strategi bauran yang sudah diterapkan apakah bisa berjalan sesuai dengan regulasi yang ada atau malah melenceng dari regulasi.
 
"Sehingga disinilah pemerintah harus bisa hadir dan menjelaskan tentang kondisi yang sebenarnya terhadap pasar sehingga pasar kembali percaya," tutur Ibrahim.
 
Dijelaskan lebih lanjut, ketidakpastian seputar varian omicron covid-19 dan ekspektasi data inflasi AS yang lebih panas meningkatkan tekanan pada suku bunga. Omicron telah menemukan jalannya ke sekitar sepertiga negara bagian AS.
 
Pasar treasury juga bergejolak dalam beberapa sesi terakhir, dengan kurva imbal hasil AS mendatar tajam di atas ekspektasi Fed akan bergerak terlalu cepat untuk mengekang inflasi dan pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
 
Di sisi lain, data non farm payrolls berada di 210 ribu pada November 2021, lebih rendah dari angka 550 ribu dalam perkiraan yang disiapkan oleh Investing.com dan angka 546 ribu bulan sebelumnya. Tingkat pengangguran turun menjadi 4,2 persen, terendah dalam 21 bulan.
 
"Data tersebut memperkuat pandangan tentang pengurangan aset Fed yang lebih cepat. Angka indeks harga konsumen yang akan dirilis akhir pekan ini juga diharapkan mendukung pandangan tersebut dan memberikan dorongan pada dolar," urai dia.
 
 
 

Kenaikan suku bunga AS

Adapun pasar suku bunga berjangka telah memperkirakan kenaikan suku bunga AS sekitar pertengahan 2022, tetapi hanya mencapai setinggi sekitar 1,5 persen pada akhir 2026 dan investor tetap waspada terhadap perubahan itu dengan cepat.
 
Namun, angka inflasi tahun ke tahun di atas tujuh persen, terhadap ekspektasi ekonom sebesar 6,7 persen, dapat mengubah banyak hal. Inflasi sebesar tujuh persen sebagai angka besar yang akan membuat dolar naik.
 
"Potensi kenaikan suku bunga juga tetap menarik di seluruh Atlantik. Anggota Eksternal Komite Kebijakan Moneter Bank of England Michael Saunders sedang menunggu informasi lebih lanjut tentang varian baru omicron covid-19 sebelum memutuskan bagaimana memberikan suara pada pertemuan bank sentral di akhir bulan. Saunders memilih untuk menaikkan suku bunga pada November," jelas Ibrahim.

Rupiah melemah

Mengutip data Bloomberg pada penutupan perdagangan hari ini, nilai tukar rupiah terhadap USD melemah ke level Rp14.442 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 22 poin atau setara 0,15 persen dari posisi Rp14.420 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
 
Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah juga berada di zona merah pada posisi Rp14.430 per USD. Rupiah melemah sebanyak 25 poin atau setara 0,17 persen dari Rp14.405 per USD di penutupan perdagangan hari sebelumnya.
 
Sedangkan berdasar pada data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dolar Rate (Jisdor), rupiah diperdagangkan di level Rp14.441 per USD atau turun 33 poin dari nilai tukar rupiah pada perdagangan hari sebelumnya sebesar Rp14.408 per USD.
 
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp14.430 per USD hingga Rp14.480 per USD," tutup Ibrahim.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(AHL)
Read All


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan