Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan pelaku industri pembiayaan harus menjaga kredibilitas dalam menjalankan bisnisnya dalam menghadapi tatanan normal baru. Apalagi beberapa perusahaan pembiayaan mengalami kesulitan pendanaan.
"Ini yang perlu kita diskusikan bersama bahwa semoga perbankan dapat memberikan angin segar lagi kepada perusahaan pembiayaan yang memiliki tata kelola yang baik," katanya dalam webinar Menakar Kekuatan Multifinance di Era New Normal: Menahan Goncangan Lewat Stimulus Kebijakan OJK di Jakarta, Rabu, 12 Agustus 2020.
Bukan hanya itu, aset industri turun 1,42 persen secara tahunan (yoy) menjadi Rp507 triliun per Mei 2020. Piutang pembiayaan juga turun 6,4 persen (yoy) menjadi Rp420 triliun, sedangkan rasio pembiayaan bermasalah atau non performing financing (NPF) melonjak ke level 4,1 persen.
Tekanan yang dihadapi oleh industri pembiayaan juga disebabkan oleh penurunan di industri otomotif. Untuk itu, APPI bersama anggotanya telah menyiapkan strategi untuk tetap bertahan menghadapi gejolak perekonomian yang disebabkan oleh pandemi covid-19.
"Hal yang terpenting adalah seleksi debitur ke depan akan menjadi suatu perubahan pola tidak hanya saat new normal, tapi juga di industri keuangan ke depan. Sumber dana juga sesuatu yang sangat penting bagi perusahaan pembiayaan karena ini adalah darah dari perputaran bagaimana kita bisa bertumbuh. Kita bisa bertumbuh menjadi industri yang sangat besar tentu tidak terlepas dari dukungan perbankan," ungkapnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga 11 Agustus 2020, program restrukturisasi di multifinance mencakup 4.823.271 kontrak dengan total outstanding pokok Rp150,43 triliun dan bunga Rp38,03 triliun. Sebanyak 350.140 kontrak dengan total outstanding pokok Rp16,34 triliun dan bunga Rp3,90 triliun masih dalam proses.
"Kontrak yang disetujui oleh perusahaan pembiayaan untuk dilakukan restrukturisasi sebanyak 4.187.726 kontrak dengan total outstanding pokok sebesar Rp124,34 triliun dan bunga sebesar Rp31,73 triliun," kata Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W. Budiawan.
Sementara itu, kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok Rp9,75 triliun dan bunga Rp2,40 triliun. Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan NPF secara masif.
Namun, restrukturisasi ini sejatinya bukanlah solusi terakhir, karena setelahnya, ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai multifinance. Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami bank sebagai source of funding terbesar multifinance, tentu, multifinance harus mencari alternatif pendanaan lainnya.
"Lalu selain dari adanya restrukturisasi juga dari sisi cash flow akan susah bertumbuh kalau cash flow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman," jelas Bambang.
Sementara itu, Chairman Infobank Institute Eko B Supriyanto menyebut, beberapa hal yang memengaruhi industri pembiayaan adalah penundaan cicilan akibat covid-19, larangan eksekusi kendaraan jaminan, serta terhentinya permintaan kredit motor atau mobil baru dan menyangkut jaminan fidusia.
Perusahaan pembiayaan yang melakukan restrukturisasi, tetap harus mewaspadai kredit macet gelombang dua, karena biasanya tidak semua yang direstrukturisasi akan pulih kembali. Dirinya menambahkan, berdasarkan pengalaman yang ada, biasanya 30 persen yang tidak bisa mengangsur kembali.
"Nah ini penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi akan berakibat kepada pendapatan. Sehingga yakin profit and loss perusahaan multifinance sangat terkonfirmasi mengalami penurunan. Mudah-mudahan ekonomi dan daya beli kembali pulih, sehingga tidak sampai angka 30 persen," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News