Sementara itu, kontrak yang permohonannya tidak sesuai dengan kriteria sebanyak 285.405 kontrak dengan total outstanding pokok Rp9,75 triliun dan bunga Rp2,40 triliun. Langkah restrukturisasi tersebut harus dilakukan demi menjaga agar tidak terjadi lonjakan NPF secara masif.
Namun, restrukturisasi ini sejatinya bukanlah solusi terakhir, karena setelahnya, ada permasalahan likuiditas dan solvabilitas yang mengintai multifinance. Di tengah pengetatan likuiditas yang dialami bank sebagai source of funding terbesar multifinance, tentu, multifinance harus mencari alternatif pendanaan lainnya.
"Lalu selain dari adanya restrukturisasi juga dari sisi cash flow akan susah bertumbuh kalau cash flow-nya masih kering akan sulit bagi bisnis mereka. apalagi perusahaan pembiayaan ini 89 persen pendanaan dari pinjaman," jelas Bambang.
Sementara itu, Chairman Infobank Institute Eko B Supriyanto menyebut, beberapa hal yang memengaruhi industri pembiayaan adalah penundaan cicilan akibat covid-19, larangan eksekusi kendaraan jaminan, serta terhentinya permintaan kredit motor atau mobil baru dan menyangkut jaminan fidusia.
Perusahaan pembiayaan yang melakukan restrukturisasi, tetap harus mewaspadai kredit macet gelombang dua, karena biasanya tidak semua yang direstrukturisasi akan pulih kembali. Dirinya menambahkan, berdasarkan pengalaman yang ada, biasanya 30 persen yang tidak bisa mengangsur kembali.
"Nah ini penundaan pembayaran cicilan dan larangan eksekusi akan berakibat kepada pendapatan. Sehingga yakin profit and loss perusahaan multifinance sangat terkonfirmasi mengalami penurunan. Mudah-mudahan ekonomi dan daya beli kembali pulih, sehingga tidak sampai angka 30 persen," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News